tirto.id - Arahmaiani, seniman kelahiran 21 Mei 1961 yang baru-baru ini menerima Anugerah Budaya Kota Bandung Tahun 2021, dikenal sebagai salah satu figur perempuan utama dalam angkatan seni kontemporer Orde Baru—seangkatan dengan FX Harsono dan Dadang Christanto—yang menggunakan seni untuk aktivisme. Kini, lebih dari dua dekade setelah Reformasi, ia masih aktif dan isu sosial juga masih kental pada tiap karya-karyanya.
Maura Reilly dalam esai “Arahmaiani: Seni adalah Megafon…dan Lampu” mengatakan ciri khas Arahmaiani bahkan telah tampak sejak karya pertamanya yang dipamerkan pada 1981, saat masih berstatus mahasiswa tahun kedua jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB). Melalui karya performans yang diberi judul Accident 1, Arahmaiani mengkritik penataan urbanisasi kota kelahirannya, Bandung, dan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menyebabkan kenaikan angka kecelakaan lalu lintas hingga menyebabkan korban jiwa di sepanjang Jalan Dago. Karya ini direalisasikan dengan cara membungkus lampu jalan dengan kain berwarna merah darah, menggambar tubuh dengan kapur di jalan, dan membagikan selebaran statistik jumlah korban jiwa.
Alih-alih diapresiasi, ITB menilai Accident 1 dipamerkan tanpa izin, di luar batas kampus, sekaligus menghina fakultas karena dianggap konten subversif. Arahmaiani lantas diskors beberapa waktu dan dilarang berpartisipasi dalam pameran maupun seni performans di hadapan umum.
Dan semua itu hanya permulaan. Setelah Accident 1 hingga saat ini, Arahmaiani pernah dikecam dua kali lagi karena karya-karyanya dianggap kontroversial, bahkan kasusnya cukup serius hingga ia harus mengasingkan diri ke Australia.
Pada 1983, Arahmaiani ditangkap dan diinterogasi selama sebulan di Sumatra 37—tempat orang-orang yang ditangkap rezim dibawa dan biasanya menghilang—setelah bersama dua kawan menggambar berbagai senjata militer dengan kapur saat peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk protes atas pemerintahan otoriter Soeharto. Arahmaiani baru dilepas setelah menandatangani surat tidak sehat secara mental. Ia kemudian pergi ke Australia.
10 tahun kemudian, pada 1993, Arahmaiani kembali berurusan dengan pihak yang tak senang dengan karyanya. Kali ini dari kelompok Islam fundamentalis. Lukisan Lingga-Yoni dan instalasi Etalase dianggap menistakan agama.
Lingga-Yoni—yang kini berada di Museum Macan, Jakarta, setelah berpindah-pindah ke berbagai tempat di luar Indonesia—menggambarkan simbologi sakral hinduisme yang dikelilingi tulisan dengan huruf jawi, palawa, dan Arab.
Dalam mitologi Hindu, lingga dan yoni adalah simbol penciptaan kehidupan baru. Motif lingga-yoni secara eksplisit terlihat layaknya bentuk genitalia seks biner yang sering kali menghiasi bangunan candi Hindu dan Buddha. Motif ini juga merupakan salah satu ikonografi kebudayaan Indonesia hingga menginspirasi desain Monumen Nasional (Monas) yang dirancang oleh arsitek Friederich Silaban.
Dalam lukisan, Arahmaiani menempatkan lingga dan yoni dalam posisi terbalik, yoni (perempuan) berada di atas dan lingga (laki-laki) di bawah. Maksudnya tak lain untuk mempertanyakan dominasi maskulinitas dan budaya patriarki.
Huruf jawi yang berada di latar simbol lingga dan yoni berbunyi “alam adalah sebuah buku”, diikuti dua belas huruf pertama dari alfabet jawi. Huruf Pallawa yang tertera di bagian bawah lukisan adalah baris pertama dalam prasasti kerajaan Tarumanegara yang terletak di Jambu, Jawa Barat, yang berbunyi, “Berani, jujur dalam memenuhi tugas, pemimpin umat manusia, Yang Mulia Purnawarman”. Sementara aksara Arab yang tertera membentuk kata “akal”, mencerminkan latar belakang Arahmaiani yang memiliki ayah kiai.
Sementara Etalase berbentuk meja kayu dengan displai kaca seperti yang sering ditemukan di toko emas. Di dalamnya dipajang patung Buddha, rebana, kaca patkua, kondom, Al-Qur’an, kotak berisi tanah, kipas tangan dari plastik dan logam, botol Coca-Cola, dan foto. Karya ini dibuat untuk mempertanyakan hubungan antara komersialisasi dengan berbagai identitas yang melekat pada seseorang seperti agama, budaya, tanah air, dan seks.
Meski aksara Arab dalam Lingga-Yoni tidak ada hubungannya dengan ayat Al-Qur’an dan Etalase hadir sebagai kritik atas praktik-praktik tertentu yang pada akhirnya tidak berhubungan dengan agama, keduanya tetap saja dinilai oleh kelompok fundamentalis sebagai penistaan Islam. Pameran pun ditutup. Tak hanya itu, kelompok kanan terus saja mendesak Arahmaiani harus ditangkap, meski ia telah mencoba mengundang mereka untuk berdialog bersama pada aktivis, seniman, dan pekerja budaya lain. Arahmaiani pun kembali melarikan diri ke Australia selama beberapa tahun.
Dalam wawancara dengan penulis beberapa waktu lalu, Arahmaiani menerangkan kenapa ia tidak pernah kapok untuk terus menggunakan karyanya untuk aktivisme meski menghadapi berbagai rintangan: “Kesadaran akan sebab musabab permasalahan yang membuat saya merasa mempunyai tanggung-jawab dan kewajiban—selain hak. Saya merasa memiliki komitmen dan harus konsisten di dalam menjalankan hak dan kewajiban saya.”
Perjuangan Kesetaraan Gender
Dari sekian banyak permasalah yang pernah diangkat, isu kesetaraan gender cukup sering mendapat perhatian. Lewat karya performans Offering A-Z (1996) yang direalisasikan di Krematorium Padaeng di China Mai Thailand, misalnya, Arahmaiani mempertanyakan status perempuan di mata agama dan masyarakat.
Arahmaiani menutup badannya dengan kain putih berbercak darah dan menidurkan diri di hadapan jajaran piring sesajen dan senjata. Sesajen dan senjata adalah lambang kekerasan dan dualitas yang dihadapi perempuan: sebagai figur yang dipuja karena fertilitasnya tapi sekaligus didiskriminasi karena dianggap kotor—sebut saja tidak boleh melaksanakan ritual keagamaan saat sedang datang bulan. Ia kemudian berjalan dan berbaring ke dalam krematorium, setelah sebelumnya membakar beberapa lembar majalah porno yang telah telah ditempel di dinding layaknya ritual keagamaan.
Beberapa karya ikonik Arahmaiani mengenai isu kesetaraan gender antara lain: instalasiDo Not Prevent the Fertility of the Mind (1997) dan karya performans dan instalasi Burning Bodies, Burning Countries (1998). Pada Do Not Prevent the Fertility of the Mind, Arahmaiani menyusun deretan pembalut di sekitar potret dirinya yang sedang memegang gunting surgical dan alat kontrasepsi IUD dan sebuah gelas berisi darah di bagian depan. Sementara di Burning Bodies, Burning Countries (1998) ia menampilkan kain kebaya di atas ratusan korek api yang disusun berbentuk peta Indonesia, merefleksikan tragedi Mei 1998 dan pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa.
Lalu performans Stitching the Wound (2006) di mana ia mengajak penenun perempuan muslim dari Baan Krua Thailand untuk bersama menghasilkan tenun cerah bertulisan “I Love You”—merefleksikan islamofobia di Asia Tenggara. Selanjutnya ada instalasi Dutch Wife (2013) yang direalisasikan di Museum Van Loon milik keluarga Willem van Loon, salah satu pendiri VOC. Di sini Arahmaiani memasukkan beberapa potret dirinya di antara potret keluarga van Loon layaknya nyonya pemilik rumah, sebuah intervensi akan sebab-akibat kolonialisme.
Meski kerap mengangkat isu kesetaraan gender, Arahmaiani menolak diberi label “feminis”. Dalam wawancara dengan penulis, ia mengatakan, “Saya merasa enggak perlu mendapat label feminis karena referensi saya dalam konsep maupun ide merujuk ke falsafah kuno warisan leluhur, yang pendekatan cara pikirnya berbeda dengan pendekatan cara pikir modern.”
“Pendekatan kuno budaya leluhur saya menekankan soal keseimbangan kekuatan feminin dan maskulin—seperti dilambangkan dengan simbol lingga-yoni seperti di dalam karya saya yang dibuat pada 1993. Sedangkan pendekatan modern bersifat oposisi biner seperti memilih antara baik-buruk atau salah-benar. Jadi bersifat hitam-putih. Sedangkan falsafah lingga-yoni, sekalipun berbicara tentang dua kekuatan berlawanan, tetapi dilihat dalam keterhubungan. Cara memahaminya tidak hitam-putih dan disederhanakan, tetapi harus dipahami secara mendalam. Dan tidak terjebak hanya sebatas tataran realitas fisik saja.”
Pernyataan ini memperkuat esai Maura Reilly yang menjabarkan bagaimana label feminis digunakan secara peyoratif di Indonesia untuk menghambat seni kritis dari perempuan, dan juga sebuah bentuk pembajakan budaya oleh wacana Barat. Arahmaiani sendiri memandang doktrin-doktrin feminisme populer cenderung tidak mengakomodasi ketidaksetaraan yang merupakan produk kolonialisme dan modernisme.
Berbagai Karya Politis Lain
Pandangan Arahmaiani atas ketidakadilan yang dipertajam oleh Barat ini juga ia salurkan melalui karya-karya lain, seperti: instalasi 11 June 2002 (2003). Dalam karya yang ditampilkan di Venice Biennale tersebut Arahmaiani mereka ulang kamar hotel tempat ia ditahan imigrasi dan harus bermalam di bawah pengawasan seorang petugas pria dalam satu kamar. Itu terjadi karena dia tidak memegang visa transit ke sebuah residensi seni di Kanada, juga yang paling penting karena kuatnya islamofobia yang muncul pasca-9/11.
Lalu ada karya performans Lapen Wedding (2004) yang mementaskan sebuah pernikahan, ditampilkan di Kedai Kebun Forum Yogyakarta. Ia berperan sebagai mempelai perempuan yang mengenakan gaun berlambang 26 partai politik yang berpartisipasi dalam Pemilu 2004 sambil membawa senjata. Sang mempelai pria memakai setelan dari bahan yang sama dengan gaun Arahmaiani sambil membawa bendera AS. Dalam “pernikahan” mereka, para tamu disuguhkan lapen, minuman beralkohol khas Yogyakarta dengan kadar alkohol sampai 80% yang dapat dengan mudah dan murah didapatkan. Lewat karya ini Arahmaiani hendak mengatakan bahwa pemilu adalah ajang mabuk kekuasaan para politikus. Demi mendapat kursi mereka bahkan rela terjerat utang, sebagaimana banyak yang meminjam uang banyak hanya untuk menggelar pesta pernikahan.
Arahmaiani juga menggunakan lensa problematik politik Barat untuk melihat hubungan manusia dengan lingkungan. Salah satunya instalasi Nation For Sale (1996) yang menampilkan 35 kotak putih berisi mesin mainan, foto perempuan dalam majalah mode, guci, tanah, dan air yang ditaruh di bawah sebuah lampu neon bertuliskan “For Sale”. Di sebelahnya sebuah monitor menayangkan pemukiman kumuh di Jakarta dan Bangkok. Nation for Sale secara gamblang membahas pembangunan di Indonesia yang didukung oleh investasi modal besar, sering kali asing, yang justru mengakibatkan eksploitasi besar-besaran.
Arahmaiani melengkapi instalasi tersebut dengan karya performans berjudul Handle Without Care (1996). Ia mengenakan kostum penari Bali sambil membawa senjata mainan dan lightsaber, pedang dari film Star Wars. Lewat ini ia mengangkat masalah komersialisasi budaya Bali yang dicampur dengan budaya populer.
Pada 2013 lalu, Arahmaiani menampilkan karya instalasi dan performans Memory of Nature yang merupakan hasil kolaborasi dengan para biksu Tibet. Karya ini merekonstruksi kondisi ekologis agrikultur dan juga perubahan yang terjadi pada lahan di sekitar mereka.
Instalasi Memory of Nature adalah sebuah mandala besar yang terbuat dari tanah dan bagian-bagian tanaman yang diletakkan di lantai. Di atas mandala ini Arahmaiani mengibarkan bendera hijau dengan lambang bunga teratai berwarna emas, sebuah referensi ke karya performans kolaboratif dengan komunitas yang ia mulai sejak 2006 bernama Flags/Bendera. Dalam Flags/Bendera, ia mengajak komunitas lokal untuk mengibarkan berbagai bendera dengan kata-kata seperti “akal” dan “I Love You” dalam berbagai aksara dan bahasa yang didesain mirip dengan logo merek ternama di tempat-tempat publik termasuk di Candi Borobudur.
Performans Memory of Nature ditutup dengan Arahmaiani menyapu mandala menggunakan garu seperti yang umumnya dilakukan oleh para biksu Tibet. Bagi Arahmaiani, presentasi instalasi dan performans Memory of Nature yang pertama kali diadakan di Art Stage Singapore, ruang jual beli seni, sangatlah penting karena menunjukkan bahwa dalam ruang komersial seperti itu pun masih ada tempat untuk berkontemplasi masalah lingkungan hidup dan spiritualitas.
Tak Lelah Mengangkat Isu Lingkungan
Kontemplasi Arahmaiani akan lingkungan hidup, terutama dengan bantuan komunitas dan bahkan penonton langsung, masih ia lakukan hingga saat ini. Salah satu karya performans terbarunya adalah Furious Mother Earth (Amarah Ibu Bumi), dipamerkan di ICAD XI di Grandkemang Hotel Jakarta, 6 November 2021. Dalam karya ini Arahmaiani menorehkan kata “alam/nature” dan sebuah lambang hati di atas panel putih besar dengan tanah. Ia kemudian mengambil gumpalan tanah dan melemparkannya ke arah tulisan, sebelum kemudian mengajak penonton untuk turut serta melempar lebih banyak gumpalan tanah ke panel tersebut.
Pesan karya ini—kontemplasi atas intensitas intervensi manusia kepada alam—dapat dengan mudah ditangkap oleh penonton. Manusia menggunakan materi dari alam sendiri (tanah) untuk berbalik dan mengubah alam secara radikal dalam waktu cepat. Hasilnya mengubah bentuk alam sedemikian rupa hingga tak bisa dikenali lagi.
Partisipasi langsung seperti ini meningkatkan intensitas dampak karya seni dalam diri penonton, mendorong mereka berkontemplasi langsung mengenai dampak atas tindakan dan pilihan hidup terhadap alam yang biasanya luput dari perhatian.
Dalam wawancara dengan penulis, Arahmaiani menguraikan mengapa masalah lingkungan hidup konsisten menjadi bagian dari karyanya “Ini masalah kehidupan yang sangat serius, mengancam kehancuran kehidupan itu sendiri. Semua makhluk terancam kepunahan!”
“Saya menyadari hal ini sejak masih berusia muda, mungkin karena sejak kecil hidup di dekat alam terbuka dan kerap melakukan kegiatan di sana. Semenjak era pembangunan mulai menampakkan bentuknya, saya secara naluriah dan nyata merasakan perubahan dan pengaruhnya terhadap alam. Juga tentunya bahaya yang mengancam. Ketika menyadari bahwa kehidupan wajarnya terus berlanjut dengan lahirnya generasi baru (seperti anak cucu) maka dengan sendirinya saya merasa berkewajiban untuk melindungi mereka. Selain melindungi ‘Ibu Bumi’ yang menjadi sumber dan pelindung kehidupan, saya juga memahami bumi ini sebagai rumah kita bersama. Alangkah bodohnya kita jika demi ego dan keserakahan lalu merusak rumah kita sendiri!”
Maura Reilly menulis Arahmaiani terinspirasi oleh praktik patung sosial Joseph Beuys yang menegaskan bahwa setiap manusia dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat melalui berbagai aktivitas kreatif. Karena itu jugalah, bagi Arahmaiani, bentuk estetika tradisional suatu karya yang mendikte bentuk yang “cantik” bukanlah suatu prioritas.
Apa yang dikerjakan Arahmaiani menginspirasi banyak seniman lain. Sebut saja Ika Vantiani dengan karya instalasi dan pakaian Perempuan dalam Kamus Bahasa Indonesia (2018) yang menilik sempitnya cakupan identitas seorang perempuan menurut KBBI sebatas seks semata. Lalu Alfiah Rahdini melalui berbagai patung yang mengeksplorasi ide-ide spiritualitas, moral, dan agama seperti dalam Sri Naura Paramita (2021)—ditampilkan dalam Jakarta Biennale 2021 di Museum Nasional. Patung ini menghadirkan potret Alfiah mengenakan hijab yang sedang bermeditasi di atas bagian dasar stupa dalam pose padmasana dan tangan membentuk mudra.
Ada pula Pinkygurl yang melalui karya performans dan kostum menghadirkan Bali kontemporer dan hidup berdampingan dengan budaya Barat dan komersialisasi seperti dalam karya Mecha Barong (2019) atau Maharanca (2021), yang menghadirkan figur Dewi Sri kontemporer, terlihat androgini, dan mengenakan kostum yang di dalamnya terinkorporasi jenama ternama dalam estetika budaya rave.
Arahmaiani memang tidak hanya masih terus berkarya, tapi juga sudah menginspirasi generasi baru seniman kontemporer yang tak ragu menyuarakan pandangan mereka atas berbagai isu sosial.
Editor: Rio Apinino