tirto.id - Dipecatnya Simon McMenemy dari jabatan kepala pelatih tim nasional senior membuat PSSI harus bekerja ekstra keras dalam beberapa pekan ke depan. Mereka dituntut segera menemukan pengganti yang bisa memperbaiki tren buruk Tim Garuda di bawah asuhan juru taktik asal Skotlandia tersebut.
Ketua Umum PSSI, Komjen Pol Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, belum bisa menjanjikan kapan nama itu akan keluar, tapi dia akan mengupayakannya sebelum November 2019 berakhir.
“Mohon bersabar. Meskipun Simon secara putusan sudah dipecat, tetapi tidak bisa serta merta kami mengganti,” katanya.
Ada beberapa alasan mengapa PSSI tidak bisa langsung menunjuk pengganti. Pertama, Iwan menyebut ada proses administrasi yang harus diselesaikan antara timnas dengan Simon. Ini terkait kewajiban pembayaran sisa kontrak akibat pemecatan, yang ditaksir menyentuh hampir empat miliar rupiah.
Selain itu, satu alasan yang tidak kalah penting adalah PSSI tidak mau gegabah memilih pengganti.
“Nama-nama pelatih baru yang sudah masuk daftar juga akan kami asesmen terlebih dahulu. Semacam meminta penjelasan bagaimana pola mereka bermain, sehingga nanti akan bisa dilihat siapa yang lebih cocok,” jelas Iwan.
PSSI masih membuka pintu bagi siapa pun untuk masuk melatih Evan Dimas dan kawan-kawan, termasuk para pelatih lokal. Kendati demikian, sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini nama kandidat pengganti Simon mengerucut ke dua nama pelatih asing: Luis Milla dan Shin Tae-yong.
Milla: Solusi Tepat, Harga Tak Merakyat
Nama pertama, Luis Milla Aspas, bukan lagi sosok asing. Pelatih yang telah mengantongi lisensi UEFA Pro ini pernah menangani timnas senior dan U-23 lebih dari setahun.
Satu tahun memang bukan waktu yang panjang, tapi jika dikomparasikan dengan berbagai pencapaian yang dia dapat, potensi Milla tak bisa dipandang sebelah mata.
Datang ke Indonesia dengan rekam jejak pernah mengantarkan Timnas U-21 Spanyol merajai Piala Eropa, Milla tak kesulitan beradaptasi dengan iklim sepakbola Asia Tenggara. Dia tercatat pernah menyumbang medali perunggu SEA Games, dan yang lebih mencengangkan: mengantarkan Timnas U-23 Indonesia tembus 16 besar Asian Games 2018.
Sumbangsih Milla bukan cuma perihal medali, tapi juga prinsip. Di era Milla, tim staf teknik Indonesia yang dipimpin Danurwindo merumuskan filanesia, gaya bermain bola yang jadi dasar dan tujuan jangka panjang timnas di berbagai level usia.
Filanesia bukan sebatas metode penerapan formasi. Menurut Milla, ini adalah gaya bermain yang paling cocok dengan Indonesia, yang pada intinya 11 pemain di atas lapangan dituntut untuk bermain progresif, konstruktif, dan proaktif.
Dan karena alasan filanesia ini pula, barangkali Milla adalah sosok yang paling tepat untuk menggantikan Simon.
Di era Simon, timnas cenderung ingin mempertahankan filanesia, terbukti dengan ditunjuknya Simon sebagai duta filanesia. Akan tetapi, di bawah asuhan Simon pula timnas keteteran menerapkan gaya bermain ini. Jarak antarlini yang kerap tak beraturan, distribusi bola yang kerap tak efektif, bikin Indonesia kesulitan bermain konstruktif, progresif, dan proaktif.
Di tangan Milla, peluang mengaplikasikan kembali identitas itu di atas lapangan terbuka lebih lebar. Apalagi terbukti di Asian Games lalu skuat asuhan Simon bisa bermain rancak dan menyulitkan lawan-lawan tangguh.
Sayangnya, mendatangkan Milla lagi bukan perkara mudah. Gaji yang menjulang tinggi jadi batu sandungan terbesar bagi PSSI.
Kali terakhir menjabat di Timnas Indonesia, Milla dan asistennya digaji sekitar Rp2 miliar per bulan. Ini adalah gaji tertinggi sepanjang sejarah Timnas Indonesia, melampaui Simon atau pelatih lain seperti Alfred Riedl.
Simon digaji hampir tiga miliar per tahun alias sekitar lebih dari Rp200 juta per bulan, sementara Riedl bahkan cuma digaji Rp1,2 miliar per tahun alias Rp100 juta per bulan.
Ada isu berembus bahwa Milla sendiri sebenarnya ingin kembali ke Indonesia dan bersedia menerima gaji yang lebih rendah. Tapi, mengenai berapa nominalnya, belum ada bocoran dari PSSI.
Satu hal yang jelas: federasi tidak ingin mengeluarkan uang sebesar gaji Milla di periode sebelumnya.
“Bujet kami masih akan dihitung, tapi yang jelas tidak setinggi ketika menggaji Milla,” kata Iwan Bule, Rabu (6/11/2019).
Tae-yong: Alternatif Spekulatif
Atas pertimbangan gaji pula, satu nama lain yang disodorkan kepada PSSI, Shin Tae-yong, punya kans lebih kuat. Kali terakhir menangani Timnas Korea Selatan pada 2018, Tae-yong digaji sebesar Rp7,3 miliar per tahun, atau kira-kira 600 juta per bulan, tidak sampai setengah gaji Milla.
Tae-yong bukan nama sembarangan. Saat melatih Timnas Korea Selatan, dia mengantarkan Son Heung-min dan kawan-kawan ke fase grup. Kendati tak tembus ke babak 16 besar, kehebatan meramu taktik Tae-yong sempat dipuji habis-habisan saat pada turnamen yang sama Korea Selatan sukses mengalahkan juara bertahan Timnas Jerman dua gol tanpa balas.
Kemampuan Tae-yong mematangkan pemain usia muda juga kerap disorot. Dia tercatat pernah mengantarkan Timnas U-23 Korea Selatan menembus delapan besar Olimpiade 2016, jadi runner-up Piala Asia, serta membawa Timnas U-20 Korea Selatan menembus Piala Dunia U-20 2017.
Tapi, terlepas dari rekam jejak sensasional itu, ada yang tak dimiliki Tae-yong. Tak seperti Milla, tidak ada jaminan pria berusia 50 tahun ini bisa klop dengan Saddil Ramdani dan kawan-kawan.
Kondisi ini tidak menguntungkan Iwan Bule, yang sudah kadung berjanji akan membikin Timnas Indonesia bisa menjuarai Piala AFF 2021 dan masuk deretan elite Asia setahun kemudian.
“2020 saya mulai modernisasi program pembinaan, 2021 menggapai juara Asia Tenggara, 2022 mencapai top 10 Asia. Kemudian 2023 mencapai juara Asia dan lolos ke Piala Dunia 2026," kata dia.
Tahun 2020 tinggal menghitung bulan. Merekrut Tae-yong dan membebannya dengan tugas kelewat berat dalam jangka pendek hanya akan jadi langkah paling spekulatif pertama Iwan Bule sejak duduk di kursi Ketua Umum PSSI.
Editor: Rio Apinino