Menuju konten utama

Standar Ganda & Kontradiksi Pemerintah soal Pilkada Serentak 2024

Pemerintah ngotot Pilkada 2020 untuk menghindari banyaknya Plt. Kepala Daerah. Sekarang pemerintah mau Pilkada 2024 padahal risikonya sama.

Standar Ganda & Kontradiksi Pemerintah soal Pilkada Serentak 2024
Warga datang untuk menggunakan hak pilihnya di TPS 11 yang terendam banjir di Dukuh Clumprit, Degayu, Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (9/12/2020). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/wsj.

tirto.id - DPR dan pemerintah sibuk membahas perlunya Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Sebagian setuju bahwa RUU Pemilu diperlukan, sebagian lain tidak. Padahal awalnya seluruh partai tidak keberatan memasukkannya ke daftar RUU Prolegnas Prioritas 2021. Aturan itu diajukan sendiri oleh DPR dan kini tiba-tiba sebagian besar fraksi membalik tangan.

Awalnya, yang setuju dengan dilanjutkannya pembahasan RUU Pemilu adalah Partai NasDem, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Yang tidak setuju adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerindra.

Dengan adanya RUU Pemilu yang menggabungkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bisa jadi Pilkada serentak beralih menjadi tahun 2022 dan 2023. Jika tanpa aturan baru, maka seluruh pemilu, baik pemilu legislatif DPR, DPRD, DPD, pemilihan presiden, dan pemilu kepala daerah akan berlangsung serentak pada 2024.

Alasan penundaan dari partai-partai yang menolak sebenarnya tidak cukup kuat untuk menghentikan pembahasan. PAN, misalnya, menganggap bahwa aturan yang ada sudah cukup baik, hanya perlu disempurnakan melalui aturan turunan lainnya. Alasan kedua, ada pekerjaan yang lebih penting, yakni soal penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi.

“Oleh karena itu, alangkah indahnya jika energi DPR dan pemerintah diarahkan sepenuhnya dalam rangka menuntaskan kedua masalah tersebut,” kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Senin (25/1/2021).

Lain halnya dengan PDIP dan PPP. Kedua partai ini sama-sama menganggap UU Pemilu yang sudah ada seharusnya bisa diterapkan terlebih dahulu baru dilakukan evaluasi kemudian. Bagi mereka, mubazir jika UU yang sudah ada diperbarui sebelum dijalankan. Apalagi ada jeda 7 bulan meskipun pemilu legislatif dan kepala daerah dilakukan pada tahun yang sama.

"Lalu jeda waktu Pemilu Legislatif dengan Pilkada 2024 ada 7 bulan sehingga tidak mengganggu teknis persiapan di lapangan,” kata Sekretaris Fraksi PPP di DPR RI, Achmad Baidowi, Rabu (27/1/2021), seperti dilansir Antara.

Padahal RUU Pemilu ini dimasukkan sendiri oleh DPR untuk dibahas, lantas dimentahkan dengan alasan “tak perlu direvisi”.

Masuk ke bulan Februari, atau sekiranya hanya dalam dua minggu, sikap partai di DPR terbelah lagi. Bukan hanya empat partai, tapi Partai NasDem, PKB, dan Partai Golkar juga mengubah sikap. Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Azis Syamsuddin, menyatakan partainya setuju bahwa pembahasan soal penanganan pandemi lebih penting dibahas saat ini.

“Usai melakukan konsolidasi dan menyerap aspirasi, Golkar lebih mengutamakan untuk menarik dan mengikuti amanah UU mengenai pilkada secara serentak dilaksanakan di tahun 2024. Itu untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara yang saat ini sedang melakukan pemulihan ekonomi di masa pandemi," kata Azis di Jakarta, Rabu (10/2/2021).

NasDem dan PKB juga punya alasan yang sama. Hanya saja PKB menambahkan perlu adanya partisipasi sipil dalam pembuatan UU Pemilu dan tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu yang pendek.

Momen perubahan sikap ini tidak hadir dari ruang kosong. Sekitar seminggu sebelum pernyataan penolakan partai-partai itu untuk melanjutkan revisi, Jokowi menggelar pertemuan dengan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin pada 28 Januari 2021. Seluruh perwakilan partai pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin hadir dan salah satu bahasannya adalah soal RUU Pemilu.

Seminggu kemudian, giliran pemerintah yang memastikan sikapnya menolak pembahasan RUU Pemilu melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

"Pemerintah tidak menginginkan revisi dua undang-undang tersebut, ya. Prinsipnya, ya, jangan sedikit-sedikit itu undang-undang diubah, yang sudah baik, ya, tetap dijalankan," kata Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (16/2/2021).

PKS, yang sejak awal menginginkan revisi UU Pemilu dan Pilkada, menganggap perubahan sikap fraksi-fraksi memang terjadi setelah pertemuan dengan Jokowi. PKS hanya bisa berspekulasi bahwa ada pihak-pihak tertentu yang punya kalkulasi politik tentang buruknya Pilkada jika dilakukan pada 2022 dan 2023.

Standar Ganda Pemerintah

Pemerintah dan partai koalisi di DPR sepakat bahwa pembahasan RUU Pemilu akan mengalihkan fokus dari masalah pandemi. Padahal, jika Pilkada tetap dilaksanakan tahun 2024, pemerintah akan menghadapi tantangan lain, yakni banyaknya pelaksana tugas, pejabat sementara, atau penjabat kepala daerah.

Melalui akun Twitter-nya, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi mencatat setidaknya akan ada 272 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 2023. Jabatan itu harus diisi oleh orang-orang yang ditugaskan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Presiden Jokowi.

Jumlah ini hampir sama dengan pelaksana tugas yang diperkirakan muncul jika Pilkada 2020 ditunda. Tito saat itu memperkirakan akan ada 270 pelaksana tugas jika Pilkada 2020 ditunda lebih lama dari Desember 2020.

Tito, mewakili pemerintah, tidak setuju jika Pilkada 2020 ditunda, meski berpotensi memunculkan klaster baru COVID-19. Nyatanya, jumlah pelanggaran protokol kesehatan selama masa kampanye Pilkada 2020 saja mencapai angka ratusan.

"Apakah ini [Plt] baik? Tidak. Kenapa? Karena Plt itu terbatas kewenangannya dan tidak memiliki legitimasi dari rakyat," kata Tito saat kunjungan kerja ke Atambua, Jumat (19/6/2020).

Argumen mantan Kapolri ini adalah Pilkada 2020 justru bisa membuat penanganan COVID-19 membaik. Teori Tito, petahana yang mencalonkan diri akan bekerja lebih keras menangani pandemi sebelum hari pemilihan. Sedangkan kontestan lain akan berlomba-lomba mencari solusi terbaik untuk mengatasi virus yang sudah merenggut 34 ribu lebih nyawa orang Indonesia. Perkiraan Tito lainnya, COVID-19 akan selesai di Indonesia pada pertengahan atau akhir 2022.

"Saya melihat adanya peluang, justru dengan adanya Pilkada ini bisa menekan penyebaran COVID-19, dengan mengangkat isu COVID-19 sebagai isu yang paling utama dalam Pilkada ini. Jadi isinya mencari kepala daerah yang efektif bisa menangani COVID-19," kata Tito, Jumat (3/7/2020), sebagaimana dilansir CNN.

Infografik Pilkada Serentak

Infografik Pilkada Serentak. tirto.id/Fuad

Hanya beberapa bulan berlalu sejak pernyataan Tito itu, pemerintah kemudian seperti terjerumus dalam kontradiksi dengan menerapkan standar ganda. Pada tahun 2020, pemerintah beranggapan pergantian kepala daerah bisa efektif menangani COVID-19, tapi pergantian kepala daerah di tahun 2022 justru ditiadakan kendati COVID-19 belum bisa dipastikan selesai.

Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia, pemerintah Indonesia juga sebenarnya abai terhadap kritik dan masukan masyarakat. Ada 54,8 persen pemilih nasional yang ingin Pilkada 2022 tetap dilakukan. Sedangkan ada 53,7 persen yang juga tetap mau Pilkada 2023 dilakukan di daerah yang masa jabatannya sudah habis pada tahun tersebut.

Survei ini dilakukan pada 1-3 Februari 2021 dengan melibatkan 1.200 responden yang melalui sambungan telepon. Tingkat kepercayaannya 95 persen dan margin of error-nya kurang lebih 2,9 persen.

Undang-undang seputar pemilu memang hampir selalu berubah setiap tahun dan seperti menjadi rutinitas tersendiri di DPR. Masalah yang dibahas juga kebanyakan itu-itu saja.

Misalnya saja soal ambang batas parlemen atau electoral threshold. Pada 2008, UU Nomor 10/2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi perkara gara-gara perdebatan ambang batas minimal 2,5 persen atau 5 persen. Pada pembahasan UU Nomor 8/2012, perkara ini kembali dipersoalkan. Ambang batas yang disepakati akhirnya adalah 3,5 persen.

Perludem dalam laporan berjudul Kodifikasi Undang-Undang Pemilu Pembaruan Hukum Pemilu Menuju Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Daerah (2016, PDF) menyebut bahwa perubahan undang-undang terkait pemilu sebenarnya tidak berpijak pada kepentingan rakyat sebagai pertimbangan utama, tapi kepentingan politik praktis.

“Salah satu yang menyebabkan berubahnya undang-undang adalah kepentingan partai politik yang berbeda-beda. Hal ini juga yang menyebabkan adanya perdebatan yang cukup alot terkait sejumlah isu tentang sistem pemilu yang akan digunakan,” catat Perludem.

Pemilu serentak nasional dan lokal sebenarnya sudah didukung Perludem sejak lama. Alasannya sederhana: Perludem menganggap mereka yang lolos jadi anggota DPRD banyak terbantu oleh presiden terpilih. Misalnya saja Jokowi dipilih oleh mayoritas pemilih, maka kemungkinan kader PDIP banyak yang terkerek menjadi anggota DPRD. PSI adalah salah satu contoh nyatanya. Partai ini gagal menembus DPR, tapi berhasil mengirim perwakilan ke DPRD DKI Jakarta.

Namun konsep Pilkada serentak lokal ala Perludem dimaksudkan untuk memisahkan pemilu legislatif DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan kepala daerah dengan pemilu presiden dan DPR. Dengan ini, mereka yang tidak memimpin cukup baik di tingkat nasional bisa mendapat ancaman pergantian kekuasaan di daerah.

“Pemilu serentak lokal menjadi koreksi pemerintahan nasional di tengah masa jabatan presiden. Jika tak memuaskan, presiden dan partai pengusungnya bisa dihukum di pemilu serentak lokal, dengan memilih calon dan partai lain di semua tingkat daerah,” tulis Perludem lagi.

Tanpa pemilu serentak lokal, kondisi parlemen di daerah juga terfragmentasi. Pemimpin daerah bisa jadi tak mendapat dukungan mayoritas di DPRD sehingga sulit menelurkan satu kebijakan.

“Visi-misi kepala daerah yang dituangkan melalui Perda dan APBD sangat mungkin ditolak DPRD,” catat Perludem.

Hanya saja demi mencapai pemilu serentak lokal ini ada yang harus dikorbankan. Salah satunya adalah merelakan kemungkinan 272 Plt. Kepala Daerah sampai 2024 mendatang. Dan mengutip pernyataan Tito Karnavian, pemerintahan tidak akan berjalan baik karena pelaksana tugas “akan terbatas kewenangannya.”

Baca juga artikel terkait PILKADA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan