Menuju konten utama

Suka Flexing? Hati-Hati, Dianggap Sulit Bekerja Sama

Riset-riset menunjukkan bahwa mereka yang hobi pamer cenderung dianggap sulit berkolaborasi dan kurang diminati untuk dijadikan teman.

Suka Flexing? Hati-Hati, Dianggap Sulit Bekerja Sama
Header Diajeng Suka Pamer. tirto.id/Quita

tirto.id - Media sosial isinya semakin penuh dengan pameran kemewahan para penggunanya, mulai dari liburan eksotis, mobil mewah, dan barang-barang bermerek ternama.

Di balik itu, pernahkah kamu bertanya-tanya, apa dampak sosial yang mungkin diterima oleh orang-orang yang hobi flexing begtiu?

Fenomena flexing bukan hanya sekadar gaya hidup, tetapi juga cerminan dari pola pikir dan perilaku yang jauh lebih kompleks.

Ketika seseorang terbiasa menjadi pusat perhatian melalui pencitraan diri, ia otomatis sedang membangun menara ego.

Dan di mata orang lain, perilaku flexer yang haus validasi ini sangat mungkin dipandang tidak menyenangkan, bahkan sosoknya jadi terkesan sulit diajak bekerja sama.

Diajeng akan mengungkap alasan ilmiah di balik fenomena ini.

Flexing: Terlihat Sulit Diajak Kerja Sama

Flexing atau senang memamerkan harta lewat media sosial sering dianggap dapat meningkatkan status sosial seseorang dan membuat orang lain akan memandang statusnya menjadi lebih tinggi.

Meski begitu, dalam beberapa situasi, orang yang suka flexing justru dianggap kurang peduli dengan sesama.

Sebuah studi yang terbit di Journal of Personality and Social Psychology: Attitudes and Social Cognition (2022) menemukan hal menarik soal ini.

Dalam penelitian yang dipimpin oleh Shalena Srna dari University of Michigan tersebut, partisipan diminta untuk memainkan Dilema Tahanan (Prisoner’s Dilemma). Permainan ini melibatkan dua orang dalam satu tim dan menuntut kolaborasi yang kuat.

Sebelum permainan dimulai, setiap peserta diminta memilih pasangan yang diwakilkan dengan gambar avatar. Ada avatar yang memakai pakaian biasa, ada juga yang pakai baju berlogo merek mewah seperti Gucci atau Louis Vuitton.

Hasilnya, sebanyak 57 persen peserta memilih untuk berpasangan dengan avatar yang tidak pakai aksesori bermerek, sedangkan yang memilih avatar dengan produk bermerek berjumlah lebih sedikit, 45 persen.

Di mata lebih dari separuh peserta, orang yang suka memamerkan merek dinilai lebih egois, lebih haus status, dan kurang bisa diajak untuk kompak.

Studi lanjutan juga menemukan hal serupa. Kali ini, peserta diminta bikin avatar sendiri terlebih dahulu sebelum memilih pasangan. Menariknya, peserta yang membuat avatar dengan pakaian bermerek ternyata malah menunjukkan kecenderungan untuk memilih pasangan yang avatarnya tidak bermerek.

Peneliti lalu mencoba menguji di dunia nyata, lewat profil media sosial. Hasilnya konsisten: orang yang sering mengunggah hal-hal berbau status kekayaannya dianggap kurang cocok untuk diajak bergabung dalam kelompok yang mengutamakan kerja sama dan kepedulian sosial.

Penelitian itu menarik kesimpulan bahwa kebiasaan flexing memang berpotensi membuat orang terlihat keren dan berstatus tinggi. Meski begitu, kalau konteksnya butuh kerja sama dan saling percaya, pamer malah bisa jadi penghalang.

Suka Flexing Bikin Seseorang Susah Dapat Teman

Riset lain, diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science (2019), seperti diwartakan Business Insider, menemukan bahwa 66 persen orang cenderung memilih mobil mewah daripada mobil biasa.

Meski begitu, jika bicara tentang cara menarik perhatian orang lain, kebanyakan malah lebih suka berteman dengan orang yang menggunakan kendaraan lebih murah.

"Jadi, orang-orang mengira bahwa simbol-simbol status seperti mengendarai mobil mewah akan meningkatkan minat pertemanan, tetapi itu justru membuat pihak lain jadi kurang tertarik untuk berteman," kata salah satu peneliti, Stephen Garcia.

Hasil lainnya juga terlihat sama ketika satu kelompok peserta dalam eksperimen tersebut diminta mengenakan jam tangan merek Tag Heuer yang mahal. Mereka pikir, langkah tersebut akan lebih membantu untuk mendapat teman daripada memakai jam tangan biasa.

Meski begitu, mayoritas orang justru yang disebut sebagai "calon teman" mengatakan mereka lebih suka bertemu orang yang menggunakan jam tangan murah atau yang tidak bermerek.

Menurut Garcia, para psikolog menyebut efek ini sebagai perbedaan perspektif dalam perbandingan sosial.

"Ketika kita memutuskan apa yang akan dikenakan, kita berada dalam 'peran presentasi' di mana kita ingin menampilkan sisi terbaik kita, begitulah," tulisnya.

Dengan kata lain, orang ingin dirinya terlihat lebih baik daripada orang lain.

Wajar kalau kita suka membandingkan diri dengan orang lain dan ingin terlihat lebih baik. Namun jangan lupa, orang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka juga cenderung tidak suka merasa kalah atau tersaingi.

Nah, kalau kita terlalu sering pamer kekayaan atau barang mahal, besar kemungkinan orang lain akan merasa “dibayangi” dan jadi tidak nyaman saat bersama kita.

Bagaimana Uang dapat Mengubah Perasaan dan Cara Berpikir Seseorang?

Dikutip laman Greater Good, uang dapat sangat memengaruhi pikiran dan tindakan seseorang dengan cara yang acap kali tidak disadari, terlepas pula dari kondisi ekonomi orang.

Meskipun kekayaan bersifat subjektif, sebagian besar penelitian saat ini mengukur kekayaan berdasarkan skala pendapatan, status pekerjaan, atau kondisi sosial ekonomi, seperti pencapaian pendidikan dan kekayaan antargenerasi.

Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang psikologi uang dan kekayaan berdasarkan hasil beberapa riset:

1. Empati menurun

Studi yang dilakukan oleh mahasiswa pascadoktoral di University of California, San Francisco pada tahun 2018 melaporkan, orang dari kalangan bawah justru lebih peka membaca ekspresi dan emosi orang lain dibanding yang lebih kaya.

Lingkungan sosial yang lebih sulit ternyata membuat mereka terbiasa untuk bergantung pada orang lain, sehingga cenderung jadi mudah berempati.

2. Perilaku Egois

Eksperimen yang dilakukan para peneliti dari Harvard dan University of Utah menunjukkan orang yang diberi lebih banyak uang (bahkan uang mainan Monopoli) cenderung lebih agresif, suka pamer, bahkan meremehkan lawannya. Pemilik mobil mewah juga tercatat lebih jarang memberi jalan pada pejalan kaki atau pengemudi lain.

3. Uang Bisa Bikin Tidak Etis

Hanya dengan memikirkan uang, seseorang bisa lebih mudah berbohong atau bertindak tidak bermoral, meskipun ia tahu mana yang benar dan salah.

4. Risiko Kecanduan Uang

Menurut artikel yang ditulis oleh psikolog Dr. Tian Dayton di HuffPost, uang dapat berfungsi sebagai bentuk adiksi yang mengubah suasana hati dan identitas seseorang seperti halnya alkohol atau narkoba.

Dalam konteks tersebut, kekayaan dan segala hal terkait harta acap kali mendistorsi relasi atau hubungan, dan menjadi obsesi utama dalam hidup seseorang.

Dayton juga menyinggung bagaimana anggota keluarga dari orang yang kecanduan uang berpotensi terhanyut dalam dinamika tidak sehat karena kekayaan dan kontrol yang mengekang.

5. Tekanan pada Anak dari Keluarga Kaya

Suniya Luthar dalam studi berjudul "The Culture of Affluence: Psychological Costs of Material Wealth" (2003) menuliskan, meski terkesan memiliki banyak privilese, anak-anak dari keluarga kaya justru rentan mengalami depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat akibat tekanan akademik serta minimnya kedekatan dengan orang tua.

6. Uang Tidak Selalu Bisa Membeli Kebahagiaan (atau Cinta)

Punya banyak uang memang bisa memenuhi kebutuhan hidup, tapi setelah melewati batas tertentu, kekayaan tidak banyak menambah kebahagiaan.

Steve Taylor Ph.D. dalam tulisannya di Psychology Today menyampaikan bagaimana riset selama ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sangat kaya, seperti miliarder, tidak lebih bahagia dari mereka yang berpenghasilan rata-rata, bahkan cenderung lebih berisiko depresi.

Temuan dari riset-riset psikologi positif menegaskan bahwa kesejahteraan sejati tidak bersumber dari harta, melainkan dari relasi sosial yang sehat, pekerjaan atau aktivitas yang bermakna, dan rasa keterhubungan dengan sesuatu yang bermakna lebih besar, sebut di antaranya agama, gerakan sosial-politik, maupun panggilan hidup.

Pendek kata, kesuksesan sejati bukan sekadar soal kekayaan, tapi juga menyangkut kebahagiaan, cinta, dan kualitas hidup.

Jadi, di balik kenyataan bahwa kekayaan memberikan lebih banyak pilihan dan kenyamanan, tidak bisa dimungkiri pula bahwa ia kemungkinan dapat menumpulkan empati, meningkatkan ego, memicu perilaku tidak etis, dan menambah risiko masalah psikologis maupun kecanduan.

Untuk artikel lainnya terkait pamer diri juga bisa disimak di tautan ini.

Baca juga artikel terkait PAMER KEMEWAHAN atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Lyfe
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Sekar Kinasih