tirto.id - Israel dan Palestina memiliki catatan sejarah perang yang sangat panjang dan belum tuntas hingga kini. Eskalasi konflik semakin meningkat setelah Hamas meluncurkan ribuan roket pada Sabtu, 7 Oktober 2023, hingga balasan serangan udara Israel ke Gaza.
Council on Foreign Relations menyebutkan, para pejuang Hamas menembakkan roket ke Israel. Mereka menyerbu kota-kota di Israel selatan sepanjang perbatasan Jalur Gaza, melukai dan menewaskan ratusan tentara, hingga warga sipil, sekaligus menyandera puluhan orang.
Serangan itu sangat mengejutkan Israel. Hanya berselang satu hari, atau pada Minggu (8/10), kabinet Israel langsung menyatakan perang melawan Hamas.
Menteri Pertahanan memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (Israeli Defense Forces/IDF) untuk memulai pengepungan Gaza yang dianggap menjadi basis Hamas.
Sejarah Perang dan Konflik Israel-Palestina, Warisan Inggris?
Setelah Kekaisaran Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris menjadi penguasa wilayah Palestina.
Di lain sisi, orang Yahudi menilai tanah Palestina adalah rumah leluhur. Sedangkan orang Arab juga merasa berhak atas wilayah itu dan menentang klaim Yahudi.
Dalam catatan BBC, sekitar tahun 1920-1940-an, orang Yahudi yang datang ke Palestina semakin bertambah. Mereka sebagian besar adalah pelarian asal Eropa dan mencari tanah air pasca-peristiwa Holocaust.
Kekerasan antara orang Yahudi dengan warga lokal Arab semakin meninggi. Hal yang sama juga terjadi pada pemerintahan Inggris yang menguasai kawasan ini.
Berdasarkan Resolusi 181 pada 1947, PBB membagi Palestina menjadi dua, yakni negara Yahudi dan negara Arab. Keputusan ini tentu disambut baik Yahudi, namun tidak dengan Arab.
Inggris yang bingung mengatasi konflik lantas meninggalkan wilayah tersebut pada 1948, hingga berdirilah negara Israel bikinan Yahudi.
Adanya Israel menjadi pemicu Perang Arab-Israel yang pertama, namun berakhir pada 1949. Israel menjadi pemenang, memaksa 750.000 orang Palestina mengungsi dalam tragedi yang dikenal dengan nama Al Nakba.
Wilayah itu terpecah lagi menjadi 3 bagian, yakni Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Ketegangan semakin meningkat dan melibatkan sejumlah negara tetangga, seperti Mesir, Yordania, dan Suriah.
Mereka sepakat membentuk pakta pertahanan bersama dalam mengantisipasi potensi mobilisasi pasukan Israel setelah krisis Suez 1956 dan invasi Israel ke Semenanjung Sinai.
Pada 1967, Presiden Mesir, Abdel Gamal Nasser, melakukan sejumlah manuver. Israel membalasnya dengan menyerang Mesir dan Suriah, hingga pecah Perang Enam Hari.
Kekuasaan Israel semakin meningkat setelah perang tersebut. Mereka merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, serta Dataran Tinggi Golan yang sebelumnya menjadi milik Suriah.
Enam tahun kemudian, wilayah ini kembali dilanda konflik. Dalam Perang Yom Kippur, Mesir dan Suriah melancarkan serangan ke Israel.
Tahun 1979, Mesir dan Israel melakukan gencatan senjata dan menandatangani Perjanjian Camp David, sekaligus mengakhiri konflik 30 tahun.
Meskipun urusan melawan negara tetangga sudah rampung, permasalahan di wilayah Palestina belum selesai.
Warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza melawan pemerintah Israel pada 1987 dan timbul masa intifada pertama.
Konflik berakhir lewat Perjanjian Oslo I tahun 1993. Palestina mendapatkan Tepi Barat dan Gaza, sekaligus pembentukan Otoritas Palestina yang bekerja sama dengan pemerintah Israel.
Lewat Perjanjian Oslo II tahun 1995, Israel wajib menarik pasukannya dari 6 kota serta 450 kawasan di Tepi Barat.
Pada 2000-2005, warga Palestina meluncurkan intifada kedua. Hal ini dipicu kekesalan atas kontrol penuh Israel terhadap Tepi Barat dan kunjungan mantan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, ke masjid al-Aqsa.
Pertikaian antar faksi yang ada di internal Palestina juga turut mewarnai politik dalam negeri mereka. Hamas memenangkan Pemilu 2006 dan mengalahkan saingannya, Fatah. Mereka mulai menguasai Jalur Gaza.
Sejarah Perang Israel dan Hamas Sejak Tahun 2014
Israel dan Hamas kemudian terlibat perang. Pada 2014, Hamas menembakkan 3 ribu roket ke Israel dan dibalas lewat serangan besar-besaran di Gaza. Pertikaian berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi Mesir.
Mei 2018, Hamas dan Israel kembali terlibat konflik. Pejuang Hamas melepaskan roket ke wilayah Israel dan dibalas melalui serangan 50 target di Gaza dalam 24 jam.
Menyikapi penggusuran yang terjadi di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, pada Oktober 2020, warga Palestina juga melakukan aksi demonstrasi selama berminggu-minggu hingga terjadi ketegangan dengan pihak Israel.
Selama bulan Ramadhan 2021, kekerasan pecah di kompleks Masjid al-Aqsa, Yerusalem. Polisi Israel memakai granat setrum, peluru karet, dan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Hamas yang mengendalikan Gaza lalu meluncurkan ratusan roket ke Israel. Mereka merespons lewat serangan udara dan tembakan artileri ke target di Gaza.
Kendati berdalih melawan Hamas, serangan Israel justru menyasar bangunan tempat tinggal, markas media, kamp pengungsi dan fasilitas kesehatan.
Perang berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi Mesir. PPB menyebutkan 72.000 warga Palestina mengungsi karena dampak perang tersebut.
Pada 2022, Amnesty International melaporkan Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza dan menghancurkan 1.700 rumah warga Palestina hingga memaksa ratusan warga sipil mengungsi.
Organisasi itu menyebutkan tentara Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina melakukan kejahatan perang selama tiga hari. Menurut catatan PBB, 49 warga Palestina tewas selama periode tersebut.
Sementara Crisisgroup menguraikan serangan Hamas selama perayaan Simchat Torah, Sabtu, 7 Oktober 2023, menjadi sejarah tersendiri selama konflik panjang Israel-Palestina.
Aksi yang dilakukan Hamas belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk pertama kalinya, para militan berhasil keluar dari blokade besar yang dilakukan Israel terhadap Gaza.
Hamas kemudian menyerbu dan mengambil alih wilayah komunitas Israel. Peristiwa ini belum pernah sekalipun dilakukan tentara Arab.
Bahkan, untuk pertama kalinya Hamas mampu menyandera tentara dan warga sipil Israel, membawanya masuk ke Gaza. Menariknya, Israel kebobolan setelah sensor pengintai perbatasan tidak berfungsi sama sekali.
Namun, serangan tersebut menelan korban jiwa sebanyak 800 orang dari pihak Israel dan melukai 2.300 lainnya. Otoritas kesehatan Palestina mengatakan 500 warga Palestina tewas dan lebih dari 2.700 lainnya luka-luka akibat serangan udara Israel di Gaza sehari kemudian.
Penulis: Beni Jo
Editor: Alexander Haryanto