Menuju konten utama

Hasil Riset: Orang Kaya Hidup Lebih Lama

Penelitian menunjukkan bahwa untuk menjadi panjang umur diperlukan penghasilan atau tingkat kekayaan lebih tinggi.

Hasil Riset: Orang Kaya Hidup Lebih Lama
Ilustrasi diet herbal. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sineas Andrew Niccol melukiskan ketimpangan sosio-ekonomi dengan menarik lewat film fiksi sains In Time (2011). Dalam film itu dikisahkan manusia berhenti menua pada usia prima, 25 tahun. Setelah itu mereka hanya diberkahi waktu satu tahun tambahan. Setiap detik, menit, jam, dan hari yang tersisa dapat dimonitor dari jam analog yang tercetak di tangan setiap orang.

Tapi mereka dapat hidup lebih lama dari itu dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan melanggar hukum dengan merampas jatah waktu milik orang lain. Mereka juga bisa mendapatkan tambahan waktu dengan cara paling normal: bekerja. Alih-alih diupah dengan uang, mereka akan mendapatkan waktu.

Dalam semesta film ini waktu adalah baterai kehidupan sekaligus alat tukar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari: dari mulai belanja bahan makanan, sewa tempat tinggal, sampai membeli tiket bus (perjalanan dari area pinggiran ke kota, misalnya, menelan biaya dua jam). Maka semakin rajin bekerja semakin banyak waktu yang bisa dikeluarkan untuk membayar hidup dan kenikmatannya.

Konflik mulai menyeruak ketika seorang buruh pabrik melarat (diperankan penyanyi Justin Timberlake) yang sehari-hari terbiasa dengan cadangan waktu beberapa jam berkenalan dengan komunitas elite bergelimang waktu. Saking banyaknya waktu milik kalangan jetset ini, mereka tidak perlu lari-lari atau makan dengan tergesa. Uangnya pun bebas dihamburkan untuk berpesta, beli mobil seharga puluhan tahun, atau berjudi dengan nilai taruhan sampai seribu tahun.

Timberlake kian getir setelah mengetahui dirinya dan kebanyakan orang sudah dieksploitasi oleh para pengusaha pemilik pabrik dan bank perkreditan waktu.

Bagaikan Robin Hood, berbagai cara ia lakukan agar waktu yang dikuasai orang-orang kaya ini dapat dinikmati masyarakat luas, termasuk merebutnya dari konglomerat yang hidupnya “abadi” (punya aset waktu sampai satu miliar tahun).

Di kehidupan nyata, kisah di atas mungkin bisa dianalogikan seperti perjuangan buruh tambang litium di Nevada untuk membagikan Rp3.000 triliun aset Elon Musk kepada 689 juta penduduk miskin ekstrem yang hidup dengan uang di bawah Rp28 ribu/hari.

Kaya = Hidup Lebih Lama

Di samping membuat kita berangan-angan tentang dunia yang lebih sejahtera berkat sumbangsih kalangan jetset, film di atas juga memantik pertanyaan tentang korelasi antara harta dan peluang umur panjang. Apakah orang seperti Musk—dengan nilai kekayaan bersih setara Produk Domestik Bruto Pakistan atau Yunani—berpotensi lebih panjang umur daripada orang-orang berpenghasilan jauh di bawahnya?

Menurut beberapa hasil penelitian, jawabannya adalah: ya. Semakin kita kaya, semakin besar peluang kita hidup lebih lama.

Kesimpulan tersebut salah satunya berasal dari sebuah penelitian di Journal of the American Medical Association (2016) yang dipimpin oleh Raj Chetty dari Stanford University. Berdasarkan data dari 2001 sampai 2014 di Amerika Serikat, terungkap bahwa laki-laki dengan pendapatan tertinggi atau ‘the richest 1%’ mempunyai usia harapan hidup 87,3 tahun, lebih lama 14,6 tahun dibanding laki-laki dengan pendapatan terendah atau ‘poorest 1%’.

Sementara angka harapan hidup perempuan berpendapatan tertinggi mencapai 88,9 tahun—kira-kira 10 tahun lebih lama dari perempuan berpendapatan terendah.

Kondisi sosio-ekonomi yang baik juga berpotensi membuat seseorang lebih sehat dalam jangka waktu lebih lama. Ini terungkap dalam riset dari tim peneliti dari University of College London, Harvard University, dan beberapa kampus lain yang terbit dua tahun lalu di Journal of Gerontology: Series A.

Mereka berusaha menghitung berapa lama lansia dapat menjalani hidup yang bebas dari “disabilitas” sebelum kesehatannya mulai menurun. Data diambil dari 25 ribu orang berusia berusia paruh baya ke atas yang hidup di Inggris dan AS.

Penelitian ini mendefinisikan “disabilitas” sebagai kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti memakai baju, mandi, makan, bangun tidur, pergi ke toilet; dan aktivitas instrumental seperti membaca peta, mempersiapkan makan, pergi belanja, mengonsumsi obat, dan mengelola uang. Responden ditanya tentang hambatan-hambatan tersebut setelah sebelumnya dikelompokkan sesuai indikator sosio-ekonomi seperti tingkat pendidikan, harta (meliputi properti, tabungan, kendaraan pribadi yang dikurangi dengan utang), dan kelas sosial berdasarkan pekerjaan.

Hasilnya, setelah menginjak usia paruh baya, baik laki-laki maupun perempuan yang berasal dari kelompok terkaya berpotensi hidup tanpa disabilitas selama 8-9 tahun lebih lama dibandingkan kelompok termiskin. Sejak berusia 50, laki-laki terkaya bisa tetap aktif sampai 31 tahun kemudian, sedangkan laki-laki kelompok termiskin hanya 22 tahun. Sementara perempuan paling kaya punya waktu 33 tahun dan perempuan termiskin 24 tahun sampai mengalami kesulitan beraktivitas.

Masih ada temuan menarik lain tentang hubungan antara kekayaan dan umur panjang. Pada 2014, ekonom Barry Bosworth dari think tank Brookings Institution meneliti data 26 ribu orang AS kelahiran dekade 1920-1950. Hasilnya, laki-laki generasi baru (baik miskin atau kaya) cenderung punya usia harapan hidup lebih tinggi dibandingkan generasi lama. Akan tetapi, pada kalangan termiskin, selisihnya kecil. Mau jadi orang miskin di masa lalu maupun sekarang, usia harapan hidupnya tidak terlalu berbeda satu sama lain—dan tetap jauh lebih rendah daripada kelompok terkaya.

Gambarannya seperti ini: seorang laki-laki kelahiran tahun 1940 mencapai puncak karier pada tahun 1980-an atau saat usianya sekitar 55. Kala itu pendapatannya termasuk dalam kategori 10 persen tertinggi. Maka ia berpeluang hidup 34,9 tahun lagi atau kira-kira sampai umur 89,9 tahun—6 tahun lebih lama daripada laki-laki kaya lain kelahiran dekade 1920.

Sementara laki-laki kelahiran 1940 pada kategori pendapatan 10 persen terendah berpotensi hidup 24 tahun lebih lama—atau hanya 1,5 tahun lebih lama daripada laki-laki dari pendapatan terendah kelahiran 1920-an.

Seperti laki-laki, perempuan kelahiran 1940 di kelompok 10 persen pendapatan tertinggi punya usia harapan hidup lebih lama daripada perempuan kelahiran 1920-an. Namun selisihnya kecil, hanya 2-3 tahun (35 tahun versus 32 tahun hidup lebih lama).

Situasinya terbalik di kalangan perempuan dengan pendapatan lebih rendah. Perempuan kelahiran 1940 di kategori 10-40 persen pendapatan terendah justru memiliki angka harapan hidup lebih pendek daripada angkatan kelahiran 1920. Artinya, di kalangan mereka, kondisi kesehatan yang menunjang umur panjang cenderung tidak membaik seiring waktu. Menurut Bosworth, ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan merokok yang lazim ditemui di perempuan berpenghasilan rendah.

Di samping hasil-hasil riset yang menyokong korelasi antara tingkat kekayaan dengan umur panjang, ada pula riset yang menawarkan perspektif berbeda. Tim ekonom dari Center for Economic Behavior and Inequality dan University of Copenhagen pada 2018 menegaskan bahwa kehidupan orang tidaklah stagnan—kaya atau miskin terus sampai akhir hayat—sebagaimana diasumsikan dalam riset-riset lain.

Menurut mereka, perlu dipertimbangkan juga yang namanya mobilitas sosio-ekonomi, yang dalam konteks ini merujuk pada mobilitas intragenerasional, yakni meningkatnya kelas sosio-ekonomi dan taraf hidup individu berkat kenaikan gaji, jabatan, atau level pendidikan.

Tim peneliti memakai data pendapatan dan kematian di Denmark sepanjang 1983-2013. Jika faktor mobilitas pendapatan dimasukkan dalam riset, terungkap bahwa usia harapan hidup laki-laki usia 40 dari kelompok berpenghasilan tinggi mencapai 77,6 tahun sementara dari kelompok penghasilan rendah 75,2 tahun—selisihnya hanya 2,4 tahun. Pada kelompok perempuan, perbedaannya 2,2 tahun. Apabila faktor mobilitasnya dihapus, selisih usia harapan hidup berlipat ganda jadi sekitar 5 tahunan.

Di satu sisi, selisih angka di atas menunjukkan tren melebar dalam 30 tahun terakhir. Padahal, Denmark termasuk negara penyedia layanan publik terbaik yang menomorsatukan kesejahteraan rakyat. Temuan itu pun dipandang sebagai salah satu bukti bahwa kelompok kaya, termasuk yang berpendidikan tinggi, lebih mudah mengakses teknologi kesehatan sehingga lebih cepat melakukan pencegahan penyakit maupun penanganannya.

Kenapa Orang Kaya?

Corinna Loeckenhoff, direktur Healthy Aging Laboratory di Cornell University, pernah menyampaikan pada New York Times pada 2020 silam bahwa “punya kekayaan lebih berarti kita bisa lebih mudah berkonsultasi dengan dokter dan mengakses layanan tambahan yang mungkin tidak tersedia untuk orang-orang kekurangan.”

Loeckenhoff juga mengakui kemiskinan berkaitan dengan tingkat stres tinggi yang berdampak pada kualitas kesehatan dan memengaruhi usia harapan hidup.

Bukan berarti orang kaya kebal dari stres. Hanya saja, situasi sosio-ekonomi lebih baik membuat mereka mampu mengelola stresnya dengan lebih baik pula, papar Carol Graham sesuai risetnya di Brookings Institution pada 2016.

Selain itu, tipe stres yang dialami juga berbeda. Stres di kalangan berpenghasilan lebih tinggi dan terdidik kerap berkaitan dengan pencapaian kerja atau cita-cita (misal: dipicu kesulitan mengikuti kuliah atau persiapan presentasi di depan bos). Sedangkan di kalangan pendapatan rendah, termasuk yang level pendidikannya kurang, stres biasanya menyangkut hal-hal di luar kontrol mereka, seperti kesulitan bayar listrik karena tidak ada duit—atau istilahnya “bad stress”.

Infografik orang kaya hidup lama

Infografik orang kaya hidup lama. tirto.id/Fuad

Gaya hidup sehat juga berpengaruh besar. Berdasarkan riset dari kampus kedokteran Johns Hopkins terhadap 6.200 orang selama delapan tahun, terdapat sejumlah kebiasan yang dianggap dapat mengurangi risiko kematian sampai 80 persen: tidak merokok, menjaga berat badan, aktif bergerak, dan menyeleksi makanan bergizi—merujuk pada diet ala Mediterania yang kaya akan buah dan sayur segar, kacang-kacangan, ikan, sampai minyak zaitun untuk mengolah masakan.

Namun, sekali lagi, kebiasaan mengonsumsi makanan sehat dipandang lebih menguras kantong daripada pola diet kurang sehat yang melibatkan banyak produk olahan (nugget, sosis), daging-dagingan, dan biji-bijian olahan (biji yang nutrisinya berkurang karena sudah kehilangan kulit dan lembaganya).

Menurut penelitian Harvard School of Public Health tahun 2013, dalam sehari dibutuhkan tambahan uang 1,5 dolar (kurs sekarang sekitar Rp22 ribu) untuk menjalani pola makan paling sehat dibandingkan dengan yang paling tidak sehat. Artinya, per tahunnya setiap orang mungkin perlu menggelontorkan 555 dolar lebih banyak (Rp8 jutaan) jika ingin konsisten mengonsumsi makanan sehat.

Perbandingan harga yang kontras juga bisa dilihat pada makanan berkalori (sekadar cukup untuk menghasilkan energi). Menurut badan pangan PBB Food and Agricultural Organization (FAO) dalam laporan The State of Food Security and Nutrition in the World (2017), rata-rata biaya yang dikeluarkan di seluruh dunia untuk makanan berkalori berkisar 0,84 dolar per hari (Rp12 ribu), sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makan yang sehat dan variatif mencapai 4 kali lipatnya, yakni 3,69 dolar (Rp55 ribu).

Lalu, apa penyebab harga makanan tidak sehat relatif lebih murah? Tim peneliti Harvard berpandangan, kebijakan pangan selama ini rupanya lebih berorientasi pada aktivitas untuk memproduksi komoditas murah dalam jumlah besar-besaran. Infrastruktur pengolahan makanan, dimulai dari petani dan peternak, teknologi penyimpanan dan manufaktur, sampai transportasi dan pemasaran pun jadi “berpihak pada produk-produk pangan olahan tinggi demi keuntungan industri yang maksimal.”

Baca juga artikel terkait PANJANG UMUR atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino

Artikel Terkait