Menuju konten utama

Perampasan Hak Politik Para Eks-HTI Lewat RUU Pemilu

Aktivis menilai rencana melarang eks HTI ikut pemilu keliru. Selain alasan substansial, teknis rencana ini juga bakal membuat rumit.

Perampasan Hak Politik Para Eks-HTI Lewat RUU Pemilu
Pengurus beraktivitas di kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), di Menteng Dalam, Tebet, Jakarta, Senin (8/5). Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan berbasis agama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama/17.

tirto.id - Dalam regulasi pemilu saat ini, yang dilarang menjadi peserta hanyalah para eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi yang terafiliasi dengannya atau yang terlibat langsung dalam G30S. Pada pemilu selanjutnya, daftarnya mungkin akan bertambah.

Pasal 182 ayat (2) huruf huruf jj Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa peserta pemilu baik pilpres, pilkada, atau bahkan pileg, juga tidak boleh “bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia.”

RUU Pemilu adalah regulasi yang sedang dikebut legislatif dan telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.

Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengatakan alasan pelarangan lantaran anggota dua organisasi itu melenceng dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Pengurus dan anggotanya bertolak belakang dengan empat konsensus dasar bangsa, bahkan hendak menggantinya,” kata Zulfikar, Selasa (26/1/2021).

PKI dan afiliasinya telah dilarang oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto sejak 1966, sementara HTI pada 19 Juli 2017 di era Joko Widodo.

Sementara Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa mengatakan larangan itu sebenarnya bersifat normatif. Semua warga negara Indonesia harus patuh terhadap konstitusi dan mengakui ideologi negara. Bagi siapa pun yang ogah bahkan ingin mengubahnya, maka tak bisa ikut serta dalam pemilu. “Tentu tidak bisa kami beri kesempatan untuk mencalonkan baik di legislatif maupun eksekutif. Itu sudah menjadi kesepahaman bersama,” ujar Saan.

Keliru

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan kebijakan ini keliru. Alasannya, karena ia tak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 lalu. Alasan yang sama dapat dipakai untuk menolak rencana melarang eks-HTI mencalonkan diri.

Mengutip Tempo, ketika itu hakim yang dipimpin Jimly Assidiqie menyatakan pasal yang melarang eks PKI dipilh dalam pemilu “tidak relevan dengan rekonsiliasi yang menjadi tekad nasional bangsa,” selain juga “telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia.”

Selain itu rencana kebijakan ini juga memerlukan pembuktian yang mempersulit penyelenggaraan pemilu. “Harus ditentukan siapa/lembaga apa yang akan menentukan seseorang itu eks HTI atau bukan. Lalu bagaimana pembuktiannya?” kata Khoirunnisa kepada reporter Tirto, Rabu (27/1/2021).

Pembuktian ini tentu memakan waktu dan biaya tersendiri. “Harus ada pembuktian dari berkas, mengurus ke pihak-pihak terkait, [sementara] proses di pemilu sebelumnya saja sudah banyak tahapan administrasi yang harus dilalui.”

Khoirunnisa lantas mengusulkan alternatif, yaitu melarang eks-HTI ikut pemilu hanya dalam jangka waktu tertentu misalnya lima tahun. Jadi sama seperti eks koruptor yang tidak bisa langsung mencalonkan diri begitu keluar dari penjara.

Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan rencana ini “mesti ditinjau ulang”.

Dia menjelaskan bahwa hak politik, meski termasuk hak asasi yang harus dijamin negara, tetap dapat dibatasi. Untuk membatasinya itu perlu pengaturan yang rigid, dari mulai diatur dalam hukum, alasan yang sah, menjamin proporsionalitas, dan akuntabilitas. Di sinilah letak persoalan dari rencana pelarangan. “Pelarangan tidak selaras dengan empat prinsip pembatasan tersebut,” terang Gufron kepada reporter Tirto, Rabu.

“Selain alasan normatif, nanti mekanismenya seperti apa? Siapa yang memastikan eks HTI, eks PKI, sedangkan tidak ada putusan pengadilan?” tambahnya.

Dia khawatir ujung-ujungnya regulasi ini dapat menjadi alat gebuk untuk menyingkirkan lawan dalam pemilu.

Anggota Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras Danu Pratama Aulia juga senada. “Bukan alasan karena beda pandangan politik atau perbedaan ideologi lantas negara bisa melarang kelompok tertentu terlibat dalam pemilu. Itu bukan justifikasi yang cukup,” kata Danu kepada reporter Tirto.

Ia mengatakan bahwa negara tak bisa memukul rata setiap individu yang bergabung dengan HTI dan PKI pasti berbuat kejahatan, sebab pertanggungjawaban pidana itu bukan kolektif tapi individual.

Baca juga artikel terkait HIZBUT TAHRIR INDONESIA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino