Menuju konten utama

Slogan Karet "NKRI Harga Mati" untuk Gebuk Semua "Musuh Negara"

Sejak dahulu agitasi tentang Papua sudah dilakukan Indonesia. Tujuannya memaksakan obsesi NKRI.

Slogan Karet
Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Fakfak tahun 1969. Doc. ANRI

tirto.id - Sejak kapan ungkapan “NKRI harga mati” populer dan akhirnya melambung di media sosial?

Slogan itu sering terdengar setelah Orde Baru runtuh dan Timor Timur (sekarang Timor Leste) merdeka dari Indonesia pada 1999. Dalam sebuah pemberitaan tahun 2004, Tempo mencatat "NKRI harga mati" juga dikumandangkan dalam konflik antaragama di Ambon.

Argumen di balik slogan tersebut biasanya tentang keutuhan Indonesia, nasionalisme, dan persatuan bangsa yang normatif. Tapi kemudian, hingga hari ini, penggunaannya jadi sangat sangat lentur. Slogan dan argumen keutuhan Indonesia, misalnya, dijadikan dalih untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sampai razia buku-buku "kiri".

Dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Polhukam pada Mei 2017, Menko Polhukam Wiranto menyatakan alasan pemerintah membubarkan HTI. "Aktivitas yang dilakukan [HTI] telah nyata-nyata menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI," katanya.

Pernyataan serupa juga keluar dari mulut sejumlah tokoh.

“Alhamdulillah keputusan itu menambah kepercayaan umat Islam bahwa pada dasarnya NKRI itu harga mati," kata Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar pada Selasa (8/5/2018) seperti dikutip Tempo.

Merespons kasus penyitaan buku-buku kiri awal tahun ini, komentar A.M. Hendropriyono juga tak jauh-jauh dari "NKRI harga mati".

"Semua buku yang isinya provokasi paham anti Pancasila, entah itu paham PKI seperti marxisme atau paham apapun yang bertujuan meracuni generasi muda kita, itu harus dirazia. Karena nantinya tumbuh generasi yang tidak lagi mencintai bangsanya, anti NKRI, anti Pancasila," kata mantan Kepala Badan Intelijen Negara itu pada Senin (28/1/2019) sebagaimana dilansir Merdeka.

Politikus Partai Berkarya Andi Badarudin Picunang mendukung juga tindakan penyitaan buku oleh TNI tersebut. "Pak Harto kan juga keluarga besar TNI, beliau jenderal besar TNI, bintang lima. Sama dengan Jenderal Sudirman dan Jenderal AH Nasution. Jadi bila ada yang menyudutkan beliau, pasti TNI bertindak. Apalagi kalau mau memecah-belah bangsa. NKRI harga mati bagi TNI," tuturnya seperti dikutip Detik.

Pada tahun 2000, Menteri Pertahanan Mahfud M.D. menolak wacana referendum Aceh dengan alasan mencegah lebih banyak lagi daerah yang ingin merdeka. Saat itu status Daerah Operasi Militer di Aceh (1990-1998) baru berhenti selama dua tahun.

"Jika referendum diserahkan kepada masing-masing wilayah, jangankan wilayah yang punya masalah masa lalu dengan pemerintah pusat seperti Aceh, desa saja kalau disuruh referendum kecenderungannya memilih merdeka," kata Mahfud seperti dilansir Hukum Online.

Menurut Mahfud, pemerintah tetap memilih solusi otonomi khusus untuk Aceh. "Pemerintah tidak akan menolerir merdeka atau referendum apapun taruhannya."

Bertahun-tahun kemudian, pada September 2019, Mahfud menanggapi kerusuhan berhari-hari di Manokwari, Jayapura, Fakfak, dan sekitarnya. "Mimpi kosong lah kalau [Papua] mau minta merdeka,” katanya di Jakarta Selatan.

Menkopolhukam Wiranto juga berkomentar. Dia menyatakan tidak menolak dialog dengan demonstran Papua, tetapi "tuntutan kemerdekaan tidak bisa dibicarakan".

“Kesepakatan kita (dalam dialog) tidak bicara referendum, tidak bicara kemerdekaan. NKRI harga mati,” kata Wiranto sebagaimana dikutip Tribun (31/8/2019) "Sampeyan bunuh diri saja. Mau tidak? Tidak mau, kan? Kira-kira begitu. Soal referendum, kemerdekaan, itu tidak usah didialogkan."

Nasionalisme Cuma Jadi Propaganda

Dalam The United Nations and The Indonesian Takeover of West Papua (1962-1969): The Anatomy of Betrayal (2002), pakar Asia Tenggara John Saltford mencatat beberapa cara yang digunakan Soeharto untuk mencegah Papua merdeka. Salah satunya dengan menumbuhkan rasa cinta pada NKRI.

"[Soeharto] menciptakan tokoh masyarakat Papua Barat yang kemudian secara publik menyatakan loyalitas mereka kepada Indonesia," tulis Saltford.

Dalam buku Mengapa Papua Ingin Merdeka (2002), Yorrys Th. Raweyai (kini politikus Golkar) mencatat tahun 1946 di Papua telah berdiri Partai Kemerdekaan Indonesia Irian. PKII, tulis Yorrys, "melengkapi organisasi atau gerakan kemerdekaan yang sudah ada sebelumnya."

Seiring perkembangan, PKII yang dipimpin Silas Papare ini makin ditinggalkan sebagian masyarakat. Alasannya, PKII lebih condong pada wacana penggabungan Indonesia dan Papua. Beberapa tokohnya antara lain Frans Kaisiepo (Gubernur Papua keempat), John Ariks (gerilyawan Papua), Barent Mandatjan (pemimpin suku Arfak), Lodewijk Mandatjan, Abdullah Arfan, dan Herman Womsiwor (Wakil Presiden Papua versi markas Victoria 1971).

"Mereka [tokoh masyarakat Papua] lalu membuat pernyataan 16 pasal yang intinya menolak bergabung dengan Indonesia, dan meminta kepada pemerintah Belanda untuk memimpin masyarakat Papua sampai menuju kemerdekaan yang sesungguhnya," catat Yorrys.

Selain memakai slogan nasionalisme yang telah digunakan sejak dulu, saat ini pemerintah Indonesia juga menggulirkan narasi bahwa apabila referendum dilakukan, ia akan ditunggangi pihak asing. Itulah dalih lain yang membuat rakyat Indonesia terus mempertahankan Papua. Pada 4 Juli 2016, seseorang yang mengaku bernama Charles Suebu pernah menulis opini di situs papuanews.id berjudul “Politisasi Asing Hanya Memperkeruh Situasi Papua”. Isinya mengarah kepada propaganda.

“Internasionalisasi isu Papua yang kini sedang gencar disuarakan oleh kelompok anti pembangunan di Papua mendapatkan angin segar karena banyak pihak asing yang sudah tentu memiliki kepentingan politik atas isu tersebut,” tulis Charles membuka opininya.

Inti tulisan itu adalah jika Papua Merdeka, negara-negara lain akan datang menjajah Papua.

Namun tulisan itu disinyalir sarat kepentingan Indonesia. Tirto menemukan papuanews.id adalah satu dari 18 media siluman yang berusaha mengaburkan isu terkait Papua dan keinginan rakyatnya.

Menko Polhukam Wiranto bersikap serupa ketika ada kericuhan terkait rasisme mahasiswa Papua di Surabaya. Lelaki yang pernah menjabat Panglima ABRI ini mengklaim ada pihak yang menunggangi kerusuhan untuk kepentingan Papua lepas dari Indonesia. Salah satunya adalah Benny Wenda, Ketua United Liberation Movement For West Papua (ULMWP), yang tinggal di Inggris.

Ini yang menjadi pembenaran Wiranto mengatakan orang asing menunggangi aksi masyarakat Papua. Wiranto seperti menganggap sepi aspirasi kemerdekaan bangsa Papua yang sudah ada sejak dahulu.

