Menuju konten utama
GWS

Duka Tanpa Nisan, Kehilangan Tanpa Kejelasan

Duka adalah ekspresi atas kehilangan, tapi tak terbatas pada kematian. Itulah yang disebut ambiguous loss, bagai duka tanpa nisan, tanpa kejelasan.

Duka Tanpa Nisan, Kehilangan Tanpa Kejelasan
Sejumlah aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti Aksi Kamisan ke-834 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/10/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nz

tirto.id - Beberapa bulan sebelum ayah saya meninggal, di usia senjanya, ia mulai menunjukkan gejala demensia. Ingatannya perlahan memudar. Satu per satu anggota keluarga seperti lenyap dari memorinya.

Beruntung, ia masih mengenali saya. Bagi sebagian keluarga yang lain, rasanya seperti sudah kehilangan ayah, meski ia masih hadir secara fisik.

"Berduka untuk seseorang yang masih hidup memang tidaklah mudah," tulis konten kreator, Nedra Tawwab, dalam bukunya yang berjudul Set Boundaries, Find Peace (2021). Buku itu membahas tentang kehilangan dalam bentuk yang berbeda.

Dalam ilmu psikologi, ada istilah kehilangan ambigu (ambiguous loss) yang merupakan bagian dari berduka, tetapi berbeda dari duka pada umumnya. Istilah kehilangan ambigu pertama kali dicetuskan oleh Pauline Boss yang mengkaji keluarga-keluarga serdadu yang hilang selama perang Vietnam, sebagaimana dikutip dari The Lancet.

Dalam penelitiannya, Pauline Boss mengkaji perasaan berduka dan rasa sedih dari keluarga serdadu yang tak bisa dilacak lagi selama perang Vietnam pada 1970-an. Tak ada kabar apakah anggota keluarga yang bertempur tersebut masih hidup atau sudah meninggal.

Kasus tersebut mirip dengan kisah keluarga 13 aktivis yang hilang di masa Orde Baru dalam rentang 1997-1998. Keluarga para aktivis tersebut membentuk Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) yang hingga saat ini menuntut pemerintah menyelidiki kasus hilangnya anggota keluarga mereka.

"Jika hidup, di mana tinggalnya? Jika meninggal, di mana kuburnya?" Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus disuarakan oleh keluarga korban. Mereka mengalami sesuatu yang disebut sebagai kehilangan ambigu, jenis duka yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Pauline Boss ke hal-hal dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk demensia dan kepikunan.

Salah satu bentuk kehilangan ambigu tersebut adalah yang keluarga saya rasakan dengan ayah kami. Ia masih hidup, tetapi ingatannya hilang, sehingga kami kehilangan sosoknya yang dulu. Kami merasa ayah bukanlah ayah yang kami kenal lagi, meskipun ia tetap ayah kami.

 ilustrasi duka ambigu

ilustrasi duka ambigu. foto/istockphoto

Pauline Boss meneliti tentang keluarga yang berduka atas hilangnya saudara atau anak mereka yang raib dalam perang. Sementara itu, keluarga kasus '98 berduka karena kehilangan sanak kerabatnya yang dihilangkan secara paksa. Dua-duanya sama-sama termasuk kehilangan ambigu.

Namun, kasus kehilangan ambigu tidak selalu dekat dengan peristiwa lingkup besar. Ada banyak permisalan serupa yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Salah satunya yang dialami oleh Ben Carson dalam film Gifted Hands (2009) ketika ia berduka atas keguguran istrinya. Berbulan-bulan ia dan istrinya menantikan sosok anak, tetapi sang buah hati justru meninggal sebelum sempat lahir.

Dalam kasus mirip, seorang istri bisa saja berduka lantaran sangat mendambakan seorang anak, tetapi ia tak bisa mengandung dan tak pernah memiliki anak. Ada pula contoh kasus yang kerap dialami anak-anak muda: amat berharap memiliki kekasih dan rindu pada sosok yang benar-benar diharapkan, padahal sebenarnya tak pernah bertemu dengan sosok tersebut.

“Kehilangan ambigu tidak lebih atau tidak kurang menyakitkan daripada kehilangan sebenarnya. Salah satu yang membedakannya dari kehilangan yang lain adalah masyarakat tidak pernah mengategorikannya sebagai bentuk kehilangan,” tulis psikoterapis, Lori Gottlieb, dinukil dari The Atlantic.

Tidak pernah ada ucapan berduka untuk seseorang yang demensia, meskipun ia tak bisa lagi mengenali orang lain di sekitarnya. Tidak ada jatah libur kerja untuk orang yang patah hati, meskipun ia kehilangan kekasih yang amat dicintainya. Tidak ada juga belasungkawa untuk orang mandul yang amat mengharapkan anak yang tak pernah dimilikinya.

Kendati sukar membayangkan dampak psikologisnya, kita bisa membayangkan skenario kehilangan ambigu ketika tidak pernah ada kepastian akan kondisi kehilangan. Bayangkan kita ingin berduka, tetapi tak pernah tahu pasti apa yang akan kita ratapi.

Pauline Boss membagi kehilangan ambigu dalam dua kondisi, “Leaving without good-bye atau good-bye without leaving,” tulisnya dalam artikel yang terbit di jurnal Bereavement Care pada 2014.

Pertama, leaving without good-bye 'sudah pergi, tetapi tak mengucap selamat tinggal'. Kondisi ini merujuk pada kehilangan fisik, tetapi kehadirannya masih menghantui yang ditinggalkan, misalnya hilang akibat perang atau penghilangan paksa. Jika merujuk pada aktivis yang hilang di masa Orde Baru, beberapa keluarga masih bingung mencari kepastian, sebab tidak ada status untuk para aktivis tersebut.

Sebagai contoh, keluarga Ucok Munandar Siahaan (korban penculikan aktivis '98) hingga sekarang masih menganggap sosoknya hidup, meski mereka tak pernah bertemu dengannya lagi sejak 18 Maret 1998. Bahkan, nama Ucok bahkan masih tertera di Kartu Keluarga (KK).

“Ucok Munandar hilang setelah usianya 17 tahun. Jadi, setiap Pemilu dikasih surat undangan pencoblosan. Saya harus bilang apa kepada mereka bahwa anak saya tidak jelas statusnya, masih hidup atau sudah meninggal,” ujar Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar, dikutip dari situs web IKOHI.

Kedua,good-bye without leaving 'sudah mengucap selamat tinggal, tetapi belum pergi'. Kondisi ini merujuk pada kehadiran fisik, tetapi psikologis orang bersangkutan sudah berbeda dari sebelumnya. Misalnya, kondisi ayah saya yang demensia. Meskipun bersama kami, ia lupa dan tidak ingat apa-apa, kecuali remah-remah kenangan yang saya sendiri sukar memahaminya.

Inilah absurditas kehilangan ambigu. Dampak psikologisnya terasa aneh. Karena itu juga, psikolog memberi istilah “kehilangan tanpa nama” ketika menjelaskannya. Untuk menggambarkan dampak kehilangan ambigu, Lucile Ostertag menyampaikan pengalamannya mendampingi sang suami yang sakit hingga koma dan tak sadarkan diri.

“Saya merasa tidak berdaya. Ada dorongan untuk terus berada di sisinya dan keanehan berada di dekat tubuh yang tak sadarkan diri, tanpa memahami apa yang terjadi di dalam kepalanya,” tulis Lucile di jurnal Intensive Care Medicine.

Meski tubuhnya masih ada, tidak ada kejelasan kapan akan pulih. Apakah kondisinya akan membaik? Apakah kian parah? Semua pertanyaan itu hanya berputar-putar, tak pernah terjawab, sebab memang tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti.

Pada akhirnya, yang mengalami kehilangan ambigu harus menjalani hidup dengan tanda tanya yang tidak pernah hilang. Mungkin kita tak pernah tahu apakah yang raib akan kembali, atau ingatan yang pudar akan pulih. Tidak ada titik akhir, tidak ada kepastian, hanya ruang kosong yang harus kita isi sendiri. Pada saat bersamaan, kita tahu, yang kita isi di sana pun tak pernah benar-benar menjawab kehilangan tersebut.

===============

Abdul Hadi merupakan akademisi di bidang psikologi, lulusan Magister Psikologi Sosial dan Kesehatan Utrecht University.

Tirto.id membuka peluang bagi para ahli, akademisi, dan peneliti, untuk memublikasikan hasil riset keilmuan. Jika berminat, silakan kirim surel ke mild@tirto.id untuk korespondensi.

Baca juga artikel terkait DUKA atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - GWS
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fadli Nasrudin