tirto.id - Mahasiswa akan menggelar demo di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada hari ini, Kamis, 8 Oktober 2020 pukul 10.00 WIB. Tujuannya, untuk mendesak pemerintah mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan pada 5 Oktober lalu.
Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan, diperkirakan akan ada 5.000 massa aksi yang akan berdemonstrasi di depan Istana. Sejumlah massa itu berasal dari sekitar 20 kampus di Jakarta yang berada di organisasi BEM SI.
Menurut dia, mereka akan berfokus untuk menekan Presiden Jokowi untuk mendengarkan aspirasi, yakni menolak Omnibus Law. Selain itu, mereka juga akan mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangan (Perppu) untuk membatalkan Omnibus Law UU Ciptaker.
"Kami mendesak Presiden mengeluarkan Perppu, arahnya ke sana. Fokus kami bagaimana presiden nolak dulu," kata dia kepada Tirto, Rabu (7/10/2020).
Untuk mengantisipasi demo hari ini, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono menyatakan Tim Bawah Kendali Operasi Brimob Nusantara telah diterjunkan ke Jakarta guna menghadapi demo tolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Ribuan personel ini ditempatkan di sekitar Gedung DPR/MPR dan Istana Negara untuk berjaga-jaga menghadapi demonstrasi kaum buruh dan mahasiswa. Pasukan tambahan Brigade Mobil, elite tempur Polri, ini juga dikerahkan ke pusat-pusat industri, termasuk ke Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.
"Kemarin telah tiba BKO Brimob Nusantara sebanyak 2.500 personel untuk back-up Polda Metro Jaya dan 200 personel untuk back-up Polda Jawa Barat," ujarnya kepada Tirto, Kamis (8/10/2020).
Selain di Jakarta, demo tolak UU Cipta Kerja Omnibus Law juga terjadi di Yogyakarta, bahkan sempat berlangsung ricuh. Kericuhan itu berawal saat massa Aliansi Rakyat Bergerak mencoba masuk ke gedung DPRD DIY, namun diadang polisi di pintu gerbang.
Bahkan sempat terjadi pelemparan batu dan botol yang direspons polisi menembakkan gas air mata dan menyemprotkan air untuk membubarkan massa. "Situasinya saat ini masih genting masih ada gas air mata," kata Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudianan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (8/10/2020).
Huda mengatakan, awalnya ia menerima audiensi masa perwakilan buruh Yogyakarta untuk menyampaikan aspirasinya terkait penolakan terhadap UU Omnimbus Law Ciptaker. Namun, saat audiensi belum selesai, kemudian datang massa aksi lain sekitar pukul 13.00 WIB, mereka juga memaksa masuk DPRD DIY.
Selain di Yogyakarta, aksi lempar batu juga sempat terjadi di lingkungan Kantor DPRD Provinsi Lampung di Kota Bandar Lampung, pada Rabu (7/10/2020) kemarin. Saat itu, demonstrasi pelajar, mahasiswa, dan pekerja bergabung untuk memprotes pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Sejumlah massa yang berdemonstrasi di Lapangan Korpri itu melemparkan batu ke arah petugas keamanan karena tidak bisa masuk ke halaman kantor DPRD Lampung. Aparat Polresta Bandar Lampung dan mahasiswa peserta aksi berusaha menenangkan pelajar yang ikut berdemonstrasi agar tidak melakukan kericuhan.
Bahkan, Bupati Bandung Barat Aa Umbara turun bergabung bersama massa aksi buruh pada Rabu (7/10/2020). Dalam orasinya, Aa menegaskan sikap Pemkab Bandung Barat dan DPRD Bandung Barat menolak UU Cipta Kerja.
Selain Bupati, Ketua DPRD Bandung Barat, Anggota Komisi 4 DPRD Bandung Barat yang membidangi ketenagakerjaan, dan Kepala Dinas Tenaga Kerja Bandung Barat juga ikut di dalam aksi.
Daftar Pasal Bermasalah Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Pokok pangkal persoalan dari demo yang terjadi sejak 6 Oktober hingga hari ini, Kamis, 8 Oktober 2020 adalah pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan pada 5 Oktober lalu. Bila merujuk pada draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, terdapat sejumlah pasal-pasal bermasalah, yang mencakup ketenagakerjaan, pendidikan, pers hingga lingkungan hidup.
Dalam hal ketenagakerjaan, menurut Amnesty Internasional, RUU Ciptaker berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), terutama menyangkut hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.
“RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
“Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja,” tambah Usman.
Selain itu, RUU Omnibus Cipta Kerja juga merevisi ketentuan cuti khusus atau izin dalam Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satunya menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan itu tercantum dalam Pasal 93 huruf a.
Dalam hal lingkungan hidup, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga mengkritik hilangnya pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) di RUU Cipta Kerja.
Sebab, Walhi mendapati pemerintah dan tim dari pengusaha menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam pasal 88.
Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Namun, dalam RUU Cilaka, isinya hanya tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Dalam dunia pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu mengatakan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi mengekang kebebasan pers di Indonesia. Menurut Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo, RUU ini akan berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis karena akan terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers.
"Sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal berubah menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal," kata dia.
Menurut Harry, pengubahan pasal ini berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini.
Dalam dunia pendidikan, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid menyatakan ada sejumlah sanksi pidana yang berpotensi kriminalisasi terhadap penyelenggara pendidikan Pesantren dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
“Ada beberapa ketentuan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang harus diwaspadai bersama agar kehadirannya tidak kontraproduktif, mempidanakan para Kiai atau Ustad yang menyelenggarakan pendidikan via Pesantren baik modern maupun tradisional, karena hanya persoalan perizinan yang belum beres,” ujar pria yang kerap disapa HNW ini.
Menurut HNW, beberapa ketentuan yang bermasalah dalam Klaster Pendidikan di RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Pasal 51 ayat (1), Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1).
Untuk pasal-pasal bermasalah dalam RUU Cipta Kerja, selengkapnya bisa dibaca di sini (Daftar Pasal Bermasalah dan Kontroversi Omnibus Law RUU Cipta Kerja).
-------------
Artikel ini berdasarkan draf UU Cipta Kerja bertanggal 5 Oktober 2020, yang setebal 905 halaman dan beredar di publik. Dokumen UU aslinya belum ada. DPR maupun pemerintah Joko Widodo belum mempublikasikan dokumen final, sekalipun UU ini sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.
Editor: Agung DH