Menuju konten utama

Mengapa Omnibus Law Patut Ditolak

Amdal sepatutnya diperkuat, bukan jadi sekadar pelengkap

Mengapa Omnibus Law Patut Ditolak
Ilustrasi Erlangga Lazuardi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Presiden Joko Widodo sudah berkali-kali mengatakan ingin merevisi peraturan yang menghambat percepatan izin investasi sejak pertama kali menjabat pada 2014 lalu. Dia juga beberapa kali mempermasalahkan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. Keinginan ini lantas diwujudkan dalam beragam regulasi hingga Omnibus Law yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Omnibus Law rencananya akan merevisi 79 Undang-Undang dengan 1224 pasal, yang berorientasi pada percepatan investasi.

Dengan melihat berbagai regulasi yang telah ada, Omnibus Law sepatutnya menciptakan kekhawatiran, setidaknya dari aspek lingkungan hidup.

Perpres Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional

Pada 2016 lalu, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PPPSN)—peraturan yang berkategori ‘otonom’ karena terbit bukan atas amanat/perintah undang-undang apa pun yang ada di atasnya. Perpres ini menetapkan 225 proyek strategis nasional, yang terdiri dari infrastruktur transportasi, perumahan, minyak dan gas, air minum, pengairan, pariwisata, smelter, pertanian, dan kelautan.

Dalam perpres ini ditetapkan tenggat waktu penerbitan izin-izin yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan proyek strategis nasional. Izin-Izin tersebut mencakup Izin Prinsip, Izin Lokasi, Izin Lingkungan, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Masing-masing izin tersebut hanya memerlukan tiga hari kerja untuk diterbitkan, kecuali Izin Prinsip yang hanya satu hari.

Penerbitan perizinan super cepat dimungkinkan karena melangkahi prosedur pada umumnya. Setelah izin diberikan dan proyek strategis nasional dimulai, barulah proses penyelesaian perizinan dan non-perizinan dimulai. Setelah dokumen perizinan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk Izin Lingkungan lengkap, misalnya, rekomendasi dari lembaga yang berwenang harus diberikan dalam jangka waktu 5 hari. Setelah pemberian rekomendasi, maka Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyelesaikan perizinan dalam 5 hari kerja, kecuali untuk Izin lingkungan (60 hari), IMB (30 hari), dan Izin Pinjam Pakai hutan (30).

Sebagai pembanding, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), badan/instansi harus dapat mengantongi terlebih dulu Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebelum dapat Izin Lingkungan. Perpres ini, di sisi lain, menempatkan rekomendasi dari lembaga berwenang setelah izin terbit.

Ringkasnya, terdapat perbedaan prosedur yang kontras antara UU PPLH yang mensyaratkan approval dari lembaga yang berwenang sebelum penerbitan izin, dan Perpres PPPSN yang justru menempatkan approval pasca penerbitan izin.

Selain perkara prosedur, Pasal 19 Perpres PPPSN juga memungkinkan penyesuaian tata ruang jika proyek strategis yang ditetapkan tidak selaras dengannya. Bahkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres PPPSN memungkinkan rekomendasi kesesuaian lokasi dikeluarkan meskipun lokasi proyek jelas-jelas melanggar tata ruang.

Implikasi terjauh dari perpres ini adalah pengabaian prosedur penerbitan izin yang sebenarnya dirancang untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup. Peraturan ini memungkinkan pula penyesuaian tata ruang yang sewenang-wenang oleh pemerintah. Peraturan ini, singkatnya, menunjukkan tendensi pengesampingan perlindungan lingkungan hidup maupun keadilan spasial.

Perpres Percepatan Pelaksanaan Berusaha

Setahun setelah menerbitkan Perpres PPPSN, tepatnya pada 22 September 2017, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Dalam konsideran, perpres ini diterbitkan dalam rangka penataan ulang perizinan melalui pembentukan satuan tugas (satgas) di berbagai level pemerintahan, dan penyusunan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS).

Peraturan ini juga mengatur percepatan pelaksanaan berusaha di kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, dan kawasan pariwisata.

Perpres ini membagi percepatan kegiatan berusaha menjadi dua tahap. Tahap pertama mencakup pengawalan dan penyelesaian hambatan melalui pembentukan satgas, pelaksanaan perizinan berusaha dalam bentuk checklist, dan pelaksanaan perizinan berusaha dengan menggunakan data sharing. Tahap kedua mencakup reformasi peraturan perizinan berusaha dan penerapan OSS.

Perpres ini memberikan kewenangan bagi administrator kawasan-kawasan khusus untuk menerima pengajuan perizinan dan non-perizinan berusaha serta memberi sanksi. Pengajuan perizinan seperti Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL)-Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), IMB, dan beberapa perizinan lainnya dilakukan dalam bentuk komitmen pemenuhan persyaratan--yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang ditentukan.

Prosedur penerbitan dalam perpres ini mirip dengan Perpres PPPSN yang bermasalah. Apabila Perpres PPPSN menerbitkan izin terlebih dulu sebelum ada rekomendasi dari instansi terkait, maka Perpres Percepatan Kegiatan Berusaha menerbitkan perizinan sementara, dan dokumen-dokumen perizinan dijadikan sebagai “pemenuhan komitmen”. Pemenuhan persyaratan perizinan seperti dokumen UKL-UPL dapat diselesaikan seiring dengan dimulainya kegiatan konstruksi dan berusaha.

Keduanya sama-sama menyimpang dari UU PPLH yang menempatkan pemenuhan dokumen dan “approval” dari pihak yang berwenang sebelum izin terbit.

Peraturan Pemerintah Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

Pasal 32 Perpres Percepatan Kegiatan Berusaha mengamanatkan penerapan OSS. Tidak sampai setahun berselang, pada 21 Juni 2018, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP OSS) diundangkan.

PP OSS tidak hanya menjadi dasar hukum atas pelaksanaan perizinan berusaha secara elektronik, namun juga mengubah beberapa prosedur perizinan di Indonesia. Contohnya pada Pasal 19, lembaga OSS mendapatkan kewenangan untuk menerbitkan perizinan berusaha untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota.

Seperti Perpres Percepatan Kegiatan Berusaha, lembaga OSS juga menerbitkan berbagai izin berdasarkan komitmen. Bermodal Izin Usaha, Izin Lingkungan, maupun beberapa izin lain yang diterbitkan berdasarkan komitmen, pelaku usaha dapat melaksanakan beberapa kegiatan seperti pengadaan sumber daya manusia, uji coba produksi, pengadaan tanah, sampai pelaksanaan produksi. Pemegang Izin Usaha berdasarkan komitmen hanya tidak diperbolehkan melakukan pembangunan gedung sebelum menyelesaikan Amdal dan atau rencana teknis bangunan.

Lembaga OSS akan menerbitkan kembali Izin Lingkungan yang komitmennya telah terpenuhi, atau membatalkannya apabila komitmen gagal dipenuhi pelaku usaha. Prosedur tersebut bertentangan dengan UU PPLH yang menjadikan UKL-UPL atau Amdal dan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) sebagai syarat wajib Izin Lingkungan.

Paradigma Bermasalah

Amdal, dalam UU PPLH, tergolong instrumen prior approval. Maksudnya, setiap orang dilarang melakukan sesuatu kecuali telah mendapatkan persetujuan. Lewat peraturan-peraturan di atas, tampak sekali pemerintah tengah menggeser posisi Amdal yang sudah ideal dalam UU tersebut.

Instrumen prior approval terdiri dari beberapa kategori, sementara Amdal sendiri termasuk kategori listing, yaitu suatu kegiatan yang harus dibatasi dan diwajibkan untuk mengikuti proses tertentu, dalam hal ini adalah pengkajian untuk menjamin keamanan dan adanya proses pelibatan publik. Tentu ini beralasan mengingat Amdal meregulasi kegiatan yang potensial berdampak bagi kelestarian lingkungan. Tak heran pula para pakar hukum menilai regulasi prior approval adalah campur tangan pemerintah yang paling intensif.

Tren pergeseran posisi Amdal dalam beragam regulasi termutakhir menunjukkan paradigma yang salah dari pemerintah dalam menilai instrumen prior approval. Dan itu sangat mungkin dilanjutkan dalam Omnibus Law.

Menkopolhukam Mahfud MD, misalnya, sempat melontarkan wacana agar proses perizinan izin usaha diberikan terlebih dahulu, baru kemudian mengaudit kegiatan usaha tersebut. Hal ini ia katakan karena menilai sistem yang mensyaratkan serangkaian prosedur ketat agar izin keluar menyulitkan investor—yang tak selaras dengan keinginan Jokowi.

Mahfud juga mengatakan para penentang Omnibus Law sekadar “salah paham”. “Salah pahamnya, misalnya, Omnibus Law itu untuk mempermudah pemerintah kongkalikong dengan asing… lalu rakyat dirugikan,” katanya. Namun jika melihat tren regulasi yang ada, pernyataan tersebut sama sekali tak tepat: tak perlu asing-aseng untuk merugikan masyarakat, ubah saja izin lingkungan agar investor mudah dalam berusaha (baca: merusak alam).

Toh, saat ini saja ketika Amdal masih ada dalam berbagai regulasi, ia masih bisa diutak-atik. Patut sekali lagi ditegaskan bahwa Amdal adalan instrumen prior approval sehingga seharusnya tidak ada kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan yang diizinkan beroperasi—baik sebagian atau seluruhnya--sebelum ada jaminan kelayakan.

Memang betul bahwa instrumen-instrumen lingkungan hidup dapat mempersulit kegiatan ekonomi, namun yang tidak boleh dilupakan adalah kegagalan menjaga lingkungan hidup juga memiliki potensi kerugian ekonomi yang sangat besar. Kasus-kasus seperti Lapindo, reklamasi Teluk Jakarta, adalah satu dari sekian banyak contoh kerusakan alam juga merugikan perekonomian.

Amdal sepatutnya diperkuat, bukan jadi sekadar pelengkap.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.