Menuju konten utama
GWS

Susah Bangun Pagi, Rezeki (Tidak) Dipatok Ayam

Orang yang bangun siang belum tentu pemalas. Bisa jadi ia termasuk salah satu dari 30 persen populasi night owl. Sayangnya, kultur sosial mengutuk mereka.

Susah Bangun Pagi, Rezeki (Tidak) Dipatok Ayam
Ilustrasi Konsep ritme sirkadian. Siklus siang dan malam yang sehat. FOTO/iStock

tirto.id - Bangun pagi dan bekerja produktif tampaknya sudah menjadi norma umum. Padahal, secara genetik, tidak semua orang bisa bangun pagi, segar bugar, kemudian melakukan aktivitas yang diharapkan pada umumnya: membanting tulang hingga jam kerja berakhir.

Sudah dari bawaan lahir, ada orang yang ditakdirkan menjadi manusia pagi (early bird) dan manusia malam (night owl). Sialnya, manusia malam sering kali mendapat diskriminasi masyarakat: dicap pemalas dan dianggap tak produktif di dunia kerja.

“Rezekinya dipatok ayam,” kata peribahasa populer untuk menggambarkan orang yang bangun kesiangan.

“Rahasia kesuksesan adalah bangun pagi, khususnya jam 5 pagi,” ujar pesohor Maudy Ayunda mengutip Robin Sharma dari bukunya The 5 AM Club (2018).

Tampaknya bangun pagi terlampau sering diglorifikasi sehingga orang yang melanggarnya dicap buruk oleh masyarakat. Bagaimanapun, hal ini didukung oleh kondisi ekonomi yang mengharuskan banyak karyawan bekerja dari pukul 9 pagi hingga 5 sore.

Orang bangun pagi memiliki previlese untuk menjalani hidup sesuai aturan masyarakat. Ia bangun tidur, keluar rumah, bekerja produktif, pulang, beristirahat, bersosialisasi dengan kawan atau keluarga, kemudian tidur tepat waktu. Begitu seterusnya setiap hari.

Lain halnya dengan manusia malam. Ia kesusahan tidur hingga larut malam bahkan dini hari, kemudian bangun pagi dengan susah payah, berangkat kerja dengan lesu, tidak produktif sampai siang. Lantas, selepas itu, barulah ia bisa bekerja lancar.

Namun, karena baru bisa produktif di sore hari, bisa jadi, sepulang kerja, pekerjaan si manusia malam belum maksimal digarap. Aktivitas yang menyiksa itu terpaksa diulang terus-menerus setiap harinya.

Genetika Manusia Pagi dan Manusia Malam

“Populasi manusia malam atau night owl adalah 30 persen dari penduduk dunia,” tulis profesor ilmu saraf dan psikologi Universitas California, Matthew Walker dalam Why We Sleep (2017, hlm. 23).

30 persen penduduk dunia inilah yang kerap mendapat diskriminasi. Mereka begadang, bukan karena melulu ingin begadang, tapi karena genetika mereka yang demikian. Ditambah lagi, budaya populer kian mengambinghitamkan manusia malam.

“Begadang jangan begadang. Kalau tiada artinya,” lantun Rhoma Irama dalam lagu dangdut populernya “Begadang” (1973). Orang yang gemar begadang seakan-akan dikutuk sebagai manusia gagal, tidak bisa dipercaya menepati jadwal harian, tetapi harus tetap tunduk pada aturan masyarakat.

Hanya manusia pagi atau morning lark yang lebih dihargai. Stereotipe ini kerap diberikan untuk ibu-ibu yang bangun awal, menyiapkan masakan pada waktu subuh dengan diiringi suara-suara khas benturan piring atau panci, kemudian menyajikan santapan bagi keluarganya.

Manusia pagi mencapai puncak performa di siang hari. Kemudian, mereka mulai lelah, diiringi dengan menurunnya kemampuan kognitif di sore hari. Malam harinya, mereka kecapaian, mudah mengantuk, sehingga bisa tidur lebih awal.

Sebaliknya, manusia malam tidak mudah mengantuk di malam hari. Meskipun sudah berusaha tidur, mereka tetap tak kunjung terlelap. Orang-orang tersebut ditakdirkan untuk aktif dan terjaga di malam hari.

Esoknya, orang-orang yang terjaga di malam hari bakalkesusahan bangun pagi. Jika dibiarkan tanpa alarm, mereka baru membuka mata ketika matahari sudah meninggi. Saat siang atau sore hari, kemampuan kognitifnya baru mulai bekerja maksimal. Jika manusia pagi sudah kelelahan di jam tersebut, manusia malam justru baru mulai produktif bekerja.

Di masa silam, hal tersebut dianggap normal. Ketika manusia masih dalam kurun pemburu-pengumpul, ada orang yang harus bekerja di pagi-sore, dan ada kelompok yang wajib berjaga pada sore-malam hari. Dua kelompok ini saling bergantian membentuk komunitas ideal.

