tirto.id - Fusako Sano, anak yang tak menonjol dan berasal dari keluarga biasa-biasa saja, hilang pada 13 November 1990. Orang tuanya melapor ke polisi malam hari itu juga. Polisi, yang lekas melakukan pencarian, tak berhasil menemukan jejak apa pun. Sano, yang saat itu baru berusia 9, lenyap dari muka bumi hingga hampir 10 tahun.
Beginilah kronologi ia menghilang, atau lebih tepatnya, diculik:
Pada hari sial itu orang-orang terakhir melihatnya menonton pertandingan bisbol di lapangan sekolah. Usai laga, Sano langsung pulang dengan berjalan kaki. Jalan yang ia lewati sepi dan gelap. Di sanalah pelaku yang menaiki mobil berada. Pelaku mendekat dan, dengan pisau sebagai alat mengancam, memaksa Sano masuk ke mobil. Tangan Sano diikat dan matanya ditutup.
Di kemudian hari pelaku mengatakan motifnya menculik adalah karena menganggap Sano “lucu dan kesepian.”
Sano dibawa dari kawasan rumahnya di daerah Sanjo, Prefektur Niigata, ke Kashiwazaki yang terletak di prefektur yang sama. Jaraknya kurang lebih 45 kilometer. Sejak itu kehidupan Sano tak pernah lagi sama.
Sepanjang pencarian, tak ada bukti bahwa Sano telah meninggal. Masalahnya, tak pula ada kontak dari pelaku ke keluarga--lazim dilakukan penculik yang mengharapkan imbalan. Saat itulah muncul dugaan bahwa Sano tidak dibawa kabur orang biasa, tapi oleh agen-agen Korea Utara.
Selama periode 1970-an sampai 1980-an memang terjadi serangkaian penculikan warga Jepang oleh Korea Utara--yang telah mereka akui pada September 2002 lalu. Konteksnya tentu saja politik. Jepang dekat dengan Amerika Serikat, negara yang dimusuhi Korea Utara sejak lama. Namun juga tidak ada bukti kuat bahwa Sano memang diculik Pyongyang.
Penculikan Sano kemudian dikenal sebagai “insiden penyekapan gadis Niigata”.
Sano baru berhasil diselamatkan setelah disekap selama 9 tahun 2 bulan atau tepatnya pada 28 Januari 2000. Pelakunya adalah seorang pengangguran bernama Nobuyuki Sato. Ketika menculik, dia berumur 28.
Fisik dan Mental "Dirantai"
Nobuyuki Sato kerap diidentifikasi sebagai orang yang mengalami hikikomori, sebuah fenomena yang mulai merebak di Jepang pada 1990-an. Istilah ini diperkenalkan oleh psikolog asal Jepang, Tamaki Saito, pada 1998--namun ia telah mengamati fenomena ini sejak 1980-an.
Mengutip artikel di The Conversation, hikikomori adalah perilaku menarik diri dari masyarakat secara ekstrem dan terus menerus, bahkan bisa berlangsung selama beberapa dekade. Tak hanya mengisolasi diri secara fisik, mereka juga menunjukkan keterasingan secara psikologis.
Saito mengatakan daripada masalah kejiwaan, hikikomori lebih tepat dianggap sebagai fenomena kesehatan mental terkait hubungan sosial.
Di Jepang sendiri ia terkait erat dengan krisis ekonomi yang menghasilkan “generasi zaman es.” Para lulusan perguruan tinggi sulit mendapatkan pekerjaan tetap bahkan ketika mereka telah menginjak umur 30 sampai 40-an. Kebanyakan dari mereka akhirnya memutuskan untuk mengisolasi diri karena tidak tahan akan rasa malu atas ketidakberdayaan untuk mandiri.
Namun Sato tidak menjadi hikikomori bukan karena kesulitan mencari kerja, melainkan memang anti-sosial.
Sato juga punya kecenderungan obsessive compulsive disorder (OCD) dan terobsesi dengan kebersihan. Satu kali ia pernah bekerja di sebuah perusahaan otomotif dan jaring laba-laba menempel di badannya. Dia langsung pulang ke rumah dan memutuskan tidak lagi bekerja.
Sato dan ayahnya punya hubungan kurang baik. Dia mengusir ayahnya dari rumah--yang tak lama kemudian meninggal.
Ia sepenuhnya bergantung hidup pada sang ibu yang bekerja di perusahaan asuransi. Mereka tinggal di rumah dua tingkat dan Sato mengisolasi diri di lantai dua. Di sanalah ia membawa Sano lewat pintu belakang.
Ditempat inilah Sano tak lagi tahu arti kebebasan selama hampir satu dekade. Satu-satunya kegiatan yang bisa dia lakukan adalah menonton televisi. Sano mandi dan makan sekadarnya. Sato pula yang memotong rambutnya saat sudah panjang.
Jika Sano tidak mau mengikuti perintah apalagi mencoba melarikan diri, Sato akan langsung mengancam membunuh dan membuang mayatnya ke pegunungan. Meski pada akhirnya Sato tidak membunuh, tapi dia terus menyakiti Sano dengan memukul dan terkadang menggunakan senjata kejut.
Karena rasa takut yang tak lagi masuk akal, Sano pasrah bahwa hidupnya sekarang berada di tangan Sato. Bahkan ia tak berani berteriak dan mencoba kabur saat badannya tidak lagi diikat dan bebas bergerak di lantai dua.
Salah satu sosiolog di Jepang dari Universitas Toyo, Hiroaki Iwai, menyebut bahwa Sano bukan hanya dibatasi secara fisik, “tetapi jiwanya juga ikut dirantai.”
“Aku terlalu takut untuk melarikan diri dan tidak butuh waktu lama sampai aku kehilangan tenaga untuk kabur,” kata Sano.
Kebebasan Sano dan Ketidakbecusan Polisi
Ibu Sato mengaku tak pernah naik ke lantai dua. Karena itulah ia mengatakan tidak tahu bahwa anaknya menyekap seorang bocah. Namun ia diketahui rutin memasak untuk tiga orang dan reguler membeli pembalut. Ia tidak dituntut karena sidik jarinya tidak ada di lantai dua, juga bukti spesifik lain bahwa ia terlibat.
Terlepas dari terlibat atau tidak, ibu Sato jadi faktor penting kebebasan Sano. Sato ternyata tidak hanya melakukan kekerasan kepada Sano, tapi ibunya sendiri. Ia kerap dipukul dan disetrum. Ketakutan ini yang membuatnya tidak pernah berani masuk ke kamar anaknya.
Ibu Sato melaporkan kekerasan anaknya ke rumah sakit dan polisi. Tercatat setidaknya ada tiga laporan yang ia buat, yakni 1 Januari 1996, 12 Januari 2000, dan 19 Januari di tahun yang sama. Tidak ada yang merespons.
Pada 28 Januari 2000, petugas kesehatan akhirnya memutuskan merespons. Mereka masuk ke rumah dan naik ke lantai dua. Awalnya tentu saja hanya untuk bicara dengan Sato. Usaha ini direspons dengan kemarahan. Sato bereaksi seperti orang gila dan hanya tenang setelah disuntik obat penenang.
Setelah itu para petugas melihat sesuatu bergerak di tempat tidur yang ditutupi selimut. Dia Sano, telah berusia 19, dan bertubuh sangat kurus. Petugas dari pusat kesehatan Kashiwazaki menyelamatkan Sano dan untuk pertama kalinya dalam waktu hampir 10 tahun ia merasakan kembali kebebasan.
“Selama sembilan tahun, aku tidak selangkah pun keluar dari rumah (Sato),” kata Sano kepada polisi. “Hari ini aku berhasil keluar untuk pertama kalinya.”
Ketika itu berat badan Sano hanya 38 kg. Dia kesulitan berjalan di bawah cahaya karena selama ini matanya tak terbiasa terkena sinar matahari. Kakinya juga sangat lemas dan diduga menderita muscle atrophy dan sulit untuk berdiri.
Sato akhirnya ditangkap polisi pada 11 Februari. Mereka mengatakan menjadi pihak pertama yang berhasil menemukan pelaku dan menyelamatkan korban alias membuat klaim palsu. Saat mendapat informasi dari petugas kesehatan pada 28 Januari, kepala polisi Niigata, Koji Kobayashi, malah meneruskan keseruan di tempat pemandian air panas sambil bermain mahyong dan mabuk-mabukan bersama pejabat lain.
Posisi Kobayashi akhirnya digantikan oleh orang lain pada Maret 2000 karena banyak kritik dari masyarakat.
Inkompetensi polisi sebenarnya sudah terjadi di awal penculikan Sano. Hidup Sano--yang sekarang sudah berganti nama menjadi Sachiko Yamada--mungkin bisa berubah jika saja mereka berhasil menunaikan tugas.
Selain itu, pada 1989 mereka sebenarnya juga telah menangkap dan menahan Sato selama kurang lebih 12 bulan karena menculik gadis lain. Namun, entah mengapa, nama Sato hilang dari rekam kriminal kepolisian. Ketika polisi melakukan pencarian Sano, Sato tidak masuk ke daftar orang yang dicurigai.
Kali ini Sato tidak bisa lolos lagi. Kejahatannya merenggut 10 tahun masa hidup Sano harus dibayar mahal. Kebejatan Sato harusnya hanya diganjar 10 tahun penjara, tetapi pengadilan mencari-cari kesalahan lain seperti pencurian yang sudah lama sekali ia lakukan. Alhasil, pengadilan berhasil menjatuhkan 14 tahun penjara kepada Sato.
Sato meninggal karena sakit pada 2017. Dalam masa-masa terakhir hidupnya, dia terus sendirian.
Editor: Rio Apinino