Menuju konten utama
Miroso

Sukun: Makanan Super, Kudapan Lezat, dan Hantaran

Sukun bisa dijadikan sukun goreng atau kukus yang cocok disantap bareng kopi atau teh.

Sukun: Makanan Super, Kudapan Lezat, dan Hantaran
Header Miroso Sukun Ajaib. tirto.id/Tino

tirto.id - Sepiring sukun rebus, secangkir teh panas, dan bunyi reot yang berasal dari lincak–kursi bambu–yang telah lapuk.

Kerinduan saya tiba-tiba membuncah mengingat ketiganya. Sudah lama sekali saya tak makan sukun rebus. Saya tiba-tiba teringat saat sedang mencari takjil untuk berbuka puasa. Pikir saya sepertinya lezat membatalkan puasa dengan menyantap sukun rebus ditemani teh panas.

Sukun, kukus atau goreng, adalah makanan kesukaan almarhum Mbah Kakung saya. Di kampung halaman saya di Pati, Jawa Tengah, buah sukun ada di mana-mana. Pohonnya tumbuh tinggi menjulang di kebun-kebun milik tetangga. Saat masih kecil, pohon sukun adalah salah satu jenis pohon yang ditakuti anak-anak karena konon dihuni oleh genderuwo. Barangkali karena pohonnya besar dengan ukuran daun yang lebar-lebar makanya pohon ini dianggap berhantu.

Saya sendiri sampai sekarang belum pernah melihat hantu, apalagi hantu yang bermukim di pohon sukun. Saya punya tiga kesimpulan untuk ini. Pertama, karena hantu itu sebetulnya tidak ada. Kedua, karena saya tidak punya kekuatan khusus untuk melihat hantu. Lalu ketiga, karena pohon sukun makin jarang ditanam di pekarangan rumah. Saya cenderung mempercayai kesimpulan yang ketiga karena belakangan setelah bertanya ke sana ke mari, salah seorang kawan dekat yang kebetulan mengelola sebuah kebun di bagian barat Yogyakarta memberitahu sebuah fakta yang bikin saya manggut-manggut.

“Pohon sukun itu bikin pekarangan gampang kotor.”

Daun-daunnya yang lebar kalau jatuh tertiup angin akan membuat pekarangan rumah terlihat kotor. Apalagi karena pohonnya tinggi, seringkali daun-daun kering yang jatuh tersangkut di atap rumah. Makin repot kalau yang punya rumah memiliki ritme hidup yang cepat. Sampah daun kering kian lama pasti kian menumpuk sehingga membuat rumah jadi terlihat kotor.

Belum lagi pohon sukun ternyata berbuah cukup mudah. Hanya butuh waktu 2-4 tahun sejak ditanam, setelah itu pohon sukun akan berbuah sepanjang tahun. Buahnya juga disarankan agar dipanen sebelum matang pohon. Kalau sudah tanggal dari pohonnya, buah sukun juga tidak bisa disimpan lama-lama, harus cepat-cepat diolah agar tidak busuk.

Saya jadi menduga-duga, pantas saja dulu di kampung halaman saya, buah sukun sering jadi buah hantaran. Kalau ada tetangga yang berkunjung ke rumah, cukup sering mereka membawa sukun. Biasanya buah sukun ditaruh dalam kresek lalu diantar sampai ke dapur. Kunjungannya pun bukan jenis kunjungan spesial yang memakan waktu lama, tetapi kunjungan kilat yang memang secara khusus dilakukan hanya untuk mengantarkan buah sukun.

Mungkin karena alasan ini juga, olahan sukun–setidaknya di rumah saya–tidak pernah aneh-aneh. Maksudnya agar sukun yang sudah repot-repot diantar itu tidak terbuang percuma karena terlambat diolah. Kalau tidak dikukus ya digoreng, lalu dinikmati dengan secangkir teh tubruk panas atau dengan secangkir kopi hitam–biasanya kopi lelet dari Rembang yang terkenal pekat.

Saya harus menanggung kecewa karena kerinduan saya akan sukun kali ini belum dapat terobati. Pasalnya, meski saya tinggal di wilayah Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang notabene masih banyak kebun dan pekarangan luas, mencari sukun nyatanya tak semudah itu apalagi sukun yang sudah diolah. Walaupun demikian, kerinduan saya akan buah sukun justru mengantarkan saya pada pengetahuan baru.

Infografik Miroso Sukun Ajaib

Infografik Miroso Sukun Ajaib. tirto.id/Tino

Sukun Buah Superfood

Dunia saat ini sedang mengalami ancaman serius bernama krisis iklim. Suhu bumi semakin meningkat. Bahkan belakangan, BMKG memperingatkan tingginya paparan sinar ultraviolet selama bulan April. Kenaikan suhu dan perubahan cuaca yang ekstrem mengancam sejumlah jenis tanaman termasuk padi yang menjadi sumber karbohidrat utama masyarakat Indonesia sehari-hari.

Kabar baiknya, di tengah ancaman krisis iklim, sukun adalah satu di antara segelintir varietas tanaman yang mampu bertahan di tengah situasi alam yang berubah. Laporan dari New Scientist menyebutkan, tanaman sukun masih bisa berbuah hingga 57 tahun mendatang tepatnya hingga tahun 2080. Buah sukun selain bisa dijadikan camilan, juga bisa diolah menjadi tepung sukun yang digadang-gadang sanggup menggantikan posisi beras. Kandungan zat gizi dalam sukun juga lebih banyak, tinggi serat, dan rendah kalori.

Karena alasan ini, Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulan Bencana, pernah menginisiasi Lomba Pembibitan Sukun Terbanyak pada April 2021 lalu. Dalam sambutannya, dia mengatakan, sukun bisa menggantikan nasi apabila terjadi gagal panen padi. Selain itu, akar pohon sukun yang lebar juga mampu menahan air dan mencegah pergerakan tanah sehingga bisa menanggulangi bencana banjir dan tanah longsor.

Ini belum bicara efek jangka panjang. Karena kemampuannya menahan air, pohon sukun yang sudah berusia lebih dari 30 tahun bisa memunculkan banyak sumber air. Sumber air ini bakal muncul di sekitar akar pohon sukun yang telah puluhan tahun menyimpan air.

Selain akar dan buahnya, daun tanaman sukun juga bisa dimanfaatkan untuk mengobati penyakit kardiovaskular. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan uji klinis terhadap khasiat daun sukun. Hasilnya diketahui kalau ekstrak daun sukun mengandung flavonoid dan sitosterol yang mampu menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah.

Sebelum adanya penelitian ini, sebetulnya masyarakat di Indonesia sudah jamak menggunakan air rebusan daun sukun untuk mengobati masalah ginjal, penyakit hati, hingga penyakit gatal-gatal. Daun sukun sudah sejak lama dipercaya sebagai alternatif pengobatan, tetapi bedanya sekarang sudah mendapat legitimasi berkat adanya penelitian lanjutan.

Makanan untuk Budak

Sukun adalah buah endemik dari Indonesia. Tanaman ini berbuah lebat di iklim tropis dengan ketinggian 0-650 meter di atas permukaan laut di antara suhu 20-40 derajat celcius dan dengan tingkat kelembaban udara mencapai 70-90 persen. Maka tidak heran kalau tanaman ini hampir bisa ditemukan di sepanjang Kepulauan Indonesia bahkan hingga punya banyak nama. Suku Batak misalnya mengenal buah sukun dengan sebutan hatopul, sementara suku Sasak menamainya pulur. Di Nias, sukun dikenal juga dengan nama suku, sedangkan di Maluku namanya hukun.

Di Eropa, masyarakat sana mengenal buah ini dengan nama breadfruit atau buah roti. Saya sepakat kalau sukun disebut buah roti. Pasalnya, salah satu alasan mengapa sampai sekarang saya terpikat dengan kelezatan sukun ya karena teksturnya yang empuk menyerupai roti. Sukun kukus meninggalkan tekstur gembur ketika digigit. Sedangkan ketika dikunyah, aroma manis yang ringan segera mengambil alih indera perasa. Aroma manis yang tertinggal di lidah ini makin pas ketika disambung dengan seruputan teh panas atau kopi hitam. Sungguh kenikmatan yang tidak ada tandingannya.

Kelezatan sukun tak lepas dari sejarah bagaimana buah ini dulunya adalah makanan murah yang diangkut jauh-jauh dari Tahiti ke wilayah jajahan Inggris di Karibia sebagai makanan bagi para budak belian. Kapten William Bligh adalah sosok yang kala itu dipercaya memimpin ekspedisi pelayaran mengantar ratusan pohon sukun muda ke pulau-pulau kecil di Karibia menggunakan kapal bertiang tiga yang diberi nama His Majesty’s Ship (HMS) Bounty.

Bligh sendiri adalah pelaut kawakan yang pernah menyertai pelayaran terakhir Kapten James Cook, seorang pelaut legendaris. Pada tahun 1793, Bligh jauh-jauh berlayar ke Karibia demi memperkenalkan pohon berusia panjang yang menghasilkan buah dengan kandungan karbohidrat tinggi. Pohon yang sekarang kita kenal dengan nama pohon sukun.

Bagaimanapun, penggalan sejarah ini mengungkap bagaimana tanaman sukun sejak ratusan tahun yang lalu kerap disepelekan. Bahkan meskipun buah sukun terbukti kaya nutrisi, tapi posisinya tetap tidak mampu menggantikan makanan-makanan pokok seperti beras dan roti–paling tidak untuk saat ini.

Kini, saya tahu di balik kesederhanaan sukun, tanaman ini bisa jadi alternatif makanan utama di masa depan. Barangkali kalau umur saya cukup panjang untuk menyaksikan dunia benar-benar berubah seperti yang telah diramalkan, saya akan belajar menanam pohon sukun mulai dari sekarang. Tapi, untuk saat ini saya mau menunggu pohon sukun milik kawan saya berbuah dulu. Sebab, kalau nanti pohon sukunnya berbuah, kawan saya sudah berjanji mau mengirimi saya sebiji-dua biji.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Ruhaeni Intan

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Nuran Wibisono