tirto.id - Pada Selasa (25/8/2020) kemarin, ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, dengan tuntutan utama menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang sedang dibahas oleh DPR RI dan pemerintah.
Massa aksi yang sebelumnya juga melalukan long march dari depan gedung TVRI itu, akhirnya membubarkan diri usai ditemui Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan berkomunikasi secara langsung dengan Ketua Umum KSPI Said Iqbal di atas mobil komando.
Semenjak masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas pada Desember tahun 2019 lalu, Omnibus Law memang memicu pro-kontra di kalangan masyarakat, hingga tak sedikit pula yang menolak, terutama dari kalangan buruh dan aktivis.
Dalam Omnibus Law, terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain: RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Namun, RUU Cipta Kerja menjadi paling banyak disorot. Selain substansinya yang dinilai bakal lebih banyak merugikan masyarakat, pembahasannya yang dikebut di masa pandemi juga memunculkan asumsi bahwa RUU ini sengaja dibuat hanya demi memuluskan kepentingan segelintir pihak saja.
Apa itu Omnibus Law?
Secara terminologi, banyak literatur menyebut kata Omnibus berasal dari Bahasa Latin, yang artinya “untuk semuanya”. Mengutip Black’s Law Dictionary, Omnibus memiliki makna "untuk semua: mengandung dua atau lebih," dan seringkali diterapkan pada RUU legislatif yang terdiri lebih dari satu subjek umum.
Dalam perkembangannya, kata Omnibus banyak diarahkan ke dalam istilah Omnibus bill, yang diartikan sebagai “sebuah RUU dalam satu bentuk yang mengatur bermacam-macam hal yang terpisah dan berbeda, dan seringkali menggabungkan sejumlah subjek yang berbeda dalam satu cara, sehingga dapat memaksa eksekutif untuk menerima ketentuan yang tidak disetujui atau juga membatalkan seluruh pengundangan.”
Dengan demikian, dalam konteks Omnibus Law RUU Cipta Kerja, maka dapat diartikan sebagai bentuk "satu undang-undang yang mengatur banyak hal", yang mana ada 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan dirampingkan ke dalam 15 bab dan 174 pasal dan menyasar 11 klaster di undang-undang yang baru.
Mengutip Naskah Akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja (PDF), ada 11 klaster yang masuk dalam undang-undang ini termasuk: Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan Berusaha; Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM; Dukungan Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengadaan Lahan; Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah; serta Kawasan Ekonomi Khusus.
Lantas, mengapa RUU ini mendapat banyak kritik dan penolakan?
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, merilis kertas kebijakan berjudul “Omnibus Law Cipta Kerja: Obsesi Pembangunan yang Merampas Ruang dan Mengorbankan Pekerja”. Tulisan itu berisi kajian, sorotan dan kritik, hingga rekomendasi LBH Jakarta kepada pemerintah dan DPR RI terkait Omnibus Law Cipta Kerja.
Pertama, kertas kebijakan tersebut mengkritik metode legislasi dan substansi dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut LBH, metode legislasi yang digunakan pemerintah untuk membuat produk RUU Cipta Kerja tidak biasa.
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2019, metode Omnibus Law tidak dikenal. Bahkan, mereka juga menyebut bahwa di berbagai belahan dunia, “metode Omnibus Law dianggap sebagai cara yang tidak-demokratis bahkan despotis.”
Dalam konteks RUU Cipta Kerja, kata LBH, pemerintah harus mengawalinya dengan memberikan perlindungan maksimal bagi kaum pekerja untuk merealisasikan iklim kerja yang produktif dan berkualitas. Artinya, pekerja harus dilihat sebagai subjek, bukan sekedar objek.
“Sayangnya, piramida kebijakan yang digunakan pemerintah dalam RUU Cipta Kerja justru terbalik: menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi sementara menempatkan pekerja pada lapisan terbawah.” Tulis LBH.
Kertas kebijakan itu menyoroti tiga isu utama substansi yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Kerja, salah satunya "memangkas aturan" yang menurut LBH jumlahnya mencapai 516 peraturan. Menurut LBH, hal itu justru malah akan melahirkan banyak peraturan pelaksanaan yang baru.
“Pada akhirnya, jumlah yang besar ini membuktikan bahwa hipotesis Pemerintah tentang efektivitas RUU Cipta Kerja sebagai cara menyelesaikan tumpang tindihnya regulasi di Indonesia tidak terbukti.” Klaim mereka.
Sementara dua isu lain yang disorot LBH adalah Ketenagakerjaan; serta Perkotaan dan Masyarakat Urban. Menurut LBH, Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan.
Selain itu, diskriminatif dalam pelaksanaan hukum, semakin banyaknya penggusuran, hingga potensi memperparah pelanggaran tata ruang dan alih fungsi zona. Menurut mereka, hal itu adalah implikasi lain yang bakal terjadi akibat pengesahan Omnibus Law dalam isu perkotaan dan masyarakat urban.
Berdasarkan kajiannya tersebut, akhirnya LBH Jakarta merekomendasikan kepada Pemerintah dan DPR RI, untuk secepatnya:
- Menghentikan seluruh proses pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja demi kepentingan Rakyat Indonesia.
- Mencabut draf RUU Cipta Kerja dari Program Legislasi Nasional.
- Mengedepankan dan memperkuat perlindungan serta pemenuhan hak-hak masyarakat, termasuk kelompok pekerja.
- Menggalakkan gerakan pemberantasan korupsi yang notabene merupakan penyebab segala masalah sosial.
- Menuntut Pemerintah menanggalkan politik pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto