tirto.id - Pada 5 Juni 2017, tepat pukul 05.50, ketenangan Jazirah Arab terusik. Stasiun televisi milik Pemerintah Qatar, Qatar News Agency, diretas kemudian menampilkan running text (news ticker) hoaks berbunyi "Qatar memiliki hubungan persahabatan dengan Iran dan Israel serta mendukung kelompok-kelompok teroris."
Efeknya berantai bagi Qatar. Bahrain memutus hubungan diplomatik. Sepuluh menit kemudian, via siaran Saudi Press Agency, Arab Saudi melakukan langkah serupa. Sepuluh menit selanjutnya Uni Emirat Arab, Mesir, Yordania, serta Yaman mengumumkan hal sama.
Bagi Arab Saudi dan sekutunya, running text hoaks itu adalah bukti nyata tuduhan mereka selama ini.
Qatar memiliki ideologi dan struktur kekuasaan yang serupa dengan Arab Saudi, Suni-monarki; serta memiliki musuh yang sama, Iran (Syiah). Namun, meski memiliki identitas serupa, Qatar lebih lugas dalam berhubungan dengan musuhnya itu, terutama Iran, yakni tak segan bekerja sama dalam rangka mengeksploitasi ladang minyak di Teluk Persia.
Kelugasan ini, kata Arab Saudi, menuntun Qatar untuk menjalin hubungan erat pula dengan Israel. Juga Ikhwanul Muslimin, kelompok radikal pengayom Hamas di Palestina dan Al Qaeda yang, ironisnya, juga dibenci Israel.
Arab Saudi menuding Qatar tengah berupaya menyebarluaskan kelugasan mereka berhubungan dengan musuh-musuh dunia Arab melalui Al Jazeera, sang CNN atau BBC ala Jazirah Arab milik pemerintah Qatar.
Kala pagi berganti siang, pemutusan hubungan diplomatik bertransformasi menjadi tindakan nyata. Negara-negara yang memutus hubungan diplomatik itu menutup segala ruang teritorial mereka untuk dipakai Qatar.
Qatar seketika terkurung di hari peringatan 50 tahun serangan Israel ke Mesir dalam Perang Enam Hari.
Melalui kawat diplomatik khasnya, Twitter, Presiden Amerika Serikat Donald Trump melegitimasi blokade negara-negara itu dengan menyebutnya sebagai "awal dari akhir kengerian terorisme."
Qatar tak terima dengan segala reaksi kepada mereka karena jelas bahwa itu semua bersumber dari hoaks. Mereka coba menyelesaikan masalah dengan memberikan pernyataan resmi lewat Menteri Luar Negeri Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani. Ia mengatakan: "Pemerintah Qatar percaya bahwa dunia seharusnya tak diatur oleh ultimatum [...] Melalui hukum internasional, pembulian negara-negara besar terhadap negara-negara kecil seharusnya tak pernah terjadi."
Qatar juga melawan blokade secara agresif, yaitu dengan mengizinkan Turki--via selimut bernama latihan militer--menerjunkan pasukan di negerinya. Hal ini membuat, tutur Kristian Coates Ulrichsen dalam buku Qatar and the Gulf Crisis (2020), "blokade Qatar berkembang menjadi perpecahan paling serius di Jazirah Arab sejak invasi Irak ke Kuwait pada Agustus 1990."
Blokade baru berakhir setahun kemudian. Ulrichsen menyebut hal ini disebabkan karena "blokade Qatar itu tak dijalankan dengan baik dan--terutama--pengaruh Qatar telah mengakar di setiap sudut Jazirah Arab, semisal dapat dilihat secara gamblang melalui sebaran klip-klip ilegal pertandingan olahraga milik beIN Sport, kanal olahraga milik pemerintah Qatar, di tengah masyarakat Arab Saudi."
Alasan pencabutan blokade juga karena Qatar telah bergerilya menyelamatkan diri dengan, misalnya, mengucurkan investasi untuk Yordania. Pun melancarkan kampanye bahwa mereka punya banyak teman via kunjungan ke banyak negara seperti Jerman, Prancis, dan pelbagai negara Asia Tenggara.
Tak ketinggalan, berakhirnya blokade dikondisikan pula oleh perubahan sikap AS. Pada Januari 2018, AS mengucapkan terima kasih kepada Emir Qatar karena telah menunjukkan sikap/aksi melawan terorisme--via, tentu saja, twit Presiden Trump.
Singkatnya, ketidakberhasilan blokade itu--yang hanya mencoreng muka Arab Saudi dan sekutunya--terjadi karena usaha yang tak kenal putus dari Qatar membentengi diri agar tidak terseret kekuatan negara-negara besar di Jazirah Arab, terutama Arab Saudi. Bukan sejak genderang blokade itu ditabuh, melainkan sejak berdiri hampir 1,5 abad lalu.
Piala Dunia, yang sebentar lagi akan dimulai, juga merupakan strategi Qatar membentengi diri.
Diperebutkan
Sebelum Barat menampakkan kekuatannya, serupa dengan penguasa-penguasa Asia Tenggara percaya, "syekh-syekh Jazirah Arab melihat perbatasan sebagai konsep cair," cetus Ulrichsen.
Ini terjadi karena "kerajaan-kerajaan di dunia Arab lebih memilih berkuasa/berdaulat terhadap individu atau kelompok, bukan ruang atau kewilayahan." Tak peduli siapa dan di mana subjek berasal atau berada, selama ikrar loyalitas diucap, raja berkuasa atas mereka. Begitu pun sebaliknya--meskipun tinggal "di atap yang sama."
Konsep kedaulatan yang unik nan aneh--dilihat dari kacamata Barat--ini diimplementasikan dengan apik oleh Qatar.
Pada pertengahan abad ke-18, Qatar dikunjungi tak kurang dari 30 keluarga suku terkemuka Jazirah Arab yang dipimpin Al Sabah dan Al Khalifa. Mereka datang karena tempat asal, Bahrain, dilanda kekeringan berkepanjangan. Ketika itu Qatar dikuasai keluarga Al Thani sejak 1740-an. Puluhan keluarga tersebut menetap di wilayah utara atau semenanjung Qatar.
Sesuai dengan konsep kedaulatan dunia Arab, mereka semua tak menjadi subjek kekuatan/kekuasaan Al Thani karena tak mengucap ikrar loyalitas.
Awalnya, karena diterima dengan baik, puluhan keluarga tersebut hendak menetap dalam tempo lama. Namun, gara-gara kekeringan berakhir jua di Bahrain, mereka tidak tinggal lama dan pulang. Ketika tiba di kampung halaman, ternyata mereka telah kedatangan suku Bani Ka'ab yang berasal dari Arabistan Persia (kini Khuzestan di Iran).
Mengingat dunia Arab tak mengenal konsep kewilayahan khas Barat, kedatangan Bani Ka'ab awalnya tak menjadi masalah bagi Al Sabah dan Al Khalifah. Namun, perlahan, Bani Ka'ab kian beringas sehingga memaksa Al Sabah dan Al Khalifah bertindak. Ketika merespons Bani Ka'ab ini, kembali merujuk Ulrichsen, "Al Sabah dan Al Khalifah justru berseteru."
Akhirnya kelompok Al Khalifah hengkang dari Bahrain, kembali menuju ke Qatar pada 1766. Kelompok Al Khalifah mendiami kota Zubarah di tepi barat laut semenanjung Qatar. Mereka hidup dengan menjadi pedagang mutiara--dan kaya raya karenanya.
Di sisi lain, dalam tempo lambat, keluarga Al Sabah akhirnya berhasil menghalau keberingasan Bani Ka'ab dan memaksa mereka keluar dari Bahrain. Karena situasi ini, setelah 17 tahun tinggal di Zubarah, keluarga Al Khalifa kembali dan mengakhiri perseteruan dengan Al Sabah untuk menjadi penguasa Bahrain.
Awalnya, karena tak memiliki otoritas apa pun di Zubarah dan menjadi subjek kekuasaan Bahrain (lalu menjadi keluarga penguasa Bahrain), tidak ada kegalauan yang dipikirkan keluarga Al Khalifah tatkala meninggalkan Qatar. Namun, diinisiasi kedatangan Barat khususnya Inggris, Al Khalifah melihat bahwa Qatar cukup istimewa.
Ketika itu, di akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19, Inggris menjadikan Qatar sebagai penghubung antara tanah Britania, Mesir, dan Timur Jauh (India serta kepulauan Melayu).
Setelah berkuasa atas Bahrain, keluarga Al Khalifah akhirnya tak segan mengklaim bahwa Qatar, khususnya Zubairah, merupakan teritorial mereka.
Uniknya, penguasa Arab Saudi lewat Faisal bin Turki Al Saud, kakek Abdulaziz bin Abdulrahman Al Saud (pendiri kerajaan modern Arab Saudi), juga mengklaim hal serupa. Jika Al Khalifah karena pernah tinggal di sana, maka Arab Saudi mendasari klaimnya karena pernah menaklukkan wilayah bernama Al Hasa (kini bertransformasi menjadi salah satu provinsi paling Timur di Arab Saudi) pada awal abad ke-18. Arab Saudi percaya bahwa wilayah Al Hasa mencakup Qatar.
Tak mau wilayah jajahannya diambil Bahrain atau Arab Saudi, Inggris menolak klaim-klaim itu. Mereka menulis surat kepada keluarga penguasa Bahrain bahwa "tidak ada bukti-bukti yang sah bahwa Al Khalifah berkuasa secara politik di Qatar." Mereka juga meminta Bahrain tak melakukan aksi apa pun ke Qatar.
Untuk Arab Saudi, melalui tangan Sir Percy Cox, Inggris menegaskan bahwa "Qatar berada jauh di luar yurisdiksi Al Hasa." Inggris meminta keluarga Ibnu Saud tak melawan kenyataan ini.
Surat tak diindahkan dua negara. Malah klaim Bahrain dan Arab Saudi kian menjadi, wabilkhusus pada awal-pertengahan abad ke-20, kala Inggris percaya bahwa Qatar menyimpan harta karun berupa minyak bumi. Kepercayaan ini direalisasikan pada Juni 1935 lewat nota kesepakatan dengan Al Thani. Isinya adalah pendirian Petroleum Company (Qatar) Ltd (dinasionalisasi Qatar pada 1974). Perwakilan Inggris dan Al Thani kemudian datang ke Zubarah pada 1937.
Kesepakatan ini ditentang Arab Saudi. Deputi Menteri Luar Negeri Arab Saudi Fuad Hamzah menyebut bahwa "semua suku/keluarga yang tinggal di Qatar, Oman, dan Hadramaut merupakan subjek kekuasaan Kerajaan Arab Saudi[...] Mereka tunduk pada hukum Arab Saudi, serta wajib membayar zakat dan siap sedia membela Arab Saudi jika dibutuhkan dalam peperangan." Bahrain juga melakukan hal serupa, menentang kesepakatan.
Inggris (dan Al Thani) lagi-lagi menolak klaim Arab Saudi dan Bahrain. Sebagaimana dipaparkan Rosemarie Said Zahlan dalam buku The Creation of Qatar (1976), Bahrain, kemudian Arab Saudi, melawan dengan melakukan boikot dan embargo terhadap Qatar--persis seperti tindakan yang dilakukan negara-negara Arab pada 2017.
Jika blokade 2017 tak berhasil mengusik Qatar, embargo yang dilakukan berbarengan dengan terjadinya Perang Dunia II ini, tulis Zahlan, "berhasil melumpuhkan kekuatan yang dimiliki Qatar." Menurutnya ini terjadi karena "Bahrain, pusat perdagangan di Jazirah Arab, terlalu penting bagi Qatar. Terlebih Doha, kota pelabuhan milik Qatar, terlalu kecil dan tidak mampu menangani semua kebutuhan lokal."
Singkatnya, via embargo, "ekonomi Qatar hancur lebur," tulis Zahlan. Situasi ini menjadi awal dimulainya "Tahun Kelaparan" di negara yang berada tepat di Teluk Persia ini.
Embargo berakhir ketika Perang Dunia II berakhir. Situasi ini mengubah iklim politik di Jazirah Arab. Sementara klaim-klaim kepemilikan Qatar, meskipun tak pernah berakhir, juga kian menipis.
Pengaruh
Qatar tak mau menyia-nyiakan waktu. Usai merdeka pada 1971, mereka langsung bergerak berusaha melindungi ekonomi dengan membangun/mengembangkan jalur kilang raksasa, North Field, kemudian dilanjutkan dengan pembangunan pelabuhan laut yang lebih mumpuni.
Tak ketinggalan, mereka juga mencoba "membeli" pengaruh dengan uang minyak. Pertama-tama di Jazirah Arab, yaitu dengan bergabung dalam koalisi Perang Teluk serta berjuang bersama Garda Nasional Arab Saudi dalam Pertempuran Khafji. Strategi ini berhasil membuat Qatar mempertahankan teritorial mereka kala kembali bersengketa dengan Arab Saudi pada 1992 dan 1994.
Usai Jazirah Arab, Qatar juga menjajal "membeli" pengaruh yang lebih luas, yaitu melalui olahraga alias sports diplomacy.
Qatar menjalankan dua pendekatan dalam sports diplomacy. Pertama, "merangsek ke jantung penggemar," dan kedua, "merangsek langsung ke jantung olahraga." pendekatan pertama dilakukan via beIN Sports; sementara pendekatan kedua diterjemahkan lewat investasi/pembelian klub-klub sepak bola Eropa dan Piala Dunia.
Menurut Heidi Blake dalam buku The Ugly Game (2015), melalui diplomasi olahraga laku buruk Qatar "membeli" pengaruh terpapar kepada masyarakat dunia. Namun, via olahraga pula, pelbagai anggapan positif--misalnya bahwa Qatar merupakan negara merdeka, independen, tak terpengaruh kekuasaan apa pun di Jazirah Arab--pun berhasil tersampaikan. Faktor ini sekali lagi menjadi salah satu alasan utama mengapa blokade Qatar pada 2017 tak berhasil.
Inti atau pokok maksud-tujuan yang hendak dimenangkan Qatar bukan uang. Musababnya, merujuk paparan Holger Preuss dalam FIFA World Cup 2006 and its Legacy on Tourism (2007) dan Choong-Ki Lee dalam Korea's Destination Image Formed by the 2002 World Cup (2005), efek ekonomi dari Piala Dunia terlalu kecil alias tak sebanding dengan investasi yang dikeluarkan.
Editor: Rio Apinino