tirto.id - Cek ponsel Anda sekarang dan, saya yakin, di sana akan tersedia fitur anti sinar biru alias blue light. Fitur itu mungkin bernama Night Shift jika Anda pengguna iPhone. Apabila Anda pengguna Samsung, Anda bisa menemukan fitur tersebut dengan nama Eye Comfort Shield. Fungsinya sama: mengurangi sinar biru yang terpancar dari layar sehingga warna yang muncul dari ponsel terkesan lebih hangat. Hal itu dipercaya dapat membuat pengguna ponsel terhindar dari insomnia digital.
Sinar biru memang selama ini jadi kambing hitam di balik sulitnya seseorang tidur setelah terlalu lama menggunakan smartphone, komputer, atau perangkat elektronik berlayar lainnya. Cahaya ini, dengan panjang gelombang yang pendek dan energi yang besar, memang menekan sekresi melatonin—hormon regulator siklus tidur.
Namun, layakkah sinar biru jadi satu-satunya kambing hitam?
Sinar Biru Tak Semuanya Buatan dan Palsu
Sinar biru sebenarnya bukan produk artifisial. Sinar tersebut secara natural ada di alam dan sama sekali tidak berbahaya. Pada dasarnya, ia adalah bagian dari spektrum cahaya yang terlihat oleh mata dengan panjang gelombang 450-496 nanometer. Sinar ini punya peranan penting bagi tubuh manusia dalam meregulasi kewaspadaan, suasana hati, dan siklus tidur.
Cahaya matahari yang bisa kita lihat saban hari mengandung banyak sinar biru, khususnya pada pagi dan siang hari. Itulah sebabnya, pada waktu-waktu tersebut, secara natural, manusia berada dalam kondisi kewaspadaan paling tinggi. Jam biologis manusia berkaitan dengan siklus terbit dan terbenamnya matahari.
Dengan terpapar sinar biru dari cahaya matahari, sekresi hormon melatonin secara otomatis bakal terbatasi dengan sendirinya. Di saat bersamaan, level kortisol akan meningkat sehingga suasana hati akan membaik dan metabolisme menjadi lebih lancar Sinar biru dari cahaya matahari bisa berkontribusi banyak terhadap siklus tubuh manusia karena levelnya memang sangat tinggi. Di siang hari, cahaya matahari bisa memberikan tingkat pencahayaan 10 ribu sampai 100 ribu lux, tergantung kondisi cuaca.
Sementara itu, sinar biru buatan yang berasal dari laptop atau ponsel levelnya jauh di bawah, yakni antara 50 sampai 100 lux. Dengan kata lain, emisi sinar biru buatan dari gawai yang sampai ke mata sebenarnya tidak cukup besar untuk merusak jam biologis tubuh.
Lantas, mengapa sinar biru (di)jadi(kan) kambing hitam? Ada dua alasan. Pertama, karena ia memang punya andil. Kedua, yang tak kalah penting, karena manusia modern memang sudah berubah.
Masalah Sesungguhnya di Balik Insomnia
Faktanya, manusia modern tidak mendapatkan cukup cahaya matahari, khususnya di waktu-waktu krusial.
Kebanyakan orang menghabiskan sebagian besar hidupnya di dalam ruangan, baik di kantor, sekolah, pertokoan, maupun rumah. Ketika pergi ke luar rumah pun, mayoritas orang cenderung melindungi diri dari cahaya matahari, entah dengan berkendara menggunakan mobil, mengenakan kacamata hitam, payung, dan semacamnya.
Padahal, menurut riset yang terbit di The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism (2011), terpapar cahaya matahari selama 20-30 menit dalam kurun satu sampai dua jam setelah bangun tidur adalah cara terbaik untuk memperbaiki jam tidur. Pada jam-jam itulah jam biologis manusia paling sensitif terhadap cahaya. Regulasi melatonin, kortisol, dan suhu tubuh, terjadi paling efektif pada jam-jam tersebut.
Konsekuensi ketika seseorang melewatkan "golden hour" tersebut, jam biologis pun bergeser. Awalnya memang tidak signifikan. Namun, lama kelamaan, jam tidur bakal jadi makin larut.
Celakanya, kekurangan paparan cahaya matahari itu pun diperparah oleh kebiasaan lain. Ketika berlama-lama di dalam ruangan, manusia modern banyak menghabiskan waktunya berkelindan dengan media sosial dan semacamnya.
Namun, sekali lagi, bukan sinar biru dari gadget yang membuat manusia sulit tidur. Sinar biru dari gawai tidak cukup kuat untuk menyabotase jam biologis, kecuali jika pemakaian ponsel dilakukan secara konstan, dengan layar sangat terang, dan jarak yang terlampau dekat dari mata. Tidak semua orang melakukan ini. Akan tetapi, banyak orang yang sulit tidur ketika sudah bermain ponsel.

Jadi, apa musabab yang sebenarnya?
Jawaban dari pertanyaan itu adalah konten yang kita konsumsi dan bagaimana konten-konten itu terus menstimulus otak untuk terus bekerja, bahkan tatkala kita lelah sekalipun. Alasan kita tidak mengantuk saat maraton nonton sebuah serial di Netflix, misalnya, adalah karena otak kita terus-menerus diberi stimulan, bukan (semata-mata) karena layar ponsel mengandung sinar biru.
Jangan Mau Dikibuli Pelaku Industri
Di tengah lingkaran setan pengambinghitaman sinar biru, tentu saja ada industri yang meneguk untung darinya. Ambil contoh, industri wellness.
Orang malas keluar rumah, orang malas terkena cahaya matahari, dan orang sering bermain dengan gawai. Solusinya? Tentu saja dengan menjual produk yang, konon, bisa melindungi mata dari dari sinar biru seperti kacamata anti-blue light.. Percaya tidak percaya, industri kacamata jenis itu nilainya sudah mencapai miliaran dolar. Per 2024, nilainya sudah mencapai 2,9 miliar dolar AS dan pada 2034 bisa mencapai 5,8 miliar AS.
Tentu saja, selain itu, industri gawai juga meraih untung. Mereka bisa terus menjual produknya dengan menambah fitur seperti Night Shift dan Eye Comfort Shield. Ini belum termasuk perusahaan-perusahaan pihak ketiga yang memproduksi pelindung layar anti-blue light, baik untuk ponsel maupun komputer dan laptop.
Sebenarnya, produk dan fitur tersebut bukannya tidak berguna. Memang ada manfaat dari melindungi mata dari sinar biru. Akan tetapi, manfaatnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan keluar rumah dan membiarkan tubuh terpapar cahaya matahari di waktu-waktu krusial. Lagipula, yang membuat gawai jadi penyebab orang sulit tidur bukan semata-mata sinar biru, melainkan juga konten yang memberikan stimulus tanpa henti pada otak.
Maka, mulai sekarang, yang perlu kita lakukan supaya jam tidur tetap normal tanpa harus menghindari gawai sepenuhnya adalah menjalani hidup dengan lebih selaras. Sambutlah alam ketika ia memanggil di pagi hari. Biarkan cahaya mentari menyetel tubuh untuk beraktivitas dan beristirahat. Jangan lupa pula, pastikan untuk mengurangi stimulus pada otak ketika jam tidur sudah dekat.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































