tirto.id - Makam Nunuk Suartini (63), warga Desa Ngares Kidul, Kabupaten Mojokerto, diharuskan pindah ke tempat lain karena diprotes warga. Dalihnya, karena makam penganut agama Kristen itu menempati pemakaman yang berlokasi di "tanah wakaf muslim."
Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), sebuah organisasi di Jawa Timur, mengecam keras kasus tersebut. Koordinator JIAD Aan Anshori mendesak Pemerintah Kabupaten Mojokerto lebih pro-aktif untuk menjamin hak-hak dasar semua warga, tanpa terkecuali.
"Kami juga meminta Pemerintah Desa Ngares untuk sesegera mungkin menyediakan lahan pemakaman bagi warganya yang non-Muslim," kata Aan saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (21/2/2019).
Dia juga meminta kepolisian di Mojokerto agar tetap mengayomi seluruh warga di wilayah hukumnya, tanpa terpengaruh oleh sentimen mayoritas-minoritas.
"Cara pandang diskriminatif dipantik oleh didikan yang bias, menganggap identitas tertentu lebih unggul ketimbang identitas yang lain. Ini menggejala kuat di mana-mana sehingga memunculkan sentimen intoleransi," ujar Aan.
Oleh karena itu, kata dia, gejala intoleransi harus diredam sejak dini. Aan khawatir diskriminasi pemakaman bagi warga non-muslim meluas ke banyak wilayah. “Diskriminasi pemakaman non-muslim di kalangan muslim akan marak, seiring menguatnya islamisme di Indonesia," ujar dia.
Aan mengecam keras tindakan diskriminatif kepada penganut agama lain, apa pun alasannya. Karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
"Diskriminasi atas nama apa pun bertentangan dengan seruan Allah, yang meminta setiap muslim bertindak adil dan memperlakukan orang lain lebih baik, misalnya, sebagaimana QS. Al-Nahl ayat 90," kata Aan.
Nunuk Suartini meninggal pada Kamis (14/2/2019). Menurut Koordinator Gusdurian Mojokerto Imam Almaliki, keluarga lalu meminta izin ke Kepala Desa Ngares Kidul dan warga agar jenazah Nunuk bisa dimakamkan di pemakaman desa. Mereka satu-satunya keluarga Kristen di desa itu.
"Sempat ada penolakan. Karena itu makam 'tanah wakaf muslim', jadi tidak boleh. Tapi setelah negosiasi antara keluarga, kepala desa, dan warga yang menolak, akhirnya diperbolehkan," kata Imam.
"Namun dengan syarat, tak ada prosesi pemakaman ala umat Kristiani dan tak boleh ada salib. Keluarga akhirnya sepakat karena tak ada pilihan lain," tambahnya.
Jenazah Nunuk lalu dimakamkan pada Jumat (15/2/2019) siang. Namun, malam harinya sejumlah warga kembali melakukan protes dan menolak jenazah Nunuk dimakamkan di sana.
"Itu hanya sebagian warga saja yang menolak. Tak banyak. Direspons kembali oleh Kepala Desa, dan dimusyawarahkan kembali. Akhirnya Sabtu malam ada pertemuan dengan kepolisian, keluarga, kepala desa, warga yang menolak, dan pendeta GPdI Gempolkerep," kata Imam.
Pertemuan itu menghasilkan 3 kesepakatan. "Intinya, sekarang jenazah harus dipindahkan dahulu ke tempat lain. Nanti kalau desa sudah menyediakan pemakaman non-muslim, baru bisa kembali lagi ke Desa Ngares," kata Imam.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Addi M Idhom