tirto.id - Momen-momen berpuasa dan Lebaran menjadi ajang silaturahmi dan berkumpul bersama keluarga, kerabat, hingga teman lama.
Kultur komunal masyarakat Indonesia yang kuat turut melahirkan tradisi bukber (buka puasa bersama) selama bulan Ramadhan sampai halal bihalal yang meriah saat Idul Fitri.
Sayangnya, tak jarang momen silaturahmi yang seharusnya sakral dan syahdu itu diwarnai dengan saling pamer dan adu pencapaian hidup—mulai dari karier, percintaan, bahkan penampilan.
Tak tanggung-tanggung, beberapa orang acap kali mengunggah perilaku pamer mereka ke media sosial.
Smartphone seri terbaru. Mobil sport tercanggih. Jabatan karier yang mentereng. Tak ketinggalan, pasangan yang mapan.
Demi memperoleh pengakuan dari sekitar, segelintir orang ada pula yang rela menyewa barang-barang tertentu—untuk dipakai satu kali saja—saat menghadiri bukber atau halal bihalal.
Mengutip Psychology Today, bragging atau pamer—atau tren di media sosial menyebutnya flexing—dilakukan dengan tujuan mendapatkan pujian dari orang-orang lain tanpa memberikan manfaat apapun bagi mereka.
Menariknya, kita semua punya peluang untuk dipandang kompeten hanya dengan menunjukkan sikap pamer.
Ini ditunjukkan dalam penelitian oleh Heck dan Krueger pada 2016 lalu.
Menurut mereka, apabila kita mengaku-aku memiliki bakat atau keterampilan di atas rata-rata, orang-orang yang mendengar klaim tersebut akan terdorong untuk melihat kita sebagai pribadi yang kompeten.
Hanya saja, pandangan itu mungkin tidak bersifat permanen. Sebab, cepat atau lambat, bisa jadi mereka akan menerima informasi lain yang membuktikan klaim kita dilebih-lebihkan atau tidak benar.
Pendek kata, perilaku pamer yang kita lakukan dapat menimbulkan reaksi sesuai ekspektasi karena para pendengarnya belum memiliki informasi yang cukup pada saat itu untuk menilai klaim kita secara objektif.
Psikoterapis dari Rice University, Texas, Utpal Dholakia, Ph.D. menulis di Psychology Today bahwa pada hakikatnya, membagikan pengalaman-pengalaman positif dan pencapaian dalam hidup adalah tindakan baik yang dapat menunjang kebahagiaan kita.
Menceritakan kabar baik tentang diri kita kepada keluarga dan teman-teman juga berpotensi meningkatkan kebahagiaan mereka.
Hanya saja, kata Dholakia, ketika pamer yang kita lakukan justru membangkitkan kecemburuan, kedengkian, atau emosi-emosi negatif lainnya, itu sama sekali tak berguna.
Dholakia menjelaskan, sudah ada banyak penelitian yang menemukan konsekuensi dari kebiasaan pamer.
Salah satunya, studi di Hogrefe PsyJournals (2016), mengungkap bahwa mereka yang suka membanggakan diri cenderung memiliki sifat diri atau kepribadian yang tidak disukai.
Psikolog Cara Palmer dan rekan-rekannya menjelaskan dalam hasil penelitian di atas bahwa membual atau pamer, bahkan saat dipadukan dengan perilaku berbagi lainnya, berkaitan dengan lebih banyak sifat-sifat dalam diri yang kurang disukai orang lain.
Menurut riset tersebut, laki-laki cenderung suka pamer saat membagikan kejadian-kejadian positif yang mereka alami. Dalam konteks ini, mereka juga melaporkan tingkat keramahan (agreeableness), kehati-hatian (conscientiousness), dan empati yang lebih rendah.
Sementara itu, yang suka membual dan membanggikan diri secara massal cenderung melaporkan tingkat narsisme paling tinggi.
Lebih parahnya, kebiasaan pamer ini dapat menarik perhatian orang-orang yang suka menjilat.
Kelompok penjilat ini biasanya berstatus lebih rendah. Mereka kerap memiliki niat terselubung dalam menjalin hubungan dengan orang yang "hobi" pamer tersebut.
Ada pula kaitan antara gender dan perilaku pamer.
Mengutip Forbes, studi lawas dari American Psychological Association di Journal of Personality and Social Psychology (1998) menjelaskan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama tidak disukai ketika membanggakan diri dan pamer, perempuan biasanya menerima hukuman yang lebih berat.
Menurut penelitian tersebut, perempuan yang membanggakan pencapaiannya ternyata cenderung kurang disukai dan kurang dapat dipekerjakan daripada rekan laki-laki mereka yang melakukan hal serupa.
Salah satu gaya pamer dan membanggakan diri yang saat ini menyita banyak perhatian dikenal sebagai humble bragging.
Humblebrag merupakan sebuah istilah yang menunjukkan perilaku seseorang yang terlihat seperti sedang mengeluh ataupun malu.
Meski begitu, di balik sikap mengeluh dan malu tersebut tersimpan maksud yang justru menunjukkan hal-hal yang sangat mereka banggakan.
Merendah untuk meroket, mungkin itulah kiasan yang tepat untuk humblebrag.
"Ini fenomena yang sangat umum. Kita semua mengenal beberapa orang dalam kehidupan kita, baik di media sosial maupun di tempat kerja, yang melakukan hal menyebalkan ini," kata penulis studi Ovul Sezer, dosen di UNC Kenan–Flagler Business School, seperti dilaporkan Timepada 2018 silam.
"Kalian pikir, sebagai orang yang suka humble bragging, tindakan itu adalah hal terbaik dari dunia, akan tetapi yang kami tunjukkan adalah bahwa ketulusan merupakan kunci utama,” imbuhnya.
Sezer dan timnya melakukan serangkaian eksperimen untuk menentukan seberapa umum humblebrag terjadi dan bagaimana orang lain memandangnya.
Mereka mendapati dari 646 orang yang disurvei, 70 persennya masih mengingat humblebrag yang baru-baru ini mereka dengar
Bagaimana pun, terlalu banyak pamer dan membanggakan diri di depan orang lain bisa jadi bumerang bagi diri sendiri.
Apalagi, momen berkumpul saat buka bersama dan Lebaran idealnya menjadi momen hangat dan penuh suka cita dengan kerabat.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengontrol diri agar tidak kebablasan pamer pencapaian?
Praktisi psikolog keluarga, konselor, trainer, dan penulis Nuzulia Rahma Tristinarum menuturkan ada banyak cara untuk mengontrol diri agar tidak terus-menerus pamer.
"Jadi bisa saja sewaktu waktu diambil kembali oleh Tuhan dengan cara apapun," terang Rahma.
Yang kedua, tak ada salahnya untuk merenungkan pepatah “di atas langit masih ada langit”.
Menurut Rahma, bukan tidak mungkin, orang-orang yang melihat dan mendengar hal-hal yang kita pamerkan justru lebih “kaya” baik secara harta maupun pencapaian.
Selanjutnya Rahma menegaskan pentingnya untuk terus menumbuhkan rasa empati.
Mungkin saja orang yang mendengar kita pamer tengah mengalami kesulitan, sehingga apa yang kita sampaikan atau lakukan dapat menimbulkan dampak yang memperburuk keadaannya.
"Dan setiap keburukan yang kita lakukan pada orang lain, pasti juga akan berbalik pada kita dalam bentuk apapun," paparnya.
Keempat, kata Rahma, saat hasrat ingin pamer itu muncul, cobalah untuk bertanya pada diri sendiri, seperti, "Kenapa aku ingin melakukan ini? Apakah aku ingin dilihat dan didengar? Apakah aku butuh validasi? Kenapa?"
"Apa aku insecure sehingga butuh pengakuan? Apa aku ingin membuktikan pada orang lain? Apa selama ini selalu diremehkan sehingga ingin membalas secara tidak langsung?" tambah Rahma.
Alih-alih langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya untuk merenungkannya terlebih dahulu.
Yang tak kalah penting, Rahma mengingatkan untuk selalu menerima dan menyayangi diri sendiri apa adanya.
"Yakini bahwa diri kita berharga. Tanpa semua pencapaian-pencapaian itu, kita tetap berharga," pungkas Rahma.
Daripada pamer, ayo mulai berlatih membagikan kasih sayang dan empati, terutama di momen-momen yang penuh berkah ini.
Selamat berkumpul dengan orang terkasih!
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih