tirto.id - Sekitar tahun 2014, saya mendapat tugas untuk meliput kuliner menarik di sekitaran daerah Kotagede. Kawasan ini memiliki sejarah panjang dan menyimpan banyak kekayaan kuliner untuk diceritakan. Namanya yang dikenal luas sebenarnya membuat saya sedikit kesulitan memilih makanan yang bisa diangkat. Bukan karena tidak ada, tapi justru karena sudah banyak yang mengangkat tentang Kotagede dan aneka kulinernya.
Tentu saja, toko jajanan yang menjual jajanan khas di Kotagede seperti kembangwaru, kipo, hingga sagon menjadi jujugan pertama. Lalu berikutnya, beberapa spot kuliner yang sudah populer, salah satunya Sate Karang. Tempat makan ini menjual sate daging sapi ditemani sayur tempe, dengan rasa manis sebagai rasa dominan. Namanya juga di Yogyakarta. Tapi, cocoklah untuk yang mencari sate dengan rasa "lain". Menjelang akhir pencarian, saya menyempatkan mampir ke warung Soto Kemasan. Warung soto yang awalnya saya pikir biasa saja ini, rupanya justru memberi kesan yang kuat pada saya di masa itu.
Bagi saya, Soto Tahu Kemasan menjadi salah satu kuliner yang menarik karena ia tumbuh bersamaan dengan perkembangan Kotagede.
Sejak awal mulanya sebagai pusat kerajaan Islam, lalu menjadi kawasan sentra industri perak, dan kini Kotagede memiliki status Kawasan Cagar Budaya (KCB). Bersama sejarah panjangnya itu, terjadi berbagai persentuhan budaya dan perubahan dinamikanya. Termasuk di dalamnya, aneka ragam makanan pun turut bermunculan.
Kunjungan pada tahun 2014 menanamkan kesan yang menyenangkan dalam diri saya. Dari sisi selera, saya cocok dengan rasa sotonya yang ringan. Bahkan, saya berjanji dalam hati untuk kapan-kapan menyempatkan diri ke sana lagi. Tapi, rutinitas kehidupan membuat saya lupa akan janji saya.
Beberapa bulan yang lalu, akhirnya saya berkesempatan kembali menyambangi Soto Tahu Kemasan dan terpana dengan perubahan yang terjadi.
Soto Tahu Kemasan terletak sedikit di luar hiruk-pikuk jalanan di Kotagede. Dia terletak justru di seberang Ring Road Selatan, di bagian selatan Kotagede – tepatnya di Jl. Ring Road Selatan, Singosaren, Banguntapan, Bantul. Dulu, warung soto ini dikenal dengan beberapa nama, mulai dari "Soto Tahu", "Soto Kemangi", hingga "Soto Kemasan". Bahkan ada pula yang menyebutnya "Soto Bacem".
Nama-nama itu muncul karena sajian dari soto tersebut. Soto yang dijual di warung ini memang tidak menggunakan daging pada sajian aslinya. Sebagai ganti daging, soto dihidangkan dengan potongan tahu bacem. Dari sinilah muncul nama "Soto Bacem" dan "Soto Tahu". Rasa tahu bacem yang manis, berpadu dengan kuah kaldu soto yang gurih terasa saling menyeimbangkan. Seperti makanan lain di Jogja, memberikan rasa manis di setiap hidangan.
Sementara nama "Soto Kemangi" diambil dari lalapan khas yang ada di warung tersebut, yaitu daun kemangi. Meski bagi saya unik, namun lalapan kemangi dalam soto tampaknya hal yang biasa muncul di penjual-penjual soto di Kotagede. Beberapa warung soto di kawasan Kotagede yang saya sambangi menghadirkan kemangi di meja-mejanya, bebas diambil untuk tambahan aroma di sajian semangkuk soto.
Selain tahu dan kemangi, soto ini juga berisi taoge dan langsung dicampur dengan nasi. Kuahnya bening, seperti sop. Begitu sederhana, begitu ringan rasanya.
“Kalau kuahnya kaldu dibuat dari balungan sapi,” ujar Marjudi, salah satu pemilik warung tersebut, di tahun 2014.
Iya, saya masih ingat.
Sementara untuk rasa pedas, alih-alih menggunakan sambal, warung yang sudah berdiri sejak tahun 1952 ini memilih untuk menyajikan rasa pedas dalam bentuk cabai utuh. Ketika saya datang dulu kala, Marjudi mengulekkan satu per satu cabai langsung di mangkok sajian sebelum melengkapinya dengan berbagai isi dan mengguyurnya dengan kuah kaldu yang panas.
"Sesuai keinginan pembeli," ujar Marjudi kala itu. Saya skip sambalnya karena tampak terlalu pedas untuk lidah saya.
Pada kedatangan saya yang terakhir lalu, banyak hal yang masih sama. Sajian utamanya masih tetap soto dengan isian tahu, taoge, dan kemangi. Sambal juga masih diuleg langsung di mangkok – kadang dilakukan oleh pegawai di warung, kadang bisa diuleg sendiri oleh pembeli. Semangkuk cabai disediakan di meja saji dan pembeli dapat langsung mencampurnya di sajian sotonya, sesuai selera.
Di warung ini juga terdapat lauk-lauk lain untuk menemani soto yang sederhana tersebut. Lauknya lebih banyak dari waktu saya kunjungan saya bertahun-tahun yang lalu. Dulu hanya ada satu pilihan ayam dan beberapa pilihan sate. Kini ada ayam kampung yang gurih, babat-iso bacem, hingga aneka sate dan gorengan yang bisa membangunkan jiwa-jiwa rakus kita.
Akan tetapi, selain rasa dan sajian soto yang unik, yang membuat Soto Tahu Kemasan ini berkesan kuat adalah karena cerita dan sejarahnya. Sajian soto di warung ini tak lepas dari kondisi dan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Bisa dikatakan, lagi-lagi soto menunjukkan fluid identity – merespon kondisi di sekitarnya.
Warung soto ini hadir di masa Kotagede sedang merangkak menjadi kawasan industri. Kotagede bergerak menjadi sentra industri perak, juga banyak usaha terkait konveksi yang mulai bermunculan. Kondisi ini membutuhkan banyak pekerja dari sekitar wilayah tersebut. Kotagede pun menjadi kawasan yang dituju bagi masyarakat Bantul untuk mencari kerja.
Diceritakan oleh Marjudi, pada masa lalu warung ini terkenal di kalangan para pekerja dari Bantul yang bekerja di Kotagede. Isian dari soto ini memang sederhana agar harga dapat ditekan – tahu menjadi solusi. Daging sendiri merupakan pilihan, bukan yang utama. Dengan menyajikan soto yang murah dan rasa yang cukup enak, tempat ini pun menjadi tempat makan sehari-hari para pekerja tadi.
Berjalannya waktu, Kotagede berubah. Tak lagi hanya menjadi kawasan industri, namun juga kawasan cagar budaya yang lekat dengan dunia pariwisata. Sudut-sudut Kotagede yang dulunya tersembunyi, mulai diangkat oleh masyarakatnya sebagai kawasan yang layak diceritakan dan dikenalkan pada masyarakat luas. Pariwisata pun tak hanya berhenti di Makam Raja saja.
Begitu pula warung Soto Tahu Kemasan, turut berubah. Kali terakhir ke sana, warung ini sudah bertambah besar, meski masih menggunakan bangunan yang sama. Struktur warung bambu dipertahankan, tapi meja-mejanya bertambah. Pada hari-hari libur, pelanggannya selalu memenuhi meja-meja tersebut. Saya sendiri kesulitan mendapat meja saat datang untuk sarapan di tanggal merah.
Pelanggan dari warung soto sudah bukan lagi hanya para pekerja dari Bantul. Warung Soto Tahu Kemasan justru kerap dipenuhi oleh rombongan tamu, baik dari wisatawan, komunitas-komunitas, maupun para pegawai pemerintahan dan swasta. Tampaknya Soto Tahu Kemasan telah menjadi bagian dari salah satu warung legendaris di Jogja, warung yang layak dicicipi para penggemar kuliner.
Harganya sudah naik dua kali lipat sejak saya kunjungan pertama saya, dari semangkok yang hanya Rp6 ribu, hingga sekarang semangkok dihargai Rp12 ribu. Harganya semakin meningkat dengan adanya tambahan ayam kampung yang per potongnya mencapai Rp20 ribu.
Bagi saya, Soto “Tahu” Kemasan tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan perut. Menikmati suatu hidangan, terkadang kita hanya butuh rasanya yang enak atau harganya yang murah. Tapi, cerita di balik hidangan itu sendiri juga memberikan "bumbu" tambahan yang dapat menambah rasa dari suatu makanan.
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono