Menuju konten utama

Hidup Tersiksa Bersama Orang Tua

Tinggal bersama orang tua hingga usia lanjut berpotensi meningkatkan gejala depresi. Kondisi masa kecil berpengaruh. Mereka yang waktu kanak-kanak rutin menjadi korban pengabaian, tak diberi rasa aman, hingga sering mendapat tindak kekerasan, namun dipaksa harus mengurus orang tua alias sang pelaku, akan tumbuh menjadi pribadi yang rentan depresi saat dewasa.

Hidup Tersiksa Bersama Orang Tua
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Arif membereskan barang-barangnya di kamar kos baru dengan air muka cerah. Mantan mahasiswa jurusan Filsafat UGM itu akhirnya kembali ke Yogyakarta setelah menganggur selama 2 bulan lebih. Selama kurun waktu itu ia mesti hidup bersama orang tuanya lagi di Purworejo. Beruntung, ia diterima bekerja sebagai pegawai di salah satu bank swasta di daerah Maguwoharjo, Sleman, dan siap memulai hidup baru untuk kedua kalinya di tanah rantau.

“Akhirnya, bro. Lepas dari bayang-bayang orang tua,” ujarnya kepada Tirto.id.

Kelegaan Arif memiliki dasar yang cukup kuat. Layaknya ribuan perantau intelektual lain dari seluruh wilayah nusantara, sejak menyandang titel mahasiswa baru, untuk pertama kalinya Arif menyecap manisnya kebebasan hidup: sesuatu yang tak ia jumpai di rumah.

“Mau ini itu pasti lah harus mikir ortu (orang tua-red). Diizinkan atau enggak, atau kalo nanti mereka tahu marah atau enggak. Numpang hidup terus sampai gede kan menyiksa. Malu, padahal udah jadi sarjana,” imbuhnya.

Kebebasan itu memang mesti dibayar dengan kemandirian mengurus banyak hal. Namun, pertaruhan Arif sepadan dengan apa yang disuguhkan Yogyakarta kepadanya. Antara lain teman dekat yang satu selera dan pemikiran, pacar, tempat nongkrong yang asyik, dan akomodasi yang lengkap serta terjangkau untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Yang terpenting lagi, Arif merasa tidak perlu lagi dipantau orang tuanya.

Selama hidup di rumah orang tuanya, Arif memang merasa kurang leluasa. Selama di rumah, ia sering dilanda perasaan tak percaya diri (menjadi sarjana pengangguran), terkadang gelisah memikirkan masa depan, agak tertekan saat bergaul dengan warga sekitar, dan akhirnya ia kehilangan minat terhadap semua aktivitas—bahkan dengan aktivitas domestik yang “wajib” ia lakukan dalam rangka meringankan beban orang tua.

Arif barangkali tak sadar, tetapi yang ia rasakan sesungguhnya selaras dengan sejumlah gejala depresi menurut riset American Psychiatric Association tahun 2000 silam. Dalam Diagnostic and Statistical Manual IV - Text Revision (DSM IV-TR), gejala orang depresi serupa dengan kondisi yang dialami Arif, dengan beberapa tambahan antara lain berat badan turun, insomnia (susah tidur), terus-menerus merasa lelah, harga diri anjlok, merasa bersalah secara berlebihan, konsentrasi menurun drastis, dan dalam situasi yang terparah: muncul keinginan untuk bunuh diri.

Saat ditanya “Bagaimana jika pilihannya tinggal dua: hidup bersama orang tua sampai menua dengan kondisi serba layak—bahkan berlebih, atau tinggal sendiri tapi dengan kondisi cukup saja?”

Arif segera menyahut, “Tinggal sendiri lah...” sambil menampakkan raut muka yang seolah berkata, “Retoris sekali pertanyaanmu.”

Menanam di Usia Dini, Menuai di Saat Dewasa

Kemandirian dan kebebasan adalah dua dari sekian banyak kata kunci yang didambakan oleh orang dewasa. Sayangnya, tidak banyak orang yang bisa menemukan jalan untuk mandiri, sehingga selalu bergantung pada orang tua, bahkan hingga di usia yang sudah tak tergolong muda. Dalam usia yang semakin tua, ketidakmandirian ternyata memberikan rasa stres yang semakin besar.

Professor Deborah Carr, sosiolog dari Rutgers University, mencoba mengkajinya dengan memanfaatkan data Winsconsin Longitudinal Study (WLS). Studi WLS melibatkan 10.317 laki-laki dan perempuan yang lulus sekolah menengah atas di Winsconsin di tahun 1957.

Para responden telah diwawancarai sejak umur 36, 54, 65, dan 72. Deborah memfokuskan diri untuk mewawancarai 6.140 responden saat menginjak usia 65. Mereka adalah orang-orang yang hingga usia lanjut masih tinggal bersama orang tuanya masing-masing. Ia memulai wawancaranya dari tahun 2004, dilanjutkan dengan mengolah data, dan selesai pada tahun 2016.

Bulan lalu ia mempublikasikan temuannya di website Rutgers, sebagaimana ia juga paparkan di pertemuan American Sociological Association di Seattle, Selasa (23/8/2016). Hasilnya: orang-orang yang telah mencapai usia 65 dan masih tinggal bersama orang tua mereka lebih berpotensi untuk menderita gejala depresi daripada rekan-rekan mereka yang orang tuanya telah meninggal.

“Saya berekspektasi, bahwa orang yang hidup bersama kedua orang tua mereka akan memiliki kesehatan mental yang terbaik,” kata Deborah.

“Tetapi, bagaimana pun tipe orang tuanya, orang yang hidup bersama kedua orang tua mereka justru lebih sering dilanda kesedihan ketimbang mereka yang hidup dengan satu orang tua saja. Sedangkan orang yang hidup bersama satu orang tua saja lebih sering merasa sedih dibanding mereka yang orang tuanya telah meninggal,” paparnya.

Hasil penelitian itu juga menunjukkan, perempuan lebih rentan mengalami stres dan gejala depresi lainnya dibandingkan dengan laki-laki. Deborah menilai hal ini masuk akal sebab perempuan dianggap memiliki tanggung jawab lebih sebagai pengasuh orang tua mereka yang sudah sangat lanjut usia.

“Dan jika mereka merawat orang tua yang dulunya lalai atau bersikap tak baik kepada mereka, tentu hal tersebut menambah perasaan pahit dan benci yang terpupuk sejak lama,” imbuhnya.

Ketika orang tua yang gemar kasar kepada anaknya itu meninggal, Deborah menjelaskan bahwa sang anak mungkin merasa sedih. Namun di sisi lain, ada semacam kelegaan sebab sosok yang dahulu sering bersikap keras telah tiada, dan ia bisa melanjutkan hidup (setidaknya) tanpa bayang-bayang orang yang telah memberinya trauma.

“Bagaimana pun kondisinya, jika kau tak dilimpahi kasih sayang dan tak diberikan rasa aman saat masih kecil, kau akan mudah depresi dan marah saat sudah dewasa. Dan saat kau mesti merawat orang tua seperti itu di masa tuamu, lalu keduanya meninggal tanpa adanya penyelesaian atas permasalahan yang kau alami, tentu saja kau menjadi pribadi yang rapuh dan gampang terserang depresi,” jelasnya.

Sebaliknya, lanjut Deborah, mereka yang merasakan cinta, aman, akan merasa berat saat ditinggal oleh orang tua mereka untuk selama-lamanya. Mereka tidak rentan terhadap perasaan sedih yang berlarut-larut akibat diabaikan selama menjalani masa kanak-kanak hingga masa remaja, atau gejala depresi lainnya.

“Dukungan emosional yang dinikmati selama kecil dapat menjadi pelipur lara saat sedang berduka akibat kematian kedua orang tua,” jelas Deborah.

Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti