Menuju konten utama

Sulitnya Menjadi Penyintas Perdagangan Manusia di Indonesia

Penyintas perdagangan manusia masih belum mendapat pemulihan optimal dari negara. Lemahnya koordinasi pusat-daerah dan anggaran minim jadi batu sandungan.

Sulitnya Menjadi Penyintas Perdagangan Manusia di Indonesia
Ilustrasi HL Indepth Sulitnya Menjadi Penyintas Perdagangan Manusia. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pertemuan Anelis* dan teman-temannya di sebuah kafe di Denpasar, Bali di penghujung 2019 tersebut seharusnya berakhir manis. Anelis, yang saat itu duduk di kelas satu sebuah sekolah menengah kejuruan, adalah pribadi yang hangat, ceria, dan senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Dia termasuk orang yang supel. Lingkar pertemanannya pun tak hanya sebatas teman sekolah.

Sebuah pesan teks tiba-tiba masuk ke ponselnya, ketika Anelis tengah asyik bercengkerama dan menikmati minuman dinginnya. Pesan itu dikirim oleh Roy*, yang mengaku mendapat nomor Anelis dari salah seorang teman laki-lakinya. Tanpa prasangka apapun, pesan itu hanya dijawab singkat oleh Anelis.

Selang beberapa hari kemudian, bersama dua orang temannya - seorang perempuan bernama Asri* dan laki-laki bernama Tio* -, Roy datang menjemput Anelis di rumahnya dengan sebuah mobil hitam. Mereka berniat mengajak Anelis bertamasya ke Bedugul. Anelis yang tak curiga, langsung mengiyakan ajakan tersebut. Terlebih, dia sudah mengenal teman-teman Roy juga.

Setelah seharian berkeliling, karena hari terlalu gelap, Roy mengajak Anelis dan lainnya menginap di sebuah penginapan. Mereka sepakat dan menghabiskan malam di Bedugul setelah Anelis mendapat izin kedua orang tuanya.

Pada hari ketiga, mereka terdampar di penginapan setelah mobil yang mereka tumpangi ditarik oleh rental. Tak ada sepeser pun uang di kantong mereka. Sementara tagihan hotel terus berjalan.

Roy datang dengan sebuah ide: membuat akun di aplikasi MiChat dan membuka layanan prostitusi online. Setelah perdebatan dan penolakan panjang, Anelis dan Asri tak punya pilihan setelah kedua ponsel mereka disita Roy dengan ancaman. Foto mereka dipajang di aplikasi dengan tarif Rp500 ribu untuk kencan selama satu jam. Tarif itu tak mengikat, negosiasi selalu terbuka. Yang jelas, Roy yang mengatur semua.

Dalam satu hari, baik Anelis maupun Asri bisa melayani 4-8 tamu. Semua uang dipegang Roy untuk berfoya-foya dan membayar kamar. Jika menolak melayani tamu, kedua perempuan itu dihajar habis-habisan. Anelis pernah dilempar botol bir sampai kepalanya bocor dan digebuk sapu hingga gagangnya patah. Tak ada hari libur kecuali menstruasi.

“Uang itu cuma dipakai buat membeli ponsel baru, makan, dan mabuk,” kata Anelis kepada Tirto. “Total mungkin ada Rp20 juta. Saya enggak memegang sedikit pun.”

Kedua perempuan itu disekap selama lebih dari dua bulan sebelum berhasil kabur setelah Roy lupa mengunci pintu. Mereka lantas meminta bantuan tamu hotel untuk memesan taksi dan menghubungi keluarga.

Perlindungan Negara Masih Minim

Sesaat setelah melapor ke pihak berwajib, Anelis dan Asri didatangi oleh sebuah organisasi kemanusiaan untuk membantu pemulihan dan pemberdayaan. Mereka menghabiskan beberapa bulan di sebuah rumah aman yang disediakan, sambil belajar keterampilan dan pemulihan psikologis dan fisik.

Luh Putu Anggreni, konselor hukum di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Denpasar, Bali mengatakan pemerintah sejauh ini belum menyediakan shelter buat pemulihan korban perdagangan manusia. Lembaga yang menangani, Kementerian Sosial dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sejauh ini masih bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk menangani kasus kekerasan berbasis gender dan perdagangan manusia.

“LPSK misalnya, tidak punya shelter,” tutur Anggreni kepada Tirto. “Jadi ini terkendala di anggaran. Misalkan untuk pemulangan korban itu kan butuh biaya, terkadang terkendala di situ.”

Hal tersebut juga diakui oleh LPSK. Dalam gelaran ‘Catatan LPSK: Refleksi 2019 dan Proyeksi 2020' pada Januari 2020, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan permintaan perlindungan naik sepanjang 2019, namun anggaran lembaga itu justru dipangkas oleh pemerintah pusat.

Hasto mengatakan anggaran yang diterima LPSK untuk 2020 adalah yang terendah dalam lima tahun terakhir. Tercatat, anggaran LPSK pada 2015-2018 berada di kisaran Rp75 miliar hingga Rp150 miliar. Angka itu turun ke Rp 54 miliar pada 2020. Hasto menilai anggaran itu ‘tidak realistis’ dan pesimis jika LPSK dapat bekerja dengan maksimal.

Anggreni mengatakan pihaknya terus bekerja sama dengan sejumlah LSM untuk membantu penyintas. Koordinasi antar lembaga itu juga dilakukan untuk membantu pendampingan hukum dan pemenuhan hak korban.

“Ini kan termasuk rehabilitasi sosial, jadi tidak cuma pendampingan hukum. Ada pemulihan psikologis dan penguatan keterampilan,” kata Anggreni.

Terjerat Prostitusi Daring

Pemulihan penyintas adalah pekerjaan berat dan membutuhkan konsistensi. Sebab tak jarang, korban perdagangan seks tak memiliki pilihan selain terjun kembali ke dunia prostitusi.

Beberapa bulan setelah pendampingan, Asri memutuskan kembali ke prostitusi daring kali ini bersama pacarnya. Sebab, Asri tak memiliki banyak pilihan. Ia tak mampu kembali ke sekolah. Sementara kebutuhan hidup mesti dipenuhi.

Krisdiyanti Mayangsari, konselor dari organisasi Generasi Indonesia Bisa (Gerasa), mengatakan tekanan psikis dan ekonomi menjadi penyebab banyaknya penyintas perdagangan seks memilih kembali ke lingkaran prostitusi.

“Ada perasaan tidak mampu untuk kembali ke kehidupan, perasaan nyaman ketika bergaul dengan teman-teman, dan takut dengan keluarga. Ini juga ditentukan oleh faktor ‘mendapat uang cepat dan mudah’,” kata Mayang, panggilan karibnya.

Bergumul di dunia prostitusi daring tentu menyimpan segudang risiko. Menurut ketua Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Rito Hermawan, prostitusi online sulit untuk dipantau, baik dari segi keamanan dan kesehatan pekerja seksnya.

“Banyak pekerja seks online yang rentan mengalami kekerasan baik oleh mucikari maupun tamunya. Kedua sulit untuk memantau kesehatannya, bagaimana dengan cek HIV misalnya,” kata Rito kepada Tirto. “Ini berbeda dengan ketika prostitusi itu dilokalisir, pemantauannya lebih mudah.”

Bagi Anelis perjuangan keluar dari tekanan psikis tak pernah mudah. Ia harus melalui perundungan di sekolah ketika akun MiChat miliknya tersebar di lingkaran pertemanannya. Beberapa kali terlintas di benaknya untuk keluar dari sekolah, tapi ia beruntung memiliki support system di keluarga dan dukungan dari organisasi kemanusiaan yang menaunginya.

Selama di rumah aman, Anelis mengikuti banyak kegiatan untuk mengasah keterampilannya. Dia sudah menguasai keterampilan kecantikan seperti sulam alis dan tata rias. Ia belum memiliki rencana melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih lanjut.

“Rasanya udah enggak kuat, tapi banyak yang mendukung saya untuk maju,” kata Anelis. “Saya bersyukur bisa keluar dari kejadian tersebut.”

* Nama disamarkan untuk melindungi identitas dan privasi narasumber

Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting

Baca juga artikel terkait HUMAN TRAFFICKING atau tulisan lainnya dari Adi Renaldi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Adi Renaldi
Editor: Adi Renaldi