Menuju konten utama

Sejarah Masjid Al-Makmur Tanah Abang yang Didatangi Amien Rais

Kerusuhan 21-22 Mei lalu memunculkan sejumlah nama tempat dalam linikala peristiwa, salah satunya Masjid Al-Makmur Tanah Abang.

Sejarah Masjid Al-Makmur Tanah Abang yang Didatangi Amien Rais
Masjid Al Makmur. FOTO/wikipedia

tirto.id - Salah satu tempat yang masuk dalam linