tirto.id - Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar meminta kepada masyarakat terutama para buruh untuk tidak menggugat Kementerian Ketenagakerjaan terkait Permenaker nomor 2 tahun 2022 tentang pencairan Jaminan Hari Tua (JHT).
Dalam kebijakan Permenaker itu para buruh yang di-PHK baru bisa mencairkan JHT yang ada di BPJS Ketenagakerjaan di usia 56 tahun.
Timboel menjelaskan bahwa Permenaker yang baru itu sudah sesuai dengan Pasal 35 dan 37 Undang- Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) juncto PP nomor 46 tahun 2015.
"Oleh karenanya jika terdapat pihak yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut, sebaiknya menggugat UU SJSN terlebih dahulu," kata dia dalam rilis yang diterima Tirto pada Sabtu (12/2/2022).
Selain terkait UU SJSN, Timboel juga berpendapat bahwa Permenaker yang baru ini sudah disetujui oleh serikat pekerja dan serikat buruh.
"Secara sosiologis banyak pemimpin serikat pekerja dan serikat buruh yang setuju mengembalikan pencairan JHT sesuai dengan UU SJSN," terangnya.
Dirinya mengungkapkan dengan adanya Permenaker yang baru ini bisa menjadi penyelamat para buruh saat di hari tua nanti.
"Secara filosofis, Permenaker nomor 2 tahun 2022 ini memberikan kepastian kepada pekerja yang memasuki usia pensiun untuk tidak jatuh ke jurang kemiskinan di hari tua," jelasnya.
Timboel juga berpesan kepada buruh untuk tidak takut uang mereka akan hilang karena ada UU BPJS yang dijamin oleh APBN.
"Secara ekonomi uang buruh di JHT diinvestasikan dengan imbal lebih tinggi dari deposito biasa, serta tidak perlu khawatir uang hilang karena dalam UU BPJS uang buruh dijamin aman," terangnya.
Secara terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak agar Permenaker nomor 2 tahun 2022 ini dicabut. Karena dirinya menganggap bahwa aturan ini adalah bentuk penindasan buruh yang mengalami PHK.
"Dalam aturan baru buruh yang ter-PHK harus menunggu puluhan tahun untuk mencairkan JHT. Padahal selama masa tunggu itu buruh sudah tidak memiliki pendapatan," ungkapnya.
Iqbal juga menyebut bahwa aturan ini adalah imbas dari Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Semua masalah ini berpangkal dari sikap pemerintah yang melawan putusan MK," terangnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Restu Diantina Putri