Menuju konten utama

Banjir Ancam Jakarta & Sekitarnya: Yakin IMB-Amdal Mau Dihapuskan?

Wacana penghapusan IMB dan Amdal demi memperlancar investasi dinilai tidak relevan setelah banjir besar menerjang Jakarta dan sekitarnya pada awal tahun baru 2020.

Banjir Ancam Jakarta & Sekitarnya: Yakin IMB-Amdal Mau Dihapuskan?
Anggota TNI dan warga membantu seorang lansia untuk melintasi banjir setinggi dua meter di pemukiman Kampung Pulo, Jakarta, Kamis (2/1/2020). tirto.d/Andrey Gromico

tirto.id - DKI Jakarta dan sekitarnya dilanda banjir besar di awal tahun baru 2020. Sejumlah pihak menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dinilai tak mampu mencegah banjir yang terjadi di ibu kota. Masalah normalisasi hingga naturalisasi sungai pun santer diperdebatkan.

Namun, banjir di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) juga terjadi gara-gara masifnya pelanggaran tata ruang dan perizinan bangunan seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

Menariknya, jauh sebelum banjir menerjang Jakarta dan sekitarnya, pemerintah justru menggulirkan wacana “penghapusan” perizinan IMB dan Amdal demi memperlancar investasi.

Manajer Tata Ruang dan Geographic Infomation System (GIS) Walhi, Ach Rozani mengatakan fakta bahwa pelanggaran regulasi itu turut menyebabkan banjir kemarin tak bisa diabaikan.

Berkaca dari banjir besar yang terjadi di Jabodetabek kemarin, kata pria yang akrab disapa Ucok ini, penghapusan dua perizinan itu menjadi tak relevan karena pemerintah sama saja meniadakan instrumen perlindungan bagi warganya.

“Ketidaksesuaian perizinan yang menghasilkan kejadian banjir bandang sudah tentu dan jamak sebenarnya diketahui publik. Semua keadaan ini menjadi semakin tidak relevan kalau instrumen perlindungan sosial dan lingkungan hidup seperti Amdal dan IMB dihapuskan,” ucap Ucok saat dihubungi reporter Tirto, Senin (6/1/2019).

Masih Banyak Pelanggaran

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan ada kegunaan IMB dan Amdal yang tidak bisa diabaikan terkait banjir kemarin. Menurut dia, Amdal memastikan kalau bangunan yang dibuat tak akan menyebabkan banjir, sementara IMB punya peran serupa.

Salah satunya, kata Elisa, terkait pengaturan koefisien dasar bangunan (KDB) atau perbandingan luas lahan yang dibangun dengan yang tersedia.

KDB, kata Elisa, diatur agar setiap bangunan memiliki sejumlah area sebagai resapan. Masalahnya jika dihilangkan, hasilnya sudah barang tentu akan memperburuk banjir. Belum lagi saat ini banyak yang tak patuh terhadap aturan IMB dan Amdal.

Hal ini, kata Elisa, juga terjadi pada bangunan besar. Sebelum mendapatkan IMB, kata dia, pemilik bangunan harus memperoleh Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) untuk luas tanah di atas 5.000 meter persegi yang salah satu poinnya mengatur kewajiban membuat sumur resapan dan drainase. Kenyataannya, banyak pemilik bangungan yang tak mematuhi aturan tersebut.

Dalam inspeksi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta, pada April 2018, hanya ada 37 dari sekitar 70-an gedung di sepanjang Sudirman-Thamrin yang memiliki sumur resapan. Dari 37 itu, ternyata hanya 1 gedung yang sumur resapannya memenuhi ketentuan.

“Itu baru Sudirman-Thamrin yang pengawasannya gampang. Kalau di luar itu lebih gelap,” ucap Elisa saat dihubungi reporter Tirto, Senin (6/1/2020).

Dari aspek tata ruang yang menunjang penerbitan dokumen IMB dan Amdal, kata Elisa, keadaan Kota Jakarta juga tak kalah buruk.

Di Jakarta sendiri, kata dia, ada 3.925 hektare lahan yang tak sesuai tata ruang berdasarkan pengukuran selama 1985-2010. Jumlah itu setara luas lahan di BSD yang sudah dibangun saat ini.

Pelanggaran tata ruang, kata Elisa, bisa ikut bertanggung jawab menyebabkan banjir. Sebab, urusan ini akan terkait dengan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) dan resapan air.

Bila berkaca pada banjir bandang di daerah penyangga Jakarta, seperti di Lebak, Banten, Elisa mengatakan, hal itu terkait dengan alih fungsi lahan yang cukup masif. Tren ini, kata dia, juga ada di Kabupaten Bekasi, Bogor sampai Karawang.

Dari area penyangga itu, Elisa mencatat masih ada potensi alih fungsi lahan seluas 35 ribu hektar atau setara separuh luas Jakarta. Bila nantinya peralihan itu terjadi, ia pun khawatir kalau resapan air akan semakin sedikit dan kondisi banjir di daerah hulu juga akan makin parah.

“Saya enggak kebayang mekanisme tanpa IMB dan Amdal seperti apa. Kalau dikaitkan dengan kondisi sekarang, saya yakin kita akan mempercepat kiamat ekologis saja,” ucap Elisa.

Pengajar tata kota di Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan IMB dan Amdal tetap diperlukan sebagai syarat mutlak kegiatan pembangunan.

Menurut dia, banyaknya permukiman maupun daerah yang rutin dilanda banjir menunjukan ada pelanggaran tata ruang, Amdal, IMB yang tak kunjung terselesaikan.

“Amdal dan IMB masih tetap dibutuhkan dan dipersyaratkan mutlak semua kegiatan pembangunan. Banyaknya permukiman yang terdampak banjir (rutin) menunjukkan adanya pelanggaran,” ucap Nirwono melalui pesan singkat, pada Senin (6/1/2020).

Respons Pemerintah

Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Budi Sitomorang menjelaskan IMB-Amdal tak sepenuhnya dihapus. Ia hanya diintegraskan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Menurut Budi, pemilik bangunan memang dapat membuat gedung tanpa IMB dan Amdal, tetapi tetap harus mengacu pada RDTR yang dibuat pemerintah.

Budi mengklaim perubahan kebijakan ini tak akan membuat bencana banjir seperti di Jakarta dan sekitarnya kemarin tambah buruk. Sebab, kata dia, pemerintah akan melakukan pengendalian dan penertiban atas pelanggarannya.

“Bukan menghilangkan, melainkan diintegrasikan. Harapannya kalau semua patuh dengan tata ruang, (banjir Jakarta) harusnya tidak (akan makin buruk),” ucap Budi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (6/1/2020).

Baca juga artikel terkait BANJIR JABODETABEK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz