tirto.id - Setelah menteri muda, kali ini muncul staf khusus milenial. Presiden Joko Widodo pun makin sukses melabeli dirinya sebagai pemimpin yang peduli pada anak muda, punya visi ke depan, dan penuh keterbukaan terhadap inovasi. Hanya saja apakah gagasan mereka bisa memengaruhi kebijakan Jokowi masih menjadi tanda tanya.
Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengklaim alasan Jokowi mendapuk milenial semata-mata perlu adanya jembatan. Milenial menjadi penghubung antara yang berpengalaman dan tidak, yang modern dan yang kuno.
"Presiden ingin ada yang menjadi jembatan, bridging antara Istana dengan publik, bridging antara senior dengan junior, bridging antara orang yang gagap teknologi dengan yang maju di pemikiran teknologi," kata Moeldoko di Gedung Krida Bhakti, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Beberapa figur milenial yang dipilih Jokowi menjadi menteri sebenarnya memang punya rekam jejak yang bagus, meski tak dipungkiri juga punya hubungan tertentu dengan Jokowi. Sebut saja Adamas Belva Syah Devara, CEO Ruang Guru.
Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, yang saat itu masih menjabat sebagai CEO Go-Jek, Belva menghadiri rapat kabinet terbatas bersama Jokowi dan menterinya di Istana Negara tahun 2017. Setahun kemudian, giliran PDIP, selaku partai pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin, yang berkunjung ke Ruang Guru dan memuji kiprah Belva.
Figur termuda di antara tujuh stafsus milenial Jokowi, Putri Tanjung, juga punya hubungan khusus dengan presiden. Sang ayah, Chairul Tanjung, si empunya CT Corp, pernah diminta membantu Jokowi dalam tim ekonominya.
CT, demikian ia biasa disapa, juga pernah dipercaya oleh mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy, dapat diterima oleh seluruh pimpinan partai karena posisinya sebagai pengusaha terhitung netral. Nama CT juga sempat mencuat akan menjadi Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin—jabatan yang akhirnya beralih ke Erick Thohir.
Rekam jejak para stafsus milenial itu memang cukup mumpuni, tapi apa sebenarnya yang menjadikan mereka istimewa jika dibandingkan sosok lain yang juga punya rekam jejak serupa?
Janji dan Pencitraan
Setidaknya ada 42 juta pemilih milenial dalam Pilpres 2019. Itu berarti mereka punya keterwakilan lebih dari seperlima pemilih Indonesia dengan jumlah DPT 192 juta. Bagi Jokowi, hal tersebut menunjukkan betapa milenial adalah generasi penting bagi masa depan Indonesia.
“Anak-anak muda adalah kekuatan. Ini kekayaan kita, peluang kita untuk memenangkan persaingan dengan negara lain, kalau kita bisa memanfaatkan, kita bisa jadi bangsa pemenang,” ucap Jokowi pada 2017 seperti dikutip Tribunnews.
Dalam debat kelima Pilpres 2019, Jokowi juga berjanji akan meningkatkan potensi anak muda, terutama dalam teknologi digital. Salah satunya merujuk kepada gim yang banyak diminati anak muda, seperti Mobile Legends ataupun Dota 2. Bentuk keseriusan Jokowi merekrut anak muda tampak pula dari pernyataan juru kampanyenya, Arya Sinulingga.
"Sekarang yang muda banyak yang matang. Bapak Jokowi memang ingin memberi ruang untuk yang muda-muda," ujar Arya seperti dilansir Liputan6 pada Mei 2019.
Ucapaan Arya tersebut dimanifestasikan Jokowi jelang penetapan kabinetnya. Mantan Gubernur Jakarta itu menyebut ada menteri yang usianya 25 tahun, di bawah 30 tahun, atau pun di bawah 35 tahun. Faktanya: tidak ada yang terealisasi. Hanya Nadiem Makarim yang menjadi menteri termuda sekarang dengan usia pas 35 tahun.
Apa yang dilakukan Jokowi sekarang seakan-akan untuk mengakali bahwa stafsus hanyalah ganti dari posisi menteri yang rencananya ada tiga atau lebih diberikan pada milenial. Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus, tindakan Jokowi merupakan politik akomodatif semata.
“Saya kira, sih, itu sudah jadi ciri khas utama pemerintahan Jokowi Jilid II ini. Akomodatif yang akhirnya mengangkangi prinsip efisiensi dan efektivitas yang didengung-dengungkannya," kata Lucius saat dihubungi reporter Tirto. Selain akomodatif, Lucius juga menganggap apa yang dilakukan Jokowi adalah membangun citra agar dianggap dekat dengan milenial.
Pencitraan memang bukan hal tabu dalam politik. Seorang politikus wajar belaka menjaga citranya. Demikian pula dengan Jokowi yang pertama kali mulai dikenal publik sejak memopulerkan citra diri gemar blusukan ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Pakar personal branding lulusan Universitas Indonesia, Dewi Haroen, dalam Personal Branding Kunci: Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik (2014) secara gamblang menyatakan: “Kemenangan fenomenal Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilgub DKI Jakarta juga tak lepas dari pencitraan dirinya (personal branding) yang tepat seperti yang diinginkan mayoritas warga Jakarta.”
Perkataan Jokowi soal anak muda dari tahun ke tahun, dalam perspektif Dewi, adalah sebuah cara menjaga pencitraan yang kuat. Bagaimanapun sebuah citra akan tumbuh mengakar kuat ketika dilakukan secara konsisten.
“Mau tidak mau kandidat perlu mempromosikan diri, memasarkan diri, dan menggunakan setiap kesempatan tampil yang ada agar dikenal atau dengan kata lain, populer,” tulisnya lagi.
Pada kampanye Pilpres 2019, pembangunan citra ini sudah dikuatkan dengan bantuan tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amin. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto misalnya, mengklaim Jokowi bisa dikategorikan milenial dilihat dari gaya kepemimpinannya yang kreatif.
"Tentu saja Pak Jokowi sendiri, kan, dari gayanya, kepemimpinannya, menampilkan aspek-aspek gaya kepemimpinan yang sangat diapresiasi oleh kaum Milenial," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. "Kreatif, kan, sesuai nature kelompok Millenial."
Profesor sosiologi komunikasi FISIP-UNTAG Surabaya, Burhan Bungin, dalam Komunikasi Politik Pencitraan: The Social Construction of Public Administration (SCoPA) (2018) menulis bahwa Jokowi sebenarnya sudah mencoba berbagai pencitraan, misalnya lewat program Revolusi Mental, Nawaksara, ataupun Nawacita, dan sebagainya. Namun semua itu gagal memproduksi citra Jokowi.
Wajar belaka melihat Revolusi Mental yang belum terbukti efek programnya sampai sekarang. Poin-poin kegagalan dalam Nawacita pun tak lebih sedikit daripada yang berhasil. Satu yang berhasil, menurut Burhan, adalah citra Jokowi yang mengekspoitasi kedekatan dengan rakyat kelas bawah sekaligus memosisikan diri seolah-olah sebagai juru selamat dengan merepresentasikan kelas tersebut.
Saat ini, tinggal tukar kelas bawah dengan milenial, dan... voila!
Mati Kutu
Stafsus Presiden sebenarnya cukup populer pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui pembentukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan, Pengendalian, dan Pembangunan (UKP4). Secara administratif, berdasar Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2012, stafsus Jokowi saat ini berada di bawah Sekretaris Kabinet, yakni Pramono Anung.
Selain terikat dengan Seskab, stafsus juga tak punya kewenangan mengambil keputusan. Mereka hanya bisa memberikan pertimbangan pada presiden. Pertimbangan ini juga akan beradu dengan pendapat menteri serta partai pengusung Jokowi.
Pakem seperti itulah yang menyebabkan harapan besar pada stafsus untuk membawa perubahan bagi masyarakat tak ubahnya pepesan kosong. Terlebih, belum tentu pula masukan mereka mewakili kelas pekerja dan masyarakat di luar kelas elite.
Sebagaimana yang turut dikatakan mantan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Menurutnya, milenial yang sekarang duduk sebagai stafsus bisa jadi tak punya cara pandang yang mewakili 25,14 juta orang penduduk miskin Indonesia.
"Sementara anak ini kebanyakan anak perkotaan yang tumbuh dengan teknologi dan pengetahuan yang lebih dari yang lainnya," kata Fahri pada Jumat (22/11/2019).
Salah satu contoh ketidakmampuan stafsus dapat dilihat dari peran Lenis Kogoya, stafsus Jokowi di periode Jokowi 2014-2019 khusus urusan Papua. Parameternya sederhana saja: alih-alih membaik, Papua justru kian panas oleh konflik.
Menurut Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lenis yang dilantik Jokowi tak seutuhnya mengerti akar masalah Papua, sekalipun ia pernah menjadi Ketua Lembaga Masyarakat Adat Papua dan Barisan Merah Putih Papua. Dengan kata lain, penunjukkan Jokowi dinilai kurang tepat.
“Oleh karena latar belakangnya, kinerja stafsus presiden ini tidak bisa 'memuaskan' banyak pihak, apalagi pemahaman yang bersangkutan mengenai akar masalah dan solusi bagi Papua relatif terbatas,” tulis Tim Kajian Papua LIPI dalam Updating Papua Road Map: Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua (2017).
Sejatinya Lenis pernah mencoba bersuara lantang dengan meminta agar pasukan TNI ditarik dari Papua kala kisruh adu tembakan tentara dengan kelompok bersenjata di Papua pada Maret 2019. Namun, usulah tersebut ditolak Wiranto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Jokowi pun lebih berpihak kepada sang menteri. Ketidakberdayaan stafsus ini lolos dari sorotan publik karena tidak ada publikasi capaian apa saja yang sudah dihasilkan dari pandangan mereka.
Terhitung hanya Teten Masduki dan Johan Budi yang perannya agak menonjol sebagai stafsus. Namun hal itu juga terjadi lantaran jabatan keduanya sebagai koordinator stafsus dan stafsus bidang komunikasi. Bahkan masukan mereka kerap diabaikan jika Jokowi harus berhadapan dengan kepentingan politik yang lebih besar. Teten, misalnya, mengaku pernah satu kali mencoba memberitahu Jokowi agar tak terburu-buru ambil keputusan soal revisi UU KPK. Namun pada akhirnya masukan Teten harus tunduk kepada kemauan partai politik di DPR.
Tapi yang penting bagi publik adalah bagaimana stafsus Jokowi bisa memberikan kunci kebijakan yang membantu milenial sanggup membayar cicilan KPR atau terhindar dari konsumsi mi instan tiap akhir bulan dan bukan hanya berlagak seperti polisi dalam serial South Park yang tak terlihat kinerjanya. Sebab berbeda dengan para stafsus milenialnya Jokowi, generasi milenial lain tak selalu punya penghasilan Rp51 juta per bulan.
Editor: Eddward S Kennedy