tirto.id - Semula semua fraksi di DPR RI sepakat merevisi Undang-Undang Pemilu sehingga dapat masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Namun, belakangan, peraturan ini justru ramai-ramai ditolak sendiri oleh mereka.
DPR RI memasukkan revisi peraturan ini ke dalam prolegnas prioritas bersama dengan 37 RUU lain pada 26 November 2020.
Diskusi antarfraksi memanas ketika membahas jadwal pemilihan kepala daerah. Mengacu UU Pemilu dan UU Pilkada yang masih berlaku, pilkada serentak digelar bersama pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2024. Sementara dalam RUU Pemilu, pilkada dimajukan menjadi 2022 dan 2023.
Pendukung RUU Pemilu dari Partai Nasdem sekaligus Wakil Ketua Komisi II Bidang Politik DPR, Saat Mustopa, menyatakan akan terjadi kekosongan kepala daerah jika pilkada tetap digelar pada 2024. Pasalnya, ada kepala daerah yang masa jabatannya selesai sebelum itu. Misalnya DKI Jakarta. Anies Baswedan hanya akan menjabat hingga 2022.
Di luar Nasdem, sikap fraksi terbelah. Ada yang setuju, ada menolak keras, bahkan ada juga yang abu-abu. PPP, PKB, PAN dan PDIP menolak revisi. Sedangkan Golkar belum bersikap.
Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi mengatakan UU Pilkada masih berlaku dan belum terlaksana. Menurut dia, akan mubazir mengubah aturan yang belum pernah dilaksanakan.
Sementara Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan UU Pemilu belum saatnya direvisi. Kata dia, ada banyak hal mendesak untuk dipikirkan DPR, salah satunya penanganan COVID-19. “[UU Pemilu] baru diterapkan secara formal dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir. Sejauh ini penyelenggaraan pemilu yang dilakukan dengan payung hukum UU ini berjalan cukup baik,” kata Zulhas.
Lalu, menurut Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat, revisi peraturan ini belum mendesak. Kendati demikian, kata dia, evaluasi Pilkada 2020 tetap perlu dilakukan.
Kemudian Golkar, juara ketiga Pileg 2019 dengan perolehan 14,75 persen suara, menyatakan masih akan menimbang pandangan dari partai lain.
Plinplan
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyatakan RUU Pemilu merupakan inisiatif DPR RI. Respons beragam dari pimpinan fraksi disebut muncul setelah RUU Pemilu masuk Prolegnas.
Menurutnya, melansir Antara, debat antarfraksi yang terjadi belakangan membuat mereka “harus duduk kembali” bersama sama untuk “mendiskusikan apakah RUU Pemilu akan dilanjutkan atau tidak.”
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut sikap partai yang setuju revisi lalu menolak ramai-ramai sebagai plinplan. “Sikap fraksi-fraksi yang sudah bersepakat lalu mementahkan lagi kesepakatan itu jelas sebuah sikap plinplan,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Jumat (29/1/2021).
Sikap plinplan ini, menurut dia, menunjukkan revisi UU Pemilu sejak awal tak dirancang dengan tujuan agar pemilu lebih berkualitas. “Tapi hanya untuk membangun strategi politik partai-partai dalam menyongsong pemilu yang akan datang,” tuturnya.
Meski demikian, ia mengaku heran melihat fenomena ini karena sikap plinplan sudah lazim dalam politik Indonesia yang pragmatis.
Oleh karena itu ia menyarankan DPR fokus dengan UU lain yang lebih prioritas daripada tersandera kepentingan politik pragmatis.
Rawan Diskriminasi
RUU Pemilu menambahkan panjang daftar aturan kontroversial dan diskriminatif terhadap warga negara. Dalam revisi, hak eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang dibubarkan pemerintah, untuk dipilih sebagai calon anggota legislatif, kepala daerah, hingga kepala negara dihilangkan.
“Usulan ini [HTI setara PKI] mesti ditinjau lagi. Selain alasan normatif, nanti mekanismenya seperti apa?” terang Direktur Imparsial Gufron Mabruri kepada reporter Tirto, Rabu (27/1/2021). Menurutnya hak berpolitik merupakan hak asasi yang dijamin oleh negara.
Selain penambahan syarat baru, revisi juga termasuk terkait beberapa perubahan mendasar. Di antaranya syarat minimal pendidikan naik dari setara SMA jadi lulusan perguruan tinggi untuk calon presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD.
Calon presiden juga wajib terdaftar sebagai kader partai politik. Bagi calon perseorangan tidak.
Empat muatan penting RUU Pemilu mencakup sanksi denda 10 kali lipat bagi partai bila terbukti menerima imbalan atau mahar terkait pencalonan presiden. Aturan itu tertuang dalam Pasal 205 Ayat (5) Draf RUU Pemilu.
Lalu menaikkan parliamentary threshold atau ambang batas DPR menjadi 5 persen dari sebelumnya 4 persen.
Ada juga aturan rencana ambang batas bagi partai peserta pemilu legislatif di level provinsi hingga kabupaten/kota yang sebelum tidak ada. Terakhir muncul opsi pemungutan suara elektronik atau e-voting.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Zakki Amali