Menuju konten utama

Daftar Pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja yang Bisa Merugikan Buruh

Daftar pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai akan merugikan buruh/pekerja.

Daftar Pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja yang Bisa Merugikan Buruh
Ratusan buruh berunjuk rasa di kawasan Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten, Senin (5/10/2020). . ANTARA FOTO/Fauzan.

tirto.id - Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan DPR RI pada Senin (5/10/2020). DPR mengesahkan UU Cipta Kerja Omnibus Law meski banyak mendapat penolakan dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat.

Banyak kajian yang diterbitkan oleh berbagai lembaga menunjukkan pengesahan UU Cipta Kerja akan merugikan buruh/pekerja.

Menurut kajian "Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja - Fakultas Hukum UGM 2020", RUU Cipta Kerja lebih fokus pada tujuan peningkatan ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia.

Sebagian besar peraturan yang diubah dalam RUU ini banyak berbicara mengenai efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi RUU ini justru tidak mengubah atau membuat peraturan baru yang berkaitan dengan pelatihan kerja atau peningkatan kompetensi pekerja.

Padahal, berbicara mengenai penciptaan lapangan kerja seharusnya justru berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja.

Alih-alih perlindungan pekerja, RUU Cipta Kerja justru berpotensi membuat pasal ketenagakerjaan kembali terpinggirkan, tergerus oleh kebutuhan investasi dan ekonomi.

Padahal, dalam hubungan industrial Pancasila, perlindungan pekerja merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah.

Beberapa pasal yang dinilai akan merugikan buruh/pekerja adalah:

1. Masuknya Pasal 88B

Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja berbunyi :

(1) Upah ditetapkan berdasarkan:

a. satuan waktu; dan/atau

b. satuan hasil,

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Menurut Amnesty Internasional, pasal tersebut memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan).

Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.

2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan

Pasal 91 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 berbunyi:

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal tersebut mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan.

Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.

Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang.

Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.

3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT

Jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi disebutkan akan diatur dalam PP.

Sebagai catatan, aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.

Dalam UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tadinya terbatas untuk paling lama 2

(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Dalam UU Cipta Kerja, PWKTT menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU.

Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT.

Output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak. Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja.

4. Pasal 77

Pasal 77 dalam UU Cipta Kerja berbunyi:

(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1

(satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1

(satu) minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan

tertentu.

(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP).

Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.

Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas, dinilai menjadi celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Selama ini saja banyak kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja.

Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya menimpa pekerja, walau instrumen hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh perusahaan.

Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum.

Hal ini akan semakin menjerumuskan nasib pekerja di bawah jurang eksploitasi.

Link Download UU Omnibus Law Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Senin (5/10/2020). Bagi Anda yang ingin melihat isi UU Cipta Kerja final bisa mengunduhnya melalui link berikut ini.

Sementara itu, untuk link download RUU Cipta Kerja Omnibus Law adalah berikut ini: Download RUU Cipta Kerja Omnibus Law.

---------------

Artikel ini berdasarkan draf UU Cipta Kerja bertanggal 5 Oktober 2020, yang setebal 905 halaman dan beredar di publik. Dokumen UU aslinya belum ada. DPR maupun pemerintah Joko Widodo belum mempublikasikan dokumen final, sekalipun UU ini sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH