tirto.id - Usai Soeharto tumbang, selalu ada kader partai Golkar yang maju sebagai kandidat dalam tiap pemilu, entah sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Sebagian dari mereka diusung Golkar. Sebagian sisanya melenggang bersama partai lain. Hanya di Pemilu 2019 tidak ada kandidat capres dan cawapres yang berasal dari Golkar.
Pada Pemilu 2004, ketika presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk kali pertama, Golkar punya Wiranto (capres) dan Jusuf Kalla (cawapres; tidak diusung Golkar). Pada Pemilu 2009, Golkar mengajukan Jusuf Kalla (capres). Lalu, pada 2014, Jusuf Kalla maju sebagai cawapres Jokowi, meskipun Golkar mengusung Prabowo-Hatta.
Dua kali maju sebagai cawapres, dua kali itu pula Jusuf Kalla menang. Tapi, di dua perhelatan itu, dia tidak diusung Golkar. Walhasil, sepanjang 20 tahun ke belakang, usungan Golkar di Pilpres selalu kalah. Meski demikian Golkar selalu cerdik mencari celah. Usai Pilpres, partai berlambang beringin itu segera merapat sebagai pendukung pemerintah.
Karena sikap tersebut, Jusuf Kalla berulang kali menyatakan bahwa falsafah Golkar ialah selalu mendukung pemerintah. Tidak heran bila pada 2019 Golkar menambatkan dukungannya kepada petahana presiden Jokowi.
Pelbagai survei menunjukkan sosok Jokowi tidak akan mengerek suara Golkar. Jokowi diprediksi hanya menambah elektabilitas partainya, PDIP. Sementara di pihak lawan, Prabowo disinyalir akan mendongkrak elektabilitas Gerindra, partai yang dipimpinnya.
Masalah Golkar pun tidak hanya itu. Pada 2016, Golkar didera konflik internal. Citra sebagai partai sumber koruptor kian lekat menempel pada Golkar selama lima tahun terakhir. Baik Setya Novanto, ketua DPR sekaligus ketua umum Golkar, maupun Idrus Marham, menteri sosial sekaligus sekretaris jenderal Golkar, tersangkut kasus korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat Idrus dan Setya hanyalah dua dari delapan politikus Golkar yang terjerat korupsi sepanjang 2014-2019. Menurut ICW, partai penyumbang koruptor terbanyak adalah Golkar.
Namun, melihat hasil hitung cepat yang dirilis pada Rabu (17/4) sore, perolehan suara Golkar yang tidak mengirim kadernya sebagai capres atau cawapres diprediksi turun tipis dibanding pada Pemilu 2014. Meski demikian, persentase suara tersebut tetap membuat Golkar masuk tiga besar partai dengan perolehan suara terbanyak.
Beringin Selalu Masuk Tiga Besar
Pada Pemilu 2014, Golkar mengantongi sekitar 18,43 juta suara. Perolehan itu setara 14,75 persen suara sah. Dengan itu, Golkar menempati peringkat kedua klasemen perolehan suara partai di Pemilu 2014. Hasil ini tidak begitu berbeda dengan capaiannya di Pemilu sebelumnya: peringkat pertama di 2004 dan peringkat kedua di 2009.
Hitung cepat Pemilu 2019 yang digelar Charta Politika menunjukkan Golkar memperoleh 11,05 persen suara. Hitung cepat CSIS-Cyrus Network menerka Golkar meraup 12,65 persen suara. Menurut hitung cepat tersebut, Golkar menempati peringkat kedua hingga ketiga klasemen perolehan suara partai di Pemilu 2019.
"[Melihat] hasil exit poll [tentang] Partai Golkar, tentu kami [dapat suara di atas] ambang batas parlemen sudah diperkirakan dan realitasnya sudah terlampaui. Tinggal menunggu posisi kedua, kelihatannya sudah kelihatan," ujar Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Rabu (17/4), di sela pertemuan para pimpinan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf di Djakarta Theater.
Golkar bersaing ketat dengan Gerindra yang menurut prediksi hitung cepat meraup 12,03 persen (CSIS-Cyrus Network) hingga 12,75 persen suara (Charta Politika).
Suara Golkar juga melampaui jauh perolahan suara partai yang sama-sama diterpa konflik internal dan petingginya terlibat korupsi: PPP dan Hanura. Hasil hitung cepat memprediksi PPP meraup hanya sekitar 4 persen suara. Sedangkan suara Hanura hanya 2 persen, tidak lolos ambang batas parlemen yang sebesar 4 persen.
Hasil exit poll yang digelar Kompas pada Rabu (17/4) mengungkapkan sebanyak 62,9 persen pemilih Golkar pada Pemilu 2019 juga memilih Golkar pada 2014. Artinya, Golkar memiliki cukup banyak pemilih loyal.
Sedangkan exit poll yang dihelat Indikator Politik Indonesia pada hari yang sama menunjukkan pemilih di Banten, Kalimantan, dan Sulawesi mendukung Golkar. Exit poll ini juga memperlihatkan Golkar tak lagi berjaya di Sumatera. Golkar berpeluang besar kehilangan kursi dari daerah-daerah di Sumatera yang dulu dimenangkannya pada 2014 seperti Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat.
Meski demikian, hasil exit poll tersebut menunjukkan bahwa Golkar masih bergantung pada pemilih luar Jawa. Pada Pemilu 2014, sekitar 48 persen suara Golkar berasal dari provinsi di luar Jawa. Jumlah itu lebih besar dari porsi pemilih luar Jawa yang hanya menyumbang 37 persen suara total PDIP di 2014.
Luwes dan Berurat-akar
Golkar didirikan pada 1964 sebagai wadah golongan fungsional. Semasa Orde Baru, Golkar menjadi kendaraan elektoral Soeharto. Memang, setelah Soeharto lengser pada 1998, Golkar dituntut bubar. Tetapi, kompromi politik membawa Golkar hidup hingga sekarang. Pada akhirnya, kompromi, usia tua, dan pengalaman panjang itu pula yang membuat Golkar tetap diperhitungkan.
Dalam konstelasi partai di Indonesia, Golkar tampil dengan ciri yang unik. Ia tidak punya pemimpin tunggal nan kharismatik seperti Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat), Megawati (PDIP), Surya Paloh (Nasdem), atau Prabowo (Gerindra). Mungkin karena itu, publik mudah melepaskan sosok Setya Novanto atau Idrus Marham dari Golkar.
Di beberapa daerah, jaringan Golkar berurat-akar dengan dinasti politik setempat: dinasti Ratu Atut di Banten atau Yasin Limpo di Sulawesi Selatan.
Golkar pun luwes menerima pelbagai kalangan. TGB Zainul Majdi, pemuka agama Islam terkemuka di NTB yang dua periode menjabat gubernur provinsi itu, masuk Golkar awal tahun ini. Yuddy Chrisnandi, yang sempat hengkang dari Golkar ke Hanura pada 2010, masuk Golkar lagi pada 2018. Eks-politikus PKS Misbakhun masuk Golkar pada 2010. Airlangga dan Setya juga pernah menawarkan mantan politikus PKS Fahri Hamzah masuk Golkar pada 2018.
Dirk Tomsa menuliskan dalam Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era (2007) bahwa daya tarik Golkar ialah keanggotaan. Politikus Golkar yang diwawancarai Tomsa mengungkapkan alasannya masuk Golkar karena infrastruktur partai memberi mereka kesempatan terbaik untuk memenuhi ambisi politik. Golkar pun memanfaatkan betul daya tariknya untuk menggaet orang-orang dengan magnet elektoral tinggi.
Sedangkan dengan menjadi partai pemerintah, menurut Tomsa, Golkar bertindak sebagai pelindung yang memberikan para kadernya sumber keuangan atau material yang menguntungkan. Akses finansial tersebut amat penting bagi kesuksesan kader Golkar bertarung di tengah kompetisi elektoral yang begitu ketat di Indonesia.
Editor: Windu Jusuf