tirto.id - Komandan militer Hamas, Mohammed Deif, menjadi pemimpin dalam serangan roket ke Israel pada Sabtu, 7 Oktober 2023. Selama ini, ia dilaporkan kerap tinggal di bawah tanah ketika Hamas melancarkan perang gerilya.
Mohammed Deif menyebut serangan ribuan roket ke wilayah Israel adalah awal bagi "Operation Al-Aqsa Flood" atau Operasi Banjir Al-Aqsa.
Ia pun menyerukan kepada warga Palestina untuk melakukan perlawanan atas pendudukan Israel.
"Kami memutuskan untuk mengatakan cukup sudah. Ini hari pertempuran terbesar demi mengakhiri penjajahan terakhir di bumi," ujar Deif, melalui sebuah pesan audio, seperti dikutipAl Jazeera.
Menurut laporan Financial Times, serangan Hamas mengakibatkan 700 orang tewas di Israel dan 2.000 lainnya mengalami luka-luka.
Profil Mohammed Deif: Lolos Beberapa Kali dalam Usaha Pembunuhan Israel
Mohammed Deif lahir pada 1965 di kamp pengungsi Khan Yunis di Gaza. Ia memiliki nama asli Mohammed Diab Ibrahim Masri.
Times of India menuliskan, Deif mulai bergabung dengan Hamas pada akhir 1980-an. Ia terlibat sejumlah penculikan dan pembunuhan terhadap tentara Israel.
Dirinya juga sempat kembali ke sekolah dan kuliah di Universitas Islam Gaza, lulus pada tahun 1988, serta memperoleh gelar sarjana sains.
Seperti dikutip Asharq Al Awsat, Israel pernah menangkapnya pada tahun 1989 dan dipenjara selama 16 bulan tanpa adanya sistem pengadilan. Setelah dibebaskan, Deif dan tokoh-tokoh lainnya mulai mendirikan Brigade al-Qassam.
Otoritas Palestina kemudian menangkapnya pada Mei 2000 atas permintaan Israel. Ia dikatakan mempunyai hubungan yang baik dengan pihak Otoritas Palestina. Penangkapannya disebut juga menjadi bagian dari kesepakatan.
Pada tahun 2001, Israel mulai melakukan percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Usaha berikutnya dilakukan setahun kemudian saat helikopter Apache menembakkan dua rudal ke arah kendaraannya.
Tak sampai di situ, sebuah pesawat Israel juga mencoba membunuh Deif dan beberapa pemimpin Hamas di sebuah rumah di Gaza, tahun 2003. Akan tetapi, rudal justru menghantam sasaran yang salah.
Deif lantas tampil sebagai pemimpin Brigade Qassam pada tahun 2002, setelah pemimpin sebelumnya, Salah Shehade tewas akibat serangan udara Israel.
Ia selama ini menjadi buron Israel selama hampir 2 dekade terakhir. Pria berusia 58 tahun itu mengalami lumpuh setelah mengalami luka parah dalam sebuah serangan Israel, yang turut menewaskan istri dan anak laki-lakinya yang masih bayi.
Kondisi itu membuatnya harus duduk di atas kursi roda setelah kehilangan tangan dan kaki.
Departemen Luar Negeri AS menetapkan Mohammed Deif sebagai teroris pada 2009 lalu. Ia dinilai menjadi tokoh kunci dalam sayap militer Hamas dan dianggap bertanggung jawab atas sejumlah serangan terhadap warga sipil Israel.
Deif selama ini menjadi komandan militer Hamas dan penentu strateginya, termasuk dalam hal penggunaan roket, terowongan, pesawat tak berawak, dan pengebom bunuh diri untuk melawan Israel.
Pria yang dijuluki "Sang Tamu" itu kerap tinggal berpindah-pindah di rumah para simpatisan pejuang Palestina demi menghindari aksi intelijen Israel.
"Bahkan sebelum ini, Deif adalah sosok yang sakral dan sangat dihormati baik di dalam Hamas maupun di kalangan rakyat Palestina," ujar Mkhaimar Abusada, profesor politik Universitas Al-Azhar di Gaza.
Orang-orang yang mengenal Deif menganggap dirinya mempunyai tujuan utama untuk mengubah konflik Israel-Arab dan menggunakan senjata sebagai sarana untuk mencapainya.
"Anda harus memerangi orang-orang Israel di dalam Israel, dan menghancurkan fantasi mereka bahwa mereka bisa aman di tanah yang diduduki," ucap seorang pejuang Palestina yang menjadi politisi dan pernah bertemu Deif pada awal tahun 2000-an.
Pandangan lain, Deif adalah pria dengan kemampuan adaptasi cepat atas capaian teknologi militer Israel. Hal ini bisa dilihat pada perang 11 hari melawan Israel pada tahun 2021.
Hamas mengerahkan sejumlah roket berteknologi rendah dan membanjiri sistem pertahanan udara Israel, hingga hampir kehabisan amunisi sebelum adanya gencatan senjata.
Mengutip Times of Israel, Mohammad Deif mengeluarkan pernyataan bahwa serangan dan aksi penyusupan pada Sabtu (7/10/2023) itu merupakan "hari revolusi besar."
Ia mendesak warga Arab Israel agar mengangkat senjata dan turut meminta yang ada di perbatasan Israel turut bergabung dalam serangan.
"Hari ini, orang-orang membawa kembali revolusi dan menghidupkan kembali Pawai Akbar Kepulangan," katanya.
"Perlawanan Islam di Libanon, Irak, Suriah, dan Lebanon, menggabungkan perlawanan mereka dengan perlawanan rakyat Palestina saat ini dan mulai berbaris menuju Palestina, sekarang," lanjut Deif.
Seorang wakil kepala Hamas, Saleh al-Arouri, yang menjadi pemimpin di Tepi Barat, juga menyerukan agar bangsa Arab dan Islam bergabung dalam pertempuran "Flood al-Aqsa" alias "Membanjiri Al Aqsha."
Penulis: Beni Jo
Editor: Alexander Haryanto