tirto.id - Demonstrasi massa buruh, mahasiswa, dan aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil meluas di Jakarta, Jogja, Malang, Medan dan sejumlah kota lain pada Kamis, 8 Oktober 2020. Aksi demo di berbagai kota itu digelar untuk menolak pengesahan Omnibus Law UU Ciptakerja (Ciptaker).
DPR RI mengesahkan Omnibus Law UU Ciptaker dalam rapat paripurna Senin (5/10/2020). Setelah itu, pengesahan UU yang rancangannya merupakan inisiatif pemerintahan Jokowi tersebut segera memantik protes dan penolakan, baik di jalanan maupun media sosial.
Omnibus Law adalah istilah untuk produk perundang-undangan yang mengatur bermacam-macam hal yang terpisah dan berbeda. Jadi, UU Ciptaker menjadi UU yang memayungi berbagai undang-undang lain.
Jika merujuk draft RUU Ciptakerja yang diterima Tirto, beleid ini terdiri atas 905 halaman dan lebih dari 1000 pasal yang merevisi ketentuan dalam undang-undang di banyak sektor. Adapun di antara sejumlah klaster yang diatur dalam UU Ciptakerja adalah ketenagakerjaan, investasi, pajak, tanah dan pengadaan lahan, serta lainnya.
Peraturan dalam klaster ketenagakerjaan di UU Ciptaker menjadi isu yang paling mendapat sorotan karena ada sejumlah pasal tentang upah, hubungan kerja, PHK, hingga pesangon yang merugikan para buruh. Sejumlah aturan baru terkait dengan izin investasi pun dianggap bermasalah karena bisa berdampak buruk terhadap lingkungan.
"Anggota dewan dan pemerintah, nampaknya, lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara hak jutaan pekerja kini terancam," kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui keterangan tertulisnya.
Tidak hanya banyak pasal bermasalah, proses perumusan, pembahasan dan pengesahan Omnibus Law UU Ciptaker juga menuai kritik karena dianggap tidak transparan dan cacat formil.
"Bahkan draf UU Cipta Kerja yang terakhir tidak dibagikan. Saat paripurna itu hanya cek kosong saja. Anggota enggak tahu apa yang mau dikomentari. Dengan ketiadaan risalah rapat dan tidak dibagikan drafnya, kontrol akan sulit," kata Dosen hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar.
Beragam kritik terhadap Omnibus Law Ciptaker tersebut melatarbelakangi gelombang demonstrasi di berbagai kota yang telah muncul sejak awal pekan, dan semakin meluas pada hari ini.
Demo 8 Oktober 2020 di Jakarta Tolak Omnibus Law
Demontrasi menolak Omnibus Law Ciptaker telah meletup di Jakarta pada 5-7 Oktober 2020 lalu. Dalam 3 hari itu, Polda Metro Jaya menangkap 400 pendemo. Sebanyak 6 mahasiswa Universitas Pelita Bangsa (UPB) juga kritis usai bentrok dengan polisi di Kawasan Industri Jababeka, Rabu kemarin.
Meskipun demikian, demonstrasi di kawasan Jakarta dan sekitarnya masih berlanjut dengan massa lebih banyak pada hari ini, Kamis (8/10/2020). Bentrok polisi dan massa demonstran juga kembali terjadi.
Mengutip laporan Antara, ribuan massa aksi penolak UU Ciptaker menggelar longmarch yang menutup Jalan Salemba dan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Hingga Kamis siang, sekitar pukul 13.30 WIB, jalan Salemba Raya dari simpang tiga Rumah Sakit St Carolus sudah tertutup massa.
Demonstran yang terdiri dari massa buruh, mahasiswa dan aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil berencana menyampaikan pendapat di muka umum untuk menolak pengesahan UU Ciptaker.
Lalu, di Simpang Harmoni, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto mengajak massa aksi yang ada di sana bernegosiasi terkait rencana aksi yang ditujukan ke Istana Negara.
"Mari berbicara, kita atur supaya tidak berbenturan," kata Heru dari mobil Pengurai Massa, Kamis siang. Negosiasi itu sempat berlangsung selama 15 menit dan berakhir pada pukul 14.00 WIB.
Pada saat bersamaan, massa aksi yang sebagian terdiri atas pelajar dan mahasiswa melakukan orasi. Akses jalan di Simpang Harmoni tertutup sejak pukul 13.00 WIB karena massa menutup jalur Jalan Juanda, Jalan Gajah Mada, dan Jalan Hayam Wuruk.
Namun, kemudian Petugas kepolisian lantas menembakkan gas air mata dan menyemprotkan air dengan water canon setelah massa aksi yang masuk dari Simpang Harmoni berkumpul dengan massa aksi lainnya di titik Patung Kuda Arjuna Wiwaha.
"Kembali saya ingatkan anda sudah tidak tertib dan anarkis, apabila masih anarkis saya akan mengambil tindakan tegas, persiapan tembak," kata Kapolres Heru Novianto sebelum polisi menembakkan gas air mata dan semprotan air ke arah massa aksi.
Pukul 14.30 WIB, Kamis (8/10/2020), tidak lama setelah Heru memberi peringatan kepada massa aksi, petugas satuan Brimob pun langsung melepaskan tembakan gas air mata berulang disertai tembakan air dari alat water canon.
"Saya minta massa membubarkan diri," kata Heru dari mobil pengurai massa. Saat itu, sebagian massa aksi berhamburan menuju Jalan Juanda dan Jalan Suryopranoto.
Satu pos polisi di depan pintu masuk kawasan Monumen Nasional (Monas), yang berada di dekat Patung Arjuna Wiwaha, juga dilaporkan dibakar oleh massa pendemo.
Ribuan massa lantas bertahan di depan Gedung Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan. Ada pula yang berlari ke arah Jalan Budi Kemuliaan.
Demo 8 Oktober 2020 Tolak Omnibus Law di Jogja Ricuh
Demo menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law di Yogyakarta pada hari ini berujung ricuh. Bentrokan terjadi saat massa Aliansi Rakyat Bergerak merangsek masuk ke gedung DPRD DIY dan diadang polisi di pintu gerbang.
Lalu, ada pelemparan batu dan botol yang direspons polisi dengan menembakkan gas air mata dan menyemprotkan air untuk membubarkan massa.
"Situasinya saat ini masih genting masih ada gas air mata," kata Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudianan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (8/10/2020).
Huda bilang, awalnya dia melakukan audiensi bersama perwakilan massa buruh Yogyakarta yang menyampaikan aspirasinya mengenai penolakan terhadap UU Omnimbus Law Ciptaker. Audiensi belum rampung, datang maksa aksi lain sekitar pukul 13.00 WIB yang juga mau masuk DPRD DIY dan kemudian kericuhan terjadi.
Akun Twitter Aliansi Rakyat Bergerak menginformasikan sampai pukul 16.37 WIB massa aksi masih ditembaki gas air mata.
Aliansi Rakyat Bergerak yang terdiri dari mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat lain semula berkumpul di bundaran UGM, berjalan kaki melawati Tugu Pal Putih dan Gedung DPRD DIY untuk menuju Titik Nol Kilometer.
Mereka menyuarakan mosi tidak percaya dan juga penolakan terhadap UU Ciptaker. Melalui akun twitternya, Aliansi Rakyat Bergerak juga merilis kajian yang menjadi dasar penolakan UU Ciptaker dan aksi pada hari ini.
Pada hari yang sama, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku menyanggupi permintaan buruh terkait penolakan mereka terhadap UU Cipta Kerja.
Dia mengatakan akan menyurati Presiden Jokowi untuk menyampaikan penolakan buruh terhadap Omnibus Law. Sikap Sultan muncul setelah ia menerima perwakilan buruh, Kamis (8/10/2020).
"Mereka menyampaikan aspirasinya supaya saya bisa memfasilitasi untuk mengirim surat kepada presiden. Aspirasi dari warga masyarakat khususnya buruh, saya sanggupi dengan surat yang akan ditandatangani gubernur sebagai respons dari aspirasi mereka," kata Sultan.
Demo Tolak Omnibus Law Ciptaker di Malang Hari Ini
Demonstrasi menolak Omnibus Law UU Ciptaker juga dilakukan oleh ribuan buruh dan mahasiswa di Kota Malang, Jawa Timur, pada Kamis (8/10/2020).
Massa aksi itu mulai berkumpul di depan Gedung DPRD Kota Malang sekitar pukul 10.00 WIB. Saat yang sama, ratusan polisi yang bersiaga dan memasang pagar kawat berduri di depan DPRD Kota Malang dan Balai Kota Malang, yang terletak bersebelahan.
Aksi unjuk rasa tersebut pada awalnya berlangsung damai. Namun, lalu sempat terjadi kericuhan. Massa melemparkan batu, menyalakan api, dan petasan. Polisi kemudian mengerahkan kendaraan water canon, dan menembakkan gas air mata.
Kurang lebih pada pukul 11.30 WIB, kericuhan tersebut bisa diakhiri. Sebagian massa yang tidak terlibat kericuhan, masih bertahan di depan Gedung DPRD dan Balai Kota Malang, demikian dikutip dari laporan Antara.
Kapolresta Malang Kota Kombes Pol Leonardus Simarmata mengatakan sebanyak 400-an personel kepolisian diterjunkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa tersebut.
Editor: Agung DH