tirto.id - Megumi Yokota pergi ke sekolah seperti biasa di pagi yang cerah 15 November 1977. Namun, tidak seperti hari lain, saat itu dia tidak kunjung pulang ke rumah. Megumi menghilang ketika usianya menginjak 13 tahun lebih satu bulan. Ia masih dinyatakan raib sampai hari ini.
Megumi adalah siswa Yorii Middle School di Prefektur Niigata, Jepang. Selambat-lambatnya ia akan sampai di rumah pukul 6 sore jika mengikuti ekstrakurikuler bulu tangkis selepas jam belajar. Jarak antara rumah dan sekolah hanya beberapa ratus meter, dihubungkan oleh jalan yang tidak memiliki cukup penerangan.
Karena Megumi tak kunjung pulang pada pukul 7 malam, ibunya, Sakie, memutuskan berlari ke sekolah. Ia segera menuju gedung olahraga dan mendapat informasi dari penjaga sekolah bahwa siswa yang berlatih bulu tangkis “sudah lama pergi.”
Karena menemui jalan buntu, menjelang jam 10 malam, mereka memutuskan lapor polisi. Namun aparat, warga yang membawa penerangan, juga anjing pelacak gagal menemukan petunjuk apa pun. Hanya satu yang jelas: tidak ada tanda-tanda kecelakaan atau Megumi melarikan diri.
Maka kemungkinan paling besar adalah Megumi telah diculik.
Selama berhari-hari polisi dan orang tua Megumi, Sakie dan Shigeru, bersiaga di samping telepon, berharap panggilan yang mungkin datang dari penculik. Namun hasilnya nihil. Polisi juga menginterogasi tetangga dan masyarakat sekitar, tapi tidak ada satu orang pun yang menyaksikan di mana atau siapa pihak yang menculik remaja yang baru duduk di kelas 1 SMP tersebut.
Orang tua Megumi baru mendapat petunjuk tentang pelaku penculikan pada 21 Januari 1997 atau hampir 20 tahun sejak Megumi menghilang. Sekretaris pribadi seorang anggota parlemen mengatakan Megumi “masih hidup di Korea Utara.”
Keluarga lantas berupaya keras agar anaknya bisa kembali. Mereka hadir ke stasiun televisi berharap pemerintah membantu meski awalnya takut dengan bicara di muka umum Korea Utara justru mengeksekusi Megumi.
Akhirnya, pada Mei tahun itu juga, pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa ada banyak kasus lain seperti Megumi. Ini adalah rangkaian penculikan yang dilakukan agen-agen Korea Utara sepanjang 1970-an sampai 1980-an. Sakie dan Shigeru kemudian mendirikan dan menjadi pemimpin perkumpulan keluarga korban penculikan. Desakan kepada pemerintah agar bertindak muncul dan membesar.
Kesempatan datang ketika pemimpin besar Korea Utara kala itu, Kim Jong-il, meminta bantuan pangan dan investasi kepada Jepang. Jepang bersedia membantu asalkan Korea Utara bicara jujur tentang penculikan yang mereka lakukan.
Setengah jam sebelum Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi bertemu Kim Jong-il pada 17 September 2002 di Pyongyang, Korea Utara mengeluarkan daftar nama warga yang mereka culik. Jumlahnya, kata mereka, ada 13 orang. Ada empat lagi yang sebenarnya juga ikut diculik, tapi mereka tidak pernah dibawa ke Korea Utara.
Dari 13 orang itu, lima di antaranya dipulangkan ke Jepang, sedang delapan lainnya dinyatakan meninggal dunia.
Salah satu yang dinyatakan meninggal itu tidak lain adalah Megumi, klaim yang sampai sekarang tidak dipercaya oleh keluarga dan teman-temannya. Megumi disebut meninggal karena gantung diri pada 13 April 1994 di halaman rumah sakit jiwa Pyongyang, tempat dia dirawat karena depresi. Megumi juga disebut sempat menikah dengan korban penculikan lain asal Korea Selatan.
Dalam pertemuan untuk membahas tentang korban-korban penculikan Korea Utara di Washington D. C. Amerika Serikat pada 2006, Sakie mengenang informasi pahit yang ia dapat tentang putrinya.
“Dari pengakuan agen Korea Utara yang mendapat suaka, dia mengklaim bahwa pada saat Megumi diculik, dia ditahan di kamar kecil yang gelap di bagian bawah kapal khusus intelijen. Di sana dia mencakar-cakar dinding dengan jarinya sembari menangis putus asa, ‘Ibu, ibu, tolong aku! Ibu, selamatkan aku!’ dan itu cerita bagaimana dia dibawa melewati lautan yang gelap.”
Sementara dalam sebuah memoar tentang hilangnya Megumi berjudulNorth Korea Kidnapped My Daughter (2009), Sakie menulis betapa ia masih mengingat jelas ucapan perpisahan dari anaknya. “Megumi berteriak ‘bye!’ lalu menuju gerbang depan,” katanya. “Itu adalah saat terakhir aku melihat putriku.”
Diculik untuk Membantu Agen Pyongyang
Kaoru Hasuike dan Yukiko Okudo adalah warga Jepang lain yang diculik agen Korea Utara.
Keduanya sedang asyik berpacaran pada akhir Juli 1978 di pantai kawasan Kashiwazaki, lagi-lagi di daerah Niigata (dari 17 orang yang diculik, lima di antaranya berasal dari prefektur ini, yang garis pantainya hanya berjarak 500 mil dari Korea Utara). Saat tengah duduk di pinggir pantai, tiba-tiba empat orang mendekat dan melumpuhkan keduanya. Mereka kemudian disekap dan dikirim ke Korea Utara dengan kapal yang berbeda.
Setelah sampai Korea Utara, dua hari kemudian, Kaoru diberi tahu bahwa kekasihnya ditinggalkan di Jepang. Namun sebenarnya Yukiko juga dibawa. Fakta ini baru ia ketahui setelah sekitar 18 bulan ditahan atau tepatnya di pada 1980.
Saat berada di Pyongyang, Kaoru mencoba berdebat dengan penculiknya. “Ini pelanggaran HAM dan hukum internasional,” katanya, dikutip dari Newyorker. “Kalian harus memulangkan aku sekarang.” Hasuike kemudian beralasan bahwa orang tuanya sedang sakit dan kondisinya semakin parah jika dia tidak berada di samping mereka. Namun segala macam teriakan tidak berguna.
“Jika kau mau mati, ini adalah cara yang tepat untuk merealisasikannya,” balas sang penculik.
Kaoru dan Yukiko--yang menikah pada 1980--ternyata diculik untuk dipekerjakan sebagai penerjemah. Setiap Senin, mereka menerima setumpuk majalah dan koran dari Jepang yang sudah disensor untuk diubah menjadi bahasa Korea.
Namun secara umum orang-orang diculik untuk melatih agen-agen Pyongyang. Mereka dipaksa mengajar bahasa dan kebudayaan sendiri di sekolah elite untuk spionase.
Sebenarnya menculik warga negara lain sudah biasa dilakukan Korea Utara sejak masa Perang Korea (1950-1953). Diperkirakan ada 84 ribu warga Korea Selatan diculik selama periode tersebut. Ketika kepemimpinan berganti ke Kim Jong-il, tindakan ini diperluas dengan menculik orang-orang dari berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, dan tentu saja Jepang.
Warga Jepang termasuk yang paling penting diculik karena bagi Korea Utara mereka bukan hanya bisa dijadikan guru, tetapi juga jadi sasaran pencurian identitas. Identitas mereka akan dipakai agen Korea Utara untuk menyusup. Selain itu mereka juga dapat dilatih untuk menjadi mata-mata itu sendiri.
Pengakuan ini juga datang dari agen Korea Utara yang ditangkap setelah meledakkan pesawat yang dinaiki 115 penumpang pada 1987. Pesawat meledak di tengah penerbangan menuju ke Bangkok, Thailand, dari Abu Dhabi. Dua agen mencoba bunuh diri dengan racun sianida yang disimpan dalam rokok, tapi salah satunya berhasil diselamatkan. Dia mengaku mendapat pelatihan bahasa Jepang langsung dari orang-orang Jepang yang diculik dan ditahan di Korea Utara.
Masalah Belum Tuntas
Salah satu syarat utama yang diberikan Jepang kepada Korea Utara ketika Junichiro Koizumi bertemu Kim Jong-il pada 2002 memang menghadirkan warga yang jadi korban-korban penculikan. Jepang juga mendesak permintaan maaf dari Korea Utara, tepatnya langsung dari sang pemimpin besar.
Jong-il sempat meminta rehat sebentar sebelum membahas masalah krusial ini. Dia kemudian mengakui bahwa penculikan ini adalah “insiden mengerikan” yang memang terjadi karena “patriotisme membabi buta dan kepahlawanan yang salah arah.” Jong-il juga mengatakan mereka yang bertanggung jawab sudah dihukum. Misalnya saja penculik Megumi yang sudah dinyatakan bersalah pada 1998. Satu orang dihukum mati, sedangkan satunya lagi dihukum 15 tahun penjara.
Ia kemudian menyampaikan permintaan maaf pada pertemuan yang berujung pada Deklarasi Pyongyang Jepang dengan Korea. “Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk meminta maaf secara langsung tentang kejadian yang menimpa korban-korban penculikan tersebut. Saya tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.”
Sebulan setelah pertemuan, tepatnya Oktober 2002, lima orang yang diculik, termasuk Kaoru dan Yukiko, berhasil pulang ke Jepang.
Kendati demikian, masalah belum sepenuhnya selesai. Jepang memperkirakan sebenarnya ada ratusan orang yang diculik oleh Korea Utara dari setidaknya 12 negara. Tidak semuanya diakui atau bahkan dikembalikan ke negara asal.
Tahun 2014, Korea Utara setuju membuka kembali penyelidikan terhadap delapan korban penculikan Jepang yang belum kembali--yang sebelumnya dinyatakan telah meninggal. Namun dua tahun kemudian dibatalkan karena Jepang dan Korea Utara kembali berselisih karena perkara uji coba nuklir.
Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe termasuk salah satu yang konsisten mengingatkan dunia internasional bahwa ada kejahatan Korea Utara yang belum selesai diusut. Ia hampir selalu menggunakan pin berbentuk pita biru di jasnya untuk mengingat warga Jepang yang hilang karena ulah Korea Utara. Pin tersebut juga ia kenakan dalam pidato terakhir beberapa hari lalu sebelum ditembak.
Editor: Rio Apinino