Menuju konten utama
Pamer Kemewahan

Sisi Kelam Bermewah-mewah dan Ragam Cara Memaknai Kekayaan

Kehidupan mewah tidak hanya didambakan dan dinikmati oleh orang super kaya, melainkan juga segmen kelas menengah. Apa perbedaan gaya pamer di antara mereka?

Sisi Kelam Bermewah-mewah dan Ragam Cara Memaknai Kekayaan
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - (Artikel sebelumnya: Mengungkap Dorongan di Balik Obsesi Konsumsi Barang-Barang Mewah)

Perilaku bermewah-mewah pada kalangan berduit, dari mulai pengusaha, selebritas, sampai keluarga pejabat, kadang bikin orang berpenghasilan rata-rata seperti kita geleng-geleng kepala.

Sebenarnya tidak ada yang salah atau keliru dari orang-orang kaya yang membelanjakan uangnya untuk hidup mewah dan mengoleksi produk-produk desainer dengan harga selangit. Toh mereka berhak menikmati uang hasil jerih payah sendiri, atau keringat leluhurnya (tentu hal ini tidak berlaku bagi mereka yang uangnya terbukti diperoleh dengan cara haram, seperti korupsi atau menipu).

Sejumlah konsumen komoditas mewah juga terkenal dermawan, berkenan membagi rezekinya untuk membahagiakan orang lain. Sebut saja orang ultrakaya seperti Warren Buffet dan Bill Gates yang menggagas gerakan filantropi The Giving Pledge, atau artis-artis kenamaan tanah air yang suka membelikan karyawannya iPhone atau memberangkatkan mereka umrah.

Sisi Kelam Bermewah-mewah

Penting dipahami bahwa konsumsi produk-produk mewah pada dasarnya mencerminkan karakter tertentu dari seseorang, yaitu sangat fokus pada atau mementingkan diri sendiri. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila ada beberapa tindak tanduk atau karakter konsumen barang mewah yang dalam konteks relasi sosial tergolong kurang menyenangkan dan jauh dari kesan positif.

Berdasarkan eksperimen yang hasilnya diterbitkan di International Journal of Research in Marketing (2021), terdapat korelasi antara perempuan pemakai tas tangan mewah dengan kecenderungan berperilaku pelit atau egois. Responden perempuan yang dalam eksperimen diberi kesempatan untuk memakai tas Prada atau Louis Vuitton merasa dirinya punya status sosial lebih tinggi sehingga cenderung enggan membantu orang yang sedang kesulitan (sesederhana membawakan belanjaan orang lain, ikut mencarikan hewan peliharaan atau kunci hilang di jalan, merawat saudara atau teman yang sakit).

Selain itu, mereka menjadi lebih dermawan jika aksi donasinya terlihat publik. Sebaliknya, sumbangan jadi lebih sedikit jika dilakukan secara privat.

Menurut salah satu survei di studi berjudul On the Value of Modesty: How Signals of Status Undermine Cooperation (2022), orang yang suka pamer gaya hidup mewah di media sosial dan koleksi barang mahal bahkan cenderung tidak diinginkan sebagai teman dalam kerja tim.

Hasil tersebut didapat usai 395 responden diminta merekrut orang secara acak ke dalam grup pertemanan atau komunitas mereka. Perekrutan semata didasari dari informasi pada akun-akun profil di media sosial dengan beragam aneka konten: dari tipe unggahan bernuansa netral tentang aktivitas sehari-hari sampai yang mencitrakan status sosial tinggi dengan menampilkan koleksi barang bermerek atau aktivitas berlibur ke luar negeri.

Responden cenderung tidak mau menerima orang yang mengunggah konten-konten pamer. Menurut mereka, pemilik akun-akun demikian jauh lebih kaya dan lebih fokus pada status sosialnya sendiri sehingga terkesan tidak peduli pada orang lain. Dengan kata lain, mereka memberikan satu syarat yang harus dipenuhi seseorang jika hendak masuk ke dalam circle: haruslah kooperatif.

Pada eksperimen lain, lebih dari 1.300 responden diminta menentukan foto profil akun media sosial. Pilihannya adalah foto dalam balutan baju buatan desainer dengan logo mencolok atau merek pasaran yang harganya terjangkau. Mereka juga diberi tahu bahwa akunnya akan diseleksi untuk dimasukkan ke dalam suatu grup daring. Tentu Anda tahu apa yang mereka pilih.

Sebagian responden diberi bocoran bahwa grup daring tersebut hanya mau menerima anggota yang terlihat bisa diajak bekerja sama dalam tim. Kelompok ini akhirnya cenderung enggan menampilkan foto profil dengan pakaian bermerek nan mewah. Singkat kata, orang cenderung lebih nyaman berpenampilan sederhana apabila ingin terlihat kooperatif atau bisa diandalkan sebagai team player.

“Demokratisasi Kemewahan”

Meskipun kesan negatif dilekatkan pada karakter orang-orang yang gemar pamer kemewahan, praktik conspicuous consumption yang “vulgar” demikian tetap lazim ditemui sehari-hari pada era kini—terutama ketika semakin banyak khalayak bisa mengunggah konten di media sosial.

Merebakluasnya pencitraan bermewah-mewah ini tidak bisa dipisahkan dari fakta bahwa sejak akhir abad ke-20, hasrat dan kesempatan untuk mengakses komoditas mewah semakin tidak terbatas di lingkaran satu persen orang terkaya. Jangkauannya kini lebih luas, merujuk pada satu segmen khusus. Siapakah mereka?

Siapa lagi jika bukan kalangan middle class atau kelas menengah, kategori demografi yang definisi simpelnya meliputi orang-orang berpenghasilan antara Rp150 ribu-Rp750 ribu per hari (menengah-bawah) dan sampai Rp1,5 juta per hari (menengah-atas).

Pada hari ini, dan diprediksi sampai satu dekade ke depan, mereka adalah kelompok konsumen paling besar. Setidaknya dua per tiga aktivitas belanja di dunia sekarang datang dari kantong milik kelas menengah, yang ditemukan di setiap titik penjuru bumi dan mewakili sekitar 45 persen populasi dunia. Setengah abad silam, eksistensinya masih terbatas di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara.

Produsen komoditas mewah pun sigap menanggapi perkembangan segmen tersebut. Mereka mengembangkan strategi penjualan baru dan menawarkan lebih banyak jenis produk—berusaha keras mengakomodasi keinginan kelas menengah untuk memiliki produk-produk bermerek dan berkelas.

Proses untuk membuat produk luks semakin banyak tersedia dan mudah diakses banyak orang inilah yang disebut “demokratisasi kemewahan/komoditas mewah”.

Menurut konsultan bisnis Michael J. Silverstein dan Neil Fiske, penyusun buku Trading Up: Why Consumers Want New Luxury Goods and How Companies Create Them (2008), fenomena ini melahirkan satu kelas ritel baru yang berusaha menjembatani “massa dan kelas”.

Komoditas mewah untuk kalangan menengah, atau istilahnya “kemewahan baru”, dipandang berkualitas tapi harganya masih bisa dijangkau massa lebih luas, misalnya merek aksesoris tas Coach dan ritel pakaian dalam Victoria’s Secret, atau mobil produksi BMW (tidak selangka komoditas mewah “lama” semacam Rolls Royce atau Bentley namun juga tidak sepopuler Ford, Chevrolet, atau Toyota).

Seiring itu, perusahaan konsultasi manajemen Bain & Co. melaporkan, industri komoditas mewah—dari mobil, kuliner, aksesori, sampai layanan eksklusif di sektor pariwisata—memiliki prospek yang cerah. Meskipun sempat mengalami kontraksi gara-gara pandemi Covid-19, nilai penjualan ritel komoditas luks secara keseluruhan diperkirakan berhasil tumbuh sampai sepuluh persen dari era prapandemi—nyaris mencapai angka 1,4 triliun euro pada 2022—atau lebih dari Rp22 triliun. Basis konsumennya pun diprediksi terus bertambah, dari sekitar 400 juta orang jadi 500 juta orang pada 2030 mendatang.

Inconspicuous Consumption—Kemewahan Diam-Diam

Lantas, apa yang membedakan kelas menengah dan kalangan superkaya apabila keduanya sama-sama mendambakan—dan berpeluang sama besar untuk mengakses—tas desainer, mobil cantik, atau pengalaman liburan eksklusif dengan layanan penerbangan kelas pertama dari jet pribadi atau yacht mewah?

Pandangan menarik soal pertanyaan itu pernah disampaikan oleh profesor kebijakan publik Elizabeth Currid-Halkett dari University of Southern California. Dalam artikel yang terbit di Aeon tahun 2017 silam, ia menyorot bagaimana kalangan super kaya, merujuk pada jajaran berpenghasilan top satu persen, punya semacam pembeda atau penanda khusus yang sifatnya diam-diam alias tidak kentara.

Mereka, disebut “kelas aspirasional” oleh Currid-Halkett, adalah sekelompok elite yang berusaha menjaga statusnya dengan memupuk ilmu pengetahuan dan modal budaya (cultural capital). Artinya, orientasi mereka tidak terbatas pada hal-hal bersifat materialistis melainkan juga yang berwujud nonmaterial: investasi sumber daya manusia terutama pendidikan.

Gaya hidup kelas aspirasional inilah yang Currid-Halkett definisikan sebagai “inconspicuous consumption”—konsumsi tidak mencolok/tidak menarik perhatian”—lawan dari aktivitas pamer yang kental dalam gaya hidup “inconspicuous consumption” sebagaimana dicetuskan oleh ekonom-sosiolog Thorstein Veblen lebih dari seabad silam.

Kalangan aspirasional ini, kata Currid-Halkett, memutuskan berinvestasi lebih besar untuk pendidikan dan berbagai layanan semasa pensiun, termasuk asuransi kesehatan. Kesemuanya jelas bukan material fisik, namun ongkosnya jauh lebih menguras kantong dibandingkan tas-tas desainer yang biasa diminati kalangan kaya pada umumnya.

Temuan tersebut tercermin dari data Consumer Expenditure Survey di Amerika Serikat. Sejak 2007, terungkap bahwa satu persen orang terkaya (berpenghasilan lebih dari 300 ribu dolar/Rp4,5 miliar per tahun) semakin sedikit membelanjakan uangnya untuk komoditas materialistis, sedangkan pengeluaran untuk hal yang sama cenderung konsisten pada kategori kelas menengah (penghasilan 70 ribu dolar/Rp1 miliar per tahun).

Poin menarik lainnya berkaitan dengan pengeluaran untuk pendidikan, yang pada kalangan satu persen terkaya meningkat 3,5 lipat sejak 1996, sementara pada kelompok kelas menengah angkanya flat atau datar.

Infografik Kemewahan Kelas Menengah

Infografik Kemewahan Kelas Menengah. tirto.id/Fuad

Dalam beberapa hal, kemewahan diam-diam bisa dicerminkan lewat aktivitas sesederhana berlangganan majalah The Economist (publikasi asal Inggris yang disebut-sebut “simbol status” di kalangan elite bisnis berpendidikan) atau The New Yorker (jurnalisme budaya kontemporer, kritik seni dan sastra untuk pembaca kosmopolitan dengan aspirasi kelas atas di kota-kota besar Amerika). Dengan memfamilierkan diri pada isu kompleks yang diangkat pada publikasi tersebut, kalangan aspirasional jadi punya materi obrolan berkualitas untuk memperluas jaringan profesionalnya.

Tak ketinggalan kebiasaan sehari-hari yang terlihat sepele namun esensial untuk menunjang gaya hidup sehat: konsumsi makanan seperti telur ayam pasteurisasi atau buah-buahan dan sayur organik. Dari luar, wujudnya seperti makanan biasa—tapi harganya di luar dugaan.

Mengutip kesimpulan Currid-Halkett, kemewahan terselubung yang dipilih kalangan kelas aspirasional punya tujuan yang bersifat lestari (meningkatkan kualitas hidup dan mobilitas sosial anak-cucu), kontras dari aksi pamer kemewahan material pada umumnya yang sekadar jadi cerminan “kesombongan” dan sifatnya sekejap.

Pada akhirnya, memamerkan kekayaan—terutama yang wujudnya material—hanyalah satu dari sekian cara yang bebas dipilih oleh siapa pun untuk mencapai atau mempertahankan status sosialnya. Namun mungkin perlu direnungkan baik-baik pertimbangan moral atau etikanya: apakah kemewahan itu perlu dan pantas untuk dipamer-pamerkan, terlebih jika punya mandat sebagai pegawai pemerintah yang mewakili kepentingan rakyat banyak?

Baca juga artikel terkait ORANG KAYA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino