tirto.id - Komnas Perempuan angkat bicara mengenai somasi yang dilayangkan kepada pelapor kekerasan seksual di Univeritas Negeri Makassar (UNM). Somasi itu dilayangkan oleh Rektor UNM, Karta Jayadi, kepada Q selaku pelapor kasus kekerasan seksual.
Komisiner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, menyatakan bahwa somasi itu bisa diartikan sebagai sebuah intimidasi kepada Q. Bahkan, somasi dipandang bukan hanya persoalan hukum formal, tapi juga persoalan etika, keadilan, dan perlindungan korban.
“Langkah ini cenderung kontraproduktif karena dapat dianggap intimidatif, merusak kredibilitas lembaga, serta menghambat budaya melapor yang sangat penting untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman,” ucap dia kepada reporter Tirto, Sabtu (23/8/2025).
Menurut Daden, Rektorat UNM seharusnya membuka ruang dialog, klarifikasi, atau menggunakan mekanisme internal dalam menanggapi pelaporan tersebut, bukan langsung somasi.
“Jika somasi ditujukan kepada pelapor, ada risiko dianggap sebagai bentuk strategiclawsuit against public participation[SLAPP] atau upaya membungkam pelapor,” ungkap dia.
Sementara itu, aktivis perempuan Siti Aminah Tardi menyatakan bahwa somasi ini dan ancaman laporan tuduhan pencemaran nama baik merupakan bentuk reviktimisasi. Hal ini akan menciptakan kekhawatiran dan ketakutan pada korban lain untuk melaporkan kasusnya baik ke lembaga/organisasi ataupun ke aparat penegak hukum.
“Jika terduga pelaku berkeberatan atas tuduhan pelecehan seksual nonfisik tersebut, sebaiknya menunggu proses pemeriksaan kasusnya sendiri,” tutur Siti kepada reporter Tirto.
Merujuk Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP), Siti mengatakan bahwa penanganan kasus seperti ini seharusnya dilakukan oleh kementerian terkait. Korban pun bisa langsung mengadukan ke Inspektorat agar bisa ditanggani tanpa adanya kekhawatiran intervensi terhadap kerja-kerja Satgas.
Terkait dengan perlindungan terhadap korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memastikan belum mendapat permohonan. Namun, LPSK bisa menjemput bola untuk menawarkan perlindungan kepada korban.
“Belum ada permohonan untuk kasus tersebut. [Untuk jemput bola] bisa, cuma kami belum membahas untuk proaktif terkait dengan kasus ini,” ujar Wakil Ketua LPSK, Susilaningtyas.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