Karena itu juga, hingga masa kini, perkiraan populasi manusia malam dan manusia pagi tidak jauh berbeda. Manusia pagi membentuk sekitar 40 persen populasi dunia, sementara manusia malam 30 persen. Di sisi lain, 30 persen sisanya merupakan kelompok yang berada di antara kedua kategori tersebut.

Di survei terbaru, kondisinya lebih dramatis lagi. Hanya ada sekitar 18 persen manusia pagi di populasi Saudi Arabia, Timur Tengah.

Dari sisi genetik, manusia memiliki sistem sirkadian tubuh berbeda-beda. Tubuh kita punya jam bangun dan tidur bervariasi. Kronotipe (sistem alami manusia) ini merupakan bawaan lahir yang kemudian membentuk manusia pagi dan manusia malam.

Secara spesifik, early bird memiliki gen bernama suprachiasmatic nucleus sebagai pengatur jam tubuh. Durasinya lebih pendek daripada manusia malam. Itulah yang membuat manusia pagi lebih mudah mengantuk pada malam hari.

Di sisi lain, jam tubuh manusia malam harus bekerja lebih keras karena durasinya lebih panjang, yang menjadikan mereka tidur lebih larut daripada manusia pagi.

Selain faktor sistem sirkadian, manusia malam juga sensitif terhadap cahaya di waktu petang. Cahaya terang di malam hari membuat tubuh mereka mudah terjaga. Sialnya, di zaman ketika semua orang menggunakan gawai pintar dan banyak bekerja dengan komputer, paparan cahaya ini kian menjadikan mereka susah mengantuk.

“Kronotipe ini sangat susah diubah. Keadaan semacam ini, bisa jadi, tidak adaptif dengan lingkungan, kecuali dengan pertambahan usia. Ketika usia makin menua, jam tubuh kita cenderung menjadi lebih pendek,” tutur profesor psikologi Leon Lark dari Universitas Flinders, Australia.

Ilustrasi Konsep Ritme Sirkadian

Pria bekerja di kantor rumah, Karakter duduk di meja di kamar. FOTO/iStock

Nasib Buruk Manusia Malam

Label pemalas bagi orang yang susah bangun pagi tidak tepat. Tubuh mereka memang tidak dikondisikan untuk bekerja pagi-sore. Para night owl lebih produktif bekerja sejak siang hingga malam. Jika dipaksakan, bukannya produktif, malah berisiko memperburuk kinerja, serta menggadaikan kesehatan fisik dan emosionalnya.

Pertama, manusia malam tidak di-setting untuk bekerja di pagi hari. Bagian otak korteks prefrontal di dalam tubuhnya tidak aktif di pagi hari.

“Meskipun mereka tampak bugar, tetapi kondisi otak prefrontal korteks mereka sebenarnya seakan-akan masih tidur,” tulis Matthew Walker (Hlm. 11).

Karena itu, manusia malam, meskipun masuk kerja sejak pagi, sebenarnya tidak bisa banyak mengerjakan tugas. Kondisinya baru prima ketika masuk waktu siang hingga sore hari.

Kedua, durasi tidur tujuh hingga delapan jam merupakan keharusan demi kesehatan fisik manusia. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kurang tidur dapat merusak otak, hingga mengakibatkan kepikunan (Alzheimer).

Di saat yang sama, manusia malam yang tidur larut terpaksa bangun pagi karena tuntutan keadaan. Akibatnya, mereka bisa dipastikan kurang tidur. Buktinya, lebih dari dua pertiga populasi di negara-negara maju seperti AS memiliki waktu tidur kurang dari tujuh jam, sebagaimana dilansir oleh National Library of Medicine.

Kondisi ini ibaratnya pedang bermata dua, selain merusak kondisi fisik mereka, kurang tidur juga menggadaikan kesehatan emosi mereka. Orang yang kurang tidur dalam waktu berkepanjangan cenderung tidak bahagia, serta berisiko mengidap depresi, gangguan kecemasan, hingga gangguan halusinasi.

Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui bersama, manusia malam tetaplah manusia malam dan sistem masyarakat kita tidak mengakomodasi kebutuhan mereka. Selama sistem kerja hanya memfavoritkan salah satu jenis kronotipe saja, manusia malam yang susah bangun pagi akan tetap dicap pemalas dan dianggap tak bisa diandalkan.

------------------

Abdul Hadi merupakan akademisi di bidang psikologi, lulusan Magister Psikologi Sosial dan Kesehatan Utrecht University.

Tirto.id membuka peluang bagi para ahli, akademisi, dan peneliti, untuk memublikasikan hasil riset keilmuan. Jika berminat, silakan kirim surel ke mild@tirto.iduntuk korespondesi.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Mild report
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fadli Nasrudin