tirto.id - Menjelang pergantian tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari yang semula 11 menjadi 12 persen. Meski begitu, kenaikan tarif PPN tersebut khusus dikenakan terhadap barang dan jasa mewah.
"Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya dan telah berkoordinasi dengan DPR RI, hari ini pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah," kata Prabowo dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (31/12/2024).
Barang dan jasa mewah yang dimaksud Prabowo itu merupakan barang dan jasa yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kalangan atas, seperti jet pribadi hingga kapal pesiar. Dalam hal ini, barang-barang tersebut sebelumnya juga telah dikenakan tarif PPN atas Barang Mewah (PpnBM) yang diatur berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 42/PMK.010/2022 tentang perubahan atas PMK Nomor 141/PMK.010/2021 tentang Penetapan Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengenaan, Pemberian dan Penatausahaan Pembebasan, dan Pengembalian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Kemudian, ada pula barang mewah yang ditetapkan berdasar PMK Nomor 15/PMK.03/2023 tentang Perubahan atas PMK Nomor 96/PMK.03/2021 tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Barang-barang yang tergolong mewah menurut kedua PMK tersebut antara lain:
A. Kendaraan Bermotor
1. Kendaraan bermotor angkutan orang sampai dengan 15 orang.
2. Kendaraan bermotor dengan kabin ganda.
3. Mobil golf, termasuk golf buggy dan kendaraan semacam itu kendaraan khusus di atas salju, di pantai, di gunung, atau kendaraan sejenis.
4. Kendaraan bermotor beroda 2 atau 3 dengan mesin piston berkapasitas silinder melebihi 250 cc.
5. Trailer, semi-trailer dari tipe caravan untuk perumahan atau kemah.
6. Kendaraan bermotor dengan kapasitas isi silinder melebihi 4.000 cc.
B. Selain Kendaraan Bermotor
1. Hunian mewah dengan harga jual Rp 30 miliar atau lebih.
2. Balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan dan pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.
3. Peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.
4. Helikopter, pesawat udara, dan kendaraan udara lainnya.
5. Senjata artileri, revolver, pistol dan senjata api lainnya yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.
6. Kapal pesiar, kapal ekskursi dan kendaraan air semacam itu, dan semua jenis kapal feri.
7.Yacht.
Sebaliknya, barang-barang yang selama ini tak dikenakan PPN, seperti kebutuhan pokok dan fasilitas publik, akan tetap berlaku sama. Pun, dengan barang-barang harian, seperti sabun, sampo dan sebagainya.
“Jadi, sampo, sabun dan segala macam itu tetap tidak ada kenaikan PPN," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, berdasarkan PMK Nomor 131 Tahun 2024, baik barang dan jasa mewah maupun nonmewah tetap dikenakan tarif PPN 12 persen. Namun, keduanya memiliki penghitungan yang berbeda.
Untuk kategori barang mewah impor, tarif PPN dihitung dengan mengalikan nilai impor barang kena pajak (BKP) dengan 12 persen (12 persen x nilai impor). Sebagai contoh, PT A yang merupakan pengusaha kena pajak (PKP) pabrik kendaraan bermotor mengimpor BKP satu unit mobil 2.000 cc dengan nilai Rp500 juta. Karena termasuk barang mewah, PT A wajib membayar PPnBM dan PPN 12 persen yang hitungannya adalah sebagai berikut:
PPN = 12 persen x Rp500 juta = Rp60 juta
PPnBM = 15 persen x Rp500 juta = Rp75 juta
Sementara itu, pajak barang mewah yang masih dalam daerah pabean atau bukan impor dihitung dengan mengalikan harga jual BKP dengan 12 persen (12 persen x harga jual). Sebagai contoh, penyerahan rumah mewah dengan harga jual Rp100 miliar, bakal ditagih PPN senilai Rp12 miliar. Nilai ini didapat dari 12 persen x Rp100 miliar = Rp12 miliar.
Untuk barang dan jasa nonmewah impor, pajaknya dihitung dengan mengalikan nilai impor BKP dengan 12 persen dan nilai lain yang dalam hal ini sebesar 11/12 (12 persen x 11/12 x nilai impor). Sementara itu, untuk barang dan jasa nonmewah yang didapat dari dalam daerah pabean, pajaknya dihitung menggunakan rumus 12 persen dikali dengan nilai lain 11/12 dikali harga jual BKP (12 persen x 11/12 x harga jual).
Sebagai contoh, penyerahan barang elektronik dengan harga jual Rp100 juta bakal ditarik PPN sebesar Rp11 juta. Nilai itu didapat dari 12 persen x 11/12 x Rp100 juta.
Perlu diketahui bahwa dalam rumus penghitungan untuk barang dan jasa nonmewah, konstanta nilai lain digunakan agar tarif PPN tetap 12 persen. Dengan begitu, pemerintah berupaya tak mengingkari amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Apalagi, sampai saat ini, meski pemerintah memutuskan untuk tak menaikkan tarif PPN barang dan jasa nonmewah, sama sekali tak ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang merupakan dasar hukum aturan ini.
“Jadi, satu sisi mungkin dapat saya sampaikan kita tetap menjalankan amanat Undang-Undang HPP karena tidak mengalami perubahan dengan adanya undang-undang yang baru ataupun Perppu yang sering diceritakan oleh beberapa kalangan,” jelas Suryo dalam Media Briefing di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025).
Selain itu, dengan adanya perbedaan nilai lain ini juga membuat PPN tidak mengandung multitarif dan tetap sesuai dengan UU HPP.
“Jadi, multitarifnya tetap kita dudukkan sama. Hanya saja, dasar pengenaan pajaknya yang kita buat berbeda. Secara agregatif, tadi kami sampaikan, jumlah yang dibayarkan oleh masyarakat berbeda. Untuk yang barang mewah adalah utuh 12 persen, sedangkan untuk barang selain barang mewah adalah 11 persen,” imbuh Suryo.
Sementara itu, terhadap PKP yang mengimpor atau memproduksi barang mewah, DJP memberikan masa transisi selama satu bulan, yakni hingga 31 Januari 2025, dengan penghitungan tarif PPN menggunakan rumus 12 persen x 11/12 x nilai impor atau harga jual. Ini dapat diartikan bahwa PPN 12 persen untuk barang dan jasa mewah akan berlaku efektif per 1 Februari 2025.
Namun, masa transisi ini tidak berlaku untuk tarif PPN barang dan jasa nonmewah yang sudah sejak saat diterbitkannya PMK 131/2024 pada 31 Desember 2024 telah dihitung menggunakan tambahan nilai lain.
“Jadi, boleh dengan PMK kita menetapkan dasar pengenalan wajah yang berbeda. Nah, ini yang kira-kira, coba kebanyakan kami sampaikan. Kalau transisinya, ya karena tadi berubah dari 11 ke 12, berarti sistem administrasi harus dilakukan penyesuaian,” jelas Suryo.
Mengutak-atik UU HPP
Menanggapi kebijakan tarif PPN 12 persen untuk barang mewah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa pemerintah sepertinya memang tengah mengakali UU HPP dengan menambahkan nilai lain dalam penghitungan tarif PPN untuk barang dan jasa nonmewah.
Terlebih, rumus-rumus tersebut juga justru menambah kebingungan masyarakat dan pelaku usaha. Terkait hal tersebut, Suryo pun mengakui bahwa sudah ada perusahaan maupun ritel yang mengimplementasikan PPN 12 persen pada barang dan jasa nonmewah yang mereka produksi.
“Tapi, di sisi yang lain muncul kebingungan ya. Dan kebingungan ini juga direspon salah satunya dengan membuat restitusi kelebihan PPN yang baru saja rilis ya,” kata Bhima saat dihubungi Tirto, Kamis (2/1/2025).
Meski DJP bakal membuat aturan tentang pengembalian kelebihan PPN tersebut, Bhima ragu proses restitusi pajak akan berjalan lancar dan rampung dalam waktu cepat. Pasalnya, untuk melakukan restitusi, pemerintah juga membutuhkan PMK anyar yang mengatur kebijakan ini.
“Saya pikir gini ya, selain menyosialisasikan restitusi dengan teknis yang lebih mudah, yang harus dilakukan juga sosialisasi juga Ditjen Pajak dengan sosialisasi ke seluruh pelaku usaha menggunakan kanwil-kanwil pajaknya gitu. Sehingga, jangan sampai ada kesalahan persepsi yang merugikan konsumen,” jelasnya.
Sementara itu, untuk mengurai kebingungan di masyarakat, Bhima menilai sudah seharusnya pemerintah dan DPR membahas revisi UU HPP. Dus, terdapat opsi multitarif PPN dan secara langsung pemerintah dapat mengatakan bahwa tarif PPN untuk barang dan jasa nonmewah adalah sebesar 11 persen.
Opsi lainnya, sebelum masa transisi untuk pengenaan tarif PPN untuk barang dan jasa mewah berakhir pada Februari nanti, Presiden Prabowo sudah mengetok Perppu sebagai pengganti UU HPP.
“Sehingga, ada kepastian hukum dengan merevisi Pasal 7 UU HPP. Jadi, DPR mulai masa sidang lagi, pembahasan pertama adalah tentang revisi Undang-Undang HPP. Itu sih yang paling mungkin. Karena, juga dikhawatirkan tetap ada celah kan ke depannya PPN bisa naik lagi 12 persen,” tegas Bhima.
Dengan merevisi UU HPP, lanjut dia, pemerintah juga bisa melakukan ekstensifikasi terhadap jenis pajak lain, seperti pajak karbon atau pajak terhadap komoditas-komoditas yang tengah mengalami peningkatan harga (commodity boom). Pun, pemerintah juga bisa mengejar pajak dari perusahaan-perusahaan nakal yang sering kali mangkir dari kewajibannya.
Dengan jenis-jenis pajak baru, pemerintah bisa sekaligus memenuhi harapan masyarakat yang menginginkan agar tarif PPN turun layaknya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Vietnam.
“Jadi, bukan hanya dibatalkan 12 persen, tapi kalau memang benar-benar ingin menstimulus daya beli, yaitu dengan menurunkan tarif PPN menjadi 8 persen. Biar bisa kompetitif, misalnya, dengan negara tetangga di kawasan, seperti Vietnam,” lanjut Bhima.
Pemerintah Tak Akan Kehilangan Penerimaan
Sementara itu, pakar perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Ronny Bako, menilai bahwa langkah pemerintah untuk menarik PPN dari orang-orang super kaya sudah tepat, ketimbang menetapkan tarif PPN 12 persen untuk seluruh barang seperti rencana sebelumnya.
“Kalau bahasa vulgarnya, maaf-maaf, itu kan PPN tidak naik gitu loh [untuk barang dan jasa nonmewah]. Artinya, supaya pemerintah menyelamatkan mukanya sendiri, karena kan selama ini kan Menko [Perekonomian], Menteri Keuangan sudah ngomong bla bla bla bla, tapi detik-detik terakhir berbalik 360 derajat. Itu jadi penyelamatan muka pemerintah saja,” kata Ronny kepada Tirto, Kamis (2/1/2025).
Selain menyelamatkan muka pemerintah, potensi penerimaan negara dari PPN 12 persen untuk barang mewah menurutnya juga bakal lebih besar daripada PPN 12 persen untuk seluruh barang. Dari hitungan Ronny, pemerintah setidaknya dapat mengantongi pendapatan negara sekitar Rp200 triliun dari PPN 12 persen untuk barang dan jasa mewah. Itu jauh lebih besar daripada taksiranPPN 12 persen untuk seluruh barang dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan yang sekitar Rp75 triliun.
Hal itu tak lain disebabkan oleh harga jual atau nilai impor dari barang dan jasa mewah yang juga jauh lebih tinggi ketimbang barang dan jasa nonmewah.
“Pemerintah enggak bakal kehilangan penerimaan. Justru, menurut saya, malah akan dapat lebih. Siapa sih yang mau beli rumah Rp30 miliar, itu kan kalangan terbatas, cuma masyarakat kalangan atas,” sambung Ronny.
Meski dalam hitungan kasar PPN tak naik, pemerintah tetap harus memitigasi kenaikan harga barang dari kenaikanupah minimum provinsi (UMP) 2025 yang ditetapkan sebesar 6,5 persen serta kenaikan tarif listrik. Pasalnya, keduanya menjadi faktor penentu produksi oleh para pelaku usaha.
Apalagi, PPN 12 persen untuk barang dan jasa mewah secara tidak langsung akan berdampak pada sektor-sektor usaha lainnya yang kemudian dapat ditransmisikan kepada konsumen biasa bukan dari golongan kelas menengah atas.
“Memang secara tidak langsung akan berdampak juga ke masyarakat. Dan makanya di situ berarti pemerintah harus cari solusi bagaimana supaya perputaran uang di masyarakat itu berjalan. Misalnya, dengan perizinan-perizinan dipermudah. Kemudian, lapangan pekerjaan diperluas,” tukas Ronny.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi