tirto.id - Pandemi COVID-19 yang merebak hampir dua tahun tak cuma berdampak pada sistem pelayanan kesehatan, tapi juga pada sektor sosial, politik, dan ekonomi. Saat negara berjuang membendung laju penularan coronavirus, di waktu yang sama ratusan orang, bahkan mungkin ribuan, baik dewasa maupun anak berjuang keluar dari kesulitan ekonomi dan terjerembap dalam lingkaran perdagangan manusia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkapkan angka eksploitasi dan perdagangan manusia yang melibatkan anak naik signifikan selama pandemi dibandingkan periode sebelumnya. Bahkan angka tersebut juga diklaim naik dibandingkan kasus kekerasan lainnya.
Berdasarkan data yang diolah hingga 4 Oktober 2021, dari 2019 hingga September 2021 melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada 2019 terdapat 106 kasus eksploitasi terhadap anak. Angka tersebut meningkat pada 2020 menjadi 133 kasus, dan 165 kasus pada 2021.
Untuk kasus perdagangan orang, masih merujuk pada data yang sama, sebanyak 111 kasus dilaporkan pada 2019. Pada 2020 kasus meningkat menjadi 213 kasus, hingga mencapai 256 pada 2021.
"Kenaikannya terlihat signifikan daripada kekerasan lainnya. Perkembangan di masa pandemi khususnya eksploitasi dan perdagangan anak memang tinggi," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar, dikutip Antara (2/11). "Karena beberapa kasus yang ditemukan ada kebutuhan soal ekonomi, kemudian pengawasan orang tua, juga ada kebutuhan lain dari anak, misalnya sekolah, dan lain-lain.”
Indonesia memiliki UU anti-perdagangan manusia no.21 yang disahkan pada 2007. Undang-undang tersebut menjadi senjata pemerintah untuk memerangi kejahatan perdagangan manusia yang cukup komprehensif, dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Tercatat pada 2007, penangkapan pelaku perdagangan manusia naik 77% dari 142 ke 252 jika dibandingkan pada 2006. Sementara kasus yang diproses hukum naik 94% dari 56 hingga mencapai 109. Sayangnya kasus yang berujung pada hukuman hanya mencapai 46 pada 2007, naik dari 36 kasus.
Selain itu Indonesia juga turut mengesahkan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi oleh DPR pada Maret 2009, atau sembilan tahun sejak protokol tersebut disepakati dalam Sidang Umum PBB.
Meski menunjukkan perubahan, namun Indonesia dinilai belum membuat perubahan progresif baik dalam pencegahan maupun penindakan. Dalam laporan Trafficking in Persons (TIP) 2020 milik Departemen Luar Negeri AS, Indonesia secara stagnan masih masuk dalam Tier-2, yang artinya Indonesia belum memenuhi standar minimum penghapusan trafficking, namun telah menunjukkan usaha yang signifikan.
Sebabnya, menurut laporan tersebut, proses hukum dan pemidanaan pelaku kejahatan perdagangan manusia terus menurun. Tak jarang kasus human trafficking juga menguap ketika tengah diproses hukum. Dalam catatan TIP, setidaknya ada 204 pemidanaan sepanjang 2019, turun dari 279 pada 2018.
Laporan tersebut jika melihat bagaimana UU anti-perdagangan manusia tidak sejalan dengan hukum internasional. Salah satunya, setidaknya harus ada unsur penipuan dan paksaan dalam kasus perdagangan seks anak agar dapat diproses hukum, sesuai undang-undang tersebut.
Menurut Luh Putu Anggreni, konselor hukum di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Denpasar, Bali, banyak kasus tak dapat diproses secara hukum lantaran tidak memenuhi unsur-unsur di atas. Sehingga tak jarang kasus berakhir dengan damai antara pelaku dan keluarga korban.
“Padahal jelas ada banyak kasus yang masuk kategori perdagangan orang tapi juga susah pembuktiannya,” tutur Anggreni kepada Tirto. “Banyak juga korban yang enggan melapor dan berakhir damai.”
Bali, menurut Anggreni, selama ini menjadi titik transit dan destinasi bagi pelaku kejahatan trafficking. Sebab menurutnya, Bali masih menjadi tujuan wisata utama di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pusat ekonomi.
“Bali itu sangat rentan posisinya,” kata Anggreni. “Ia menjadi transit point terutama dari daerah yang trafficking-nya tinggi seperti NTT dan NTB. Selain itu dia rentan sebab sebagai daerah wisata tentu ada demand juga seperti di kafe, spa, atau hotel.”
Anggreni menuturkan banyak agen tenaga kerja yang masih mengandalkan pola perekrutan dengan janji manis. Para pelaku kejahatan biasanya mencari mangsa lewat perekrutan di media sosial, maupun lewat calo di banyak daerah.
“Modusnya masih sama, dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi, tapi malah dijerat utang sehingga tidak bisa keluar,” kata Anggreni. “Ini juga termasuk pengingkaran pemberian gaji, pekerjaan yang tidak sesuai, serta kekerasan fisik.”
Bali yang mengandalkan pariwisata sebagai pemasukan utama terpukul secara telak ketika pandemi merebak. Dalam sebuah konferensi pers (22/5) Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Bali Trisno Nugroho, mengatakan pariwisata berkontribusi 56% terhadap perekonomian di Bali. Saat pandemi, pertumbuhan ekonomi di Bali mengalami minus 9,31% yoy, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang minus 2,05% yoy.
Pada kuartal pertama 2021, jumlah wisatawan mancanegara hanya 348 ribu orang, turun drastis dari 1,21 juta orang di kuartal pertama tahun sebelumnya. Begitu juga dengan wisatawan domestik, jumlahnya hanya 417 ribu orang di periode yang sama, turun 57,97% yoy.
Kondisi perekonomian ini, lanjut Anggreni, turut berkontribusi terhadap maraknya perdagangan manusia.
“Jadi pencegahannya harus dari level bawah, ada bantuan, pemberdayaan, sekaligus pengawasan di tingkat desa,” tutup Anggreni.
Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting
Editor: Adi Renaldi