tirto.id - "Habis nangis karena dikatain beban gak bisa bawa motor."
Begitu cuit anonim seorang netizen melalui autobase @tanyakanrl.
Kicauan tersebut belum selesai. Sang pengirim pesan meyakini, ketidakmampuannya mengendarai kendaraan roda dua adalah karena ia telah kehilangan sosok ayah.
“Sender gak punya Ayah kayak orang-orang yang ngajarin anaknya.” Ia menambahkan kata “hehehe” agar, mungkin saja, tidak terkesan begitu berduka.
Entah pesan tersebut benar-benar nyata atau hanya cerita rekayasa, pendapat warganet di jagat X sudah telanjur terbelah dua.
Sebagian memahami, sementara sisanya menyebut si pengirim pesan menggunakan kematian sang ayah sebagai alasan untuk merepotkan orang lain.
Namun, mari bayangkan jika cerita di atas benar terjadi. Tentu akan banyak sekali dari kita yang relate dengan kisah kehilangan orang terkasih, sosok yang selalu jadi tumpuan sehari-hari.
Aku teringat seorang teman, tidak bisa dibilang dekat, tetapi beberapa kali kami sempat berinteraksi. Cerita yang ia tuturkan beberapa tahun lalu kembali hinggap dalam ingatanku gara-gara perdebatan di atas.
Suatu malam saat mampir di pondokan yang ia tinggali untuk mengantar sesuatu, hujan turun sedikit deras dan memaksaku untuk berteduh sejenak di sana.
Mungkin karena rintik hujan, atau mungkin juga karena suasana malam yang sepi, pembicaraan basa-basi beralih lebih serius dan mendalam.
Kami tidak pernah mencoba menggali latar belakang satu sama lain, akan tetapi di teras pondokan saat air langit mengguyur jalanan, ia menyatakan kerinduannya akan rumah.
Aku menjadi pendengar yang baik malam itu.
Di antara kisah tentang adik yang baru saja masuk sekolah dan ibu yang harus banting-tulang, temanku menyelipkan cerita tentang almarhum ayahnya.
Sang ayah meninggal jauh sebelum temanku beranjak remaja, jadi tidak banyak ingatan yang bisa digali. Ia bahkan tidak ingat rasanya punya ayah. Meski begitu, kata temanku, hidup tampaknya akan terasa lebih lengkap dan mudah jika mereka komplet berempat.
Absennya sosok ayah membuat hubungan temanku dan ibunya sedikit rumit. Keduanya beberapa kali bertengkar, bahkan untuk hal yang sepele.
Apa yang terjadi pada temanku dan juga sender di autobase di atas membuatku bertanya-tanya, mungkinkah selama ini kita terlalu menggampangkan atau menyepelekan kedukaan? Mungkinkah kita otomatis berasumsi bahwa rasa duka yang sudah terjadi lama akan membuat orang "terbiasa"?
Empat puluh enam tahun sudah berlalu saat Colbert menceritakan momen duka tersebut dalam wawancara CNN pada 2019.
Sedikit banyak, kata Colbert, kehilangan mengubah lintasan kehidupannya.
Meski singkat, ungkapan jujur Colbert menggulirkan surat pembaca bernada sama di New York Times. Surat tersebut berasal dari mereka yang pernah kehilangan ayah, ibu, atau keduanya.
"Ayahku meninggal dunia tepat 40 tahun yang lalu pada Desember ini. Aku belum lagi remaja ketika ia tiada, tapi duka kehilangan masih aku rasakan setiap hari," tulis salah satu pembaca.
Hope Edelman dari organisasi Motherless Daughters menyebut momen ini sebagai "the long arch of childhood grief", sebuah saga dari kedukaan masa kecil.
Baik Colbert dan mereka yang kehilangan orang tua ternyata tidak pernah benar-benar lupa. Mungkin itu juga yang dirasakan temanku pada hari ketika ia cukup berani menceritakan kehilangannya.
“Karena tidak pernah dibicarakan secara terbuka, seakan rasa sakitnya hanya ada di kepalaku,” begitu pengakuan lain yang muncul dalam video pendek BBC 3 berjudul “Losing A Parent: Understood” (2018).
Rasa duka dan kehilangan memang harus dibicarakan. Kesedihan yang tidak dikelola dan diungkapkan dengan baik akan memicu amarah tak terkendali; sebuah akar dari depresi, tegas Edelman.
Jadi, aku senang malam itu aku tidak buru-buru pulang. Aku senang hujan deras turun hingga memberikan temanku kesempatan untuk meluapkan perasaannya. Aku senang kami berdua punya sedikit waktu mengenang sosok ayahnya.
Pada akhirnya, pertemuan dengan cerita-cerita kehilangan membuatku belajar untuk mencerna secara hati-hati cuitan sender di paragraf pertama.
Tidak ada formula akurat untuk menyembuhkan maupun menerima rasa duka dan kehilangan. Bagi beberapa dari kita, rasa sakit yang dilalui mungkin bertahan lebih lama daripada yang dapat dibayangkan, atau bahkan tidak akan pernah bisa hilang.
Rasa duka dan kehilangan adalah sebuah proses. Begitulah manusia bertumbuh dan menjadi lebih kuat. Beberapa bisa melewatinya dalam waktu singkat, lainnya butuh periode yang lebih panjang.
Menginvalidasi perasaan sedih seseorang tidak akan mempercepat proses untuk sembuh dan bangkit. Ia justru hanya menabur garam pada luka yang belum betul-betul kering. Maka dari itu, jadilah pendengar yang baik. Belajarlah untuk memahami pengalaman mereka yang pernah kehilangan.
“When given the choice between being right or being kind, choose kind—kalau diminta memilih jadi orang yang benar atau baik, pilihlah jadi yang baik,” tutur Summer dalam film Wonder (2017).
Kutipan tersebut mungkin bisa jadi pengingat. Kita memang harus berhati-hati saat mengambil kesimpulan atas luka orang lain.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