"Dari pengamatan, persepsi aktual dari pengamatan intelijen, memang ada konspirasi antara Benny Wenda dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Itu ada, bukan mengada-ada," ucap Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Kamis (4/9/2019). "Itulah yang mendorong terjadinya satu demonstrasi yang anarkis. Sudah jelas sekali, kok, sekarang terjawab adanya campur tangan (pihak) luar dan dalam."

Infografik Propaganda Papua

Infografik Propaganda Papua. tirto.id/Quita

Propaganda Nasionalisme Gagal & Tak Bisa Dipaksakan

Jemmy Setiawan dalam Nasionalisme Retorika Gombal (2016) menyebut nasionalisme punya kecenderungan ke arah isolasionis dan mengarah kepada otoritarianisme, bahkan fasisme atau totalitarianisme.

Seorang demagog nasionalis sering menggambarkan kondisi dalam negeri yang memprihatinkan sebagai hasil perbuatan pihak-pihak tertentu sebagai kambing hitam. Deskripsi Jemmy mirip dengan apa yang dilakukan pemerintah terkait kisruh di Papua.

Namun satu hal yang Jemmy tekankan, nasionalisme tak bisa dipaksakan, bahkan bisa saja hilang. Salah satu alasannya karena masyarakat tak mendapat perlakuan pantas dan keadilan.

"Maka terjadilah disitegritas, contoh OPM dan GAM," toreh Jemmy. "Mereka merasa tak mendapat keadilan."

Dalam kasus kerusuhan di Papua Barat, kontributor investigasi data terbuka Belling Cat, Benjamin Strick, dalam akun twitter @BenDoBrown mencoba memetakan propaganda yang dilakukan pemerintah. Dalam cuitannya, dia mengunggah hasil analisis selama lima hari terkait cuitan bertagar #WestPapua & #FreeWestPapua.

"Yang saya temukan adalah akun BOT (robot) yang menyebarkan soal propaganda pro-pemerintah [Indonesia]," cuit Strick.

Strick lalu mencoba melacak cuitan akun Twitter @marco26700420 yang mencuitkan kalimat click-bait seperti "What are some secrets that Indonesia have been hiding in West Papua? Find out the answer here."

Cuitan ini, berdasar penelusuran Strick, ternyata persis dengan cuitan 6 akun lainnya. Strick meyakini ada lebih banyak lagi akun yang mencuitkan hal serupa. Intinya, mereka semua adalah akun robot dengan cuitan penyebaran video tentang kebijakan pemerintah Indonesia untuk Papua.

Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, perangkat analisis media sosial, juga menelaah cuitan terkait Papua setelah aparat bentrok dengan demonstran. Hasilnya, narasi yang mendukung kebebasan Papua sebenarnya lebih ramai disimak pengguna internet taraf internasional.

Ismail mengakui bahwa "pemerintah memang melakukan propaganda" melalui akun-akun yang ditelaah Strick. Namun, propaganda tersebut hanya bersifat masif, tanpa ada impak nyata.

"Yang top influencer itu justru orang-orang yang mendukung [kemerdekaan] West Papua," kata Ismail kepada Tirto, Rabu (4/9/2019). "Pemerintah itu enggak paham. Pemerintah ini sepertinya tidak melihat narasi internasional. Pendekatan mereka masih konvensional."

Kata-kata Ismail soal kegagalan propaganda Indonesia bukan kabar baru. Betapapun Indonesia melakukan propaganda, melalui slogan nasionalisme atau kebijakan pemerintah, Timor Timur toh bisa lepas dari Indonesia. Papua memang belum tentu. Tapi Ketua Komite Solidaritas Papua, Pendeta Obednego Mauri, menyampaikan pandangannya yang dari dulu tak mengacuhkan propaganda Indonesia.

“Status politik Papua, tidak final, dalam NKRI, bukan harga mati, seperti yang selalu didengungkan,” kata Obednego seperti dilansir Tabloid Reformata (Desember 2011).

Baca juga artikel terkait PAPUA MERDEKA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan