Menuju konten utama

Sejumlah Masalah dalam Proses Rekrutmen Petugas KPPS Pemilu 2024

Pencatutan NIK oleh partai politik dan penumpukan antrean pemeriksaan kesehatan mewarnai rekrutmen petugas KPPS Pemilu 2024.

Sejumlah Masalah dalam Proses Rekrutmen Petugas KPPS Pemilu 2024
Calon petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menjalani pemeriksaan kesehatan di UPT Puskesmas Puter, Bandung, Jawa Barat, Senin (18/12/2023). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.

tirto.id - Pendaftaran Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2024 telah dibuka sejak sejak 11 hingga 20 Desember 2023.

Petugas KPPS yang dibutuhkan akan tersebar di 820.161 Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan setiap TPS terdiri dari tujuh anggota KPPS. Artinya jumlah petugas yang dibutuhkan mencapai 5.741.127 orang.

Belum lagi ditambah sejumlah TPS di luar negeri yang merupakan perwakilan di 128 negara atau wilayah yang membutuhkan sekitar 12.765 orang petugas KPPS.

KPPS dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk melakukan pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Selain itu, KPPS juga bertugas dalam mempersiapkan kelancaran pemungutan suara.

Tugas ini diatur melalui Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhoc Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota.

Para calon petugas KPPS harus memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya sehat jasmani dan rohani, serta bebas dari penyalahgunaan narkotika.

Selain itu, mereka juga tak menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dengan surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam waktu lima tahun.

Namun, dalam praktiknya proses rekrutmen ini tak berjalan mulus. Nama dan nomor induk kependudukan (NIK) sejumlah pendaftar diduga dimanfaatkan partai politik.

Di Bali, misalnya, ditemukan calon anggota KPPS yang harus gugur lantaran nama dan NIK mereka dicatut oleh partai politik, sehingga terdaftar di sistem informasi partai politik (Sipol). Padahal, mereka mengaku tak merasa mendaftar di partai tersebut.

Kasus lain, ditemukan penumpukan permintaan tes kesehatan di salah satu puskemas di Palembang yang disinyalir bermasalah. Padahal batas akhir pendaftaran hanya tersisa dua hari.

Fenomena perekrutan bermasalah ini menuai kritik dari peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana. Ia mengatakan, temuan pendaftar KPPS dicatut partai politik sejatinya refleksi awal lembaganya bersama masyarakat sipil.

Perludem bersama koalisi masyarakat sipil mengadvokasi potensi terjadinya pencatutan nama orang di sistem informasi partai politik Sipol KPU.

"Yang bersangkutan (pendaftar) tidak mengetahui, [maka] semakin terkonfirmasi [bahwa terjadi pencatutan oleh parpol]," kata Ihsan saat dihubungi Tirto, Senin (18/12/2023).

Ihsan menegaskan, pencatutan nama orang (calon anggota KPPS) oleh partai politik di dalam Sipol merupakan bentuk pelanggaran yang tidak boleh dibiarkan.

Menurutnya, kondisi ini mirip dengan pencatutan orang di dalam Sipol saat tahapan pendaftaran partai politik menjadi peserta pemilu 2024.

Ia mendesak Bawaslu untuk mengambil sikap dan memerintahkan kepada KPU untuk menghapuskan nama-nama yang bukan anggota partai, namun dicatut di dalam Sipol.

Perludem juga mengkritik permintaan tes kesehatan yang menumpuk. Ia mengatakan, seharusnya proses pendaftaran khususnya di masing-masing tahapan, dibuka dengan waktu yang cukup dan diatur secara bertahap agar tidak terjadi penumpukan permintaan tes kesehatan di faskes.

Selain itu, faskes yang dibuka untuk memfasilitasi pendaftaran KPPS juga harusnya diperbanyak dan diperluas, sehingga tidak terjadi penumpukan.

Perludem berharap kejadian pada Pemilu 2019 yang menyebabkan banyaknya anggota KPPS yang meninggal, tidak terulang kembali dengan beberapa cara.

Pertama, KPU perlu merekrut KPPS muda. Hal ini sesuai dengan banyaknya jumlah pemilih muda di Pemilu 2024.

“Pemilih muda jauh lebih kuat secara fisik dan minim komorbid yang menyebabkan banyaknya petugas KPPS di Pemilu 2019 berujung tumbang,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, penggunaan teknologi informasi yang mempermudah tahapan proses hitung dan rekap di TPS hingga kecamatan juga perlu diterapkan untuk memangkas waktu proses penghitungan.

"[Dengan itu] Petugas tidak kelelahan dalam menjalankan tugasnya," tutup Ihsan.

Kritik senada dilayangkan Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus. Ia meminta KPU, baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten, agar sungguh-sungguh melaksanakan tahapan pemilu, termasuk rekrutmen orang-orang yang akan menjadi petugas KPPS.

Artinya, tegas dia, tahapan yang sudah dibuat bisa dijalankan KPU secara konsisten terhadap jadwal yang telah ditetapkan.

"Jangan sampai hal-hal yang menimbulkan dinamika berakibat tertundanya waktu yang telah ditetapkan itu," kata Guspardi saat dihubungi Tirto.

Guspardi mengingatkan KPU untuk bekerja secara profesional. Di antaranya mampu menjelaskan secara terang benderang syarat-syarat kepada publik untuk menjadi anggota KPPS.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan seharusnya sejak awal KPU mengantisipasi hal tersebut. Karena pemilu diselenggarakan lima tahun sekali, ujarnya, maka tak ada alasan bagi KPU bekerja terburu-buru yang berujung tidak profesional.

Standar Pemeriksaan Kesehatan Harus Tinggi

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, lembaganya telah mengirimkan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Rekomendasi yang dilayangkan kepada tiga lembaga itu agar dilakukan pemeriksaan kesehatan dengan standar pemeriksaan yang baik kepada semua calon petugas pemilu.

"Bukan hanya KPPS (jajaran KPU di tingkat TPS). Namun, juga Pengawas TPS (jajaran Bawaslu di tiap TPS)," kata Pramono saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Hasil kajian Komnas HAM, Kemenkes, Ombudsman RI, dan Universitas Gadjah Mada, ungkapnya, ditemukan bahwa risiko bagi petugas pemilu semakin meningkat pada petugas yang memiliki komorbid. Terutama mereka yang mengidap penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan stroke.

Oleh karena itu, jelas dia, langkah antisipasi paling penting pada tahapan ini adalah pemeriksaan lebih ketat bagi semua calon petugas pemilu, apalagi yang telah berusia di atas 50 tahun.

Menurut Pramono, hal itu penting agar bisa mencegah atau sekurang-kurangnya meminimalkan korban akibat kelalaian dalam proses pemeriksaan kesehatan yang dilakukan seadanya, atau hanya dilakukan secara formalitas.

"Jangan sampai tragedi kematian petugas pemilu pada Pemilu 2019 terulang kembali," ucapnya.

Perihal panjangnya antrean pemeriksaan kesehatan oleh calon anggota KPPS, menurut Pramono, sebenarnya bisa dihindari jika direncanakan dengan baik. Misalnya, lanjut dia, dalam satu puskesmas dibuat jadwal, hari apa untuk calon petugas pemilu dan dari desa apa saja.

"Saya lihat di beberapa kabupaten/kota, dinkes sudah mengatur jadwal seperti itu," tuturnya.

Menanggapi penumpukan pemeriksaan kesehatan itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sudah ada aturan dari Bawaslu dan bisa bekerja sama dengan rumah sakit di daerah masing-masing.

Ihwal kejadian Pemilu 2019 yang memakan banyak korban anggota KPPS yang meninggal, Siti hanya mengatakan telah ada standar pemeriksaan kesehatan.

"Sudah ada standar kesehatan terkait hal ini," tuturnya kepada Tirto.

Respons KPU

Komisioner KPU, Idham Holik, kukuh menyatakan mereka yang mendaftar sebagai calon KPPS dan terindentifikasi sebagai anggota partai, tak memenuhi ketentuan Pasal 72 huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu."Maka yang bersangkutan tak memenuhi ketentuan," kata Idham saat dikonfirmasi Tirto, Senin malam (18/12/2023).

Syarat menjadi anggota KPPS dalam poin “e” aturan itu menyebutkan, tidak menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dengan surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam waktu 5 (lima) tahun.

Kemudian, tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan.

Lebih lanjut, Idham mengutip Pasal 140 Ayat (1) dan (4) Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 yang mengatur tentang bila terdapat keraguan terhadap keabsahan dokumen persyaratan partai politik, masyarakat dapat menyampaikan laporan tertulis kepada KPU.

Baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai dengan sebelum penetapan partai politik peserta pemilu dengan menggunakan formulir model tanggapan masyarakat partai politik.

"KPU, KPU provinsi, dan/atau kabupaten/kota dapat melakukan klarifikasi atas laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) kepada instansi yang berwenang," jelas Idham.

KPU, kata Idham, telah membuka tanggapan sejak masa pendaftaran partai politik calon peserta pemilu pada awal Agustus 2022 sampai menjelang rekapitulasi hasil verifikasi faktual persyaratan parpol calon peserta pemilu hingga awal Desember 2022 lalu.

Idham mengatakan, masyarakat saat itu dapat menyampaikan keberatannya atas penggunaan data pribadinya untuk kepentingan penerbitan kartu tanda anggota partai politik yang tidak diinginkan.

"Pada waktu itu, KPU telah melakukan diseminasi informasi regulasi tersebut kepada pemilih," ujarnya.

Idham menduga pendaftar yang gugur menjadi anggota KPPS sengaja membiarkan status keanggotaan partai politiknya.

"Perlu juga didalami apakah yang bersangkutan benar-benar tidak tahu atau sebaliknya sengaja melakukan pembiaran atas status keanggotaan partai politik tersebut," tutup Idham.

Baca juga artikel terkait PETUGAS KPPS 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Polhukam
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi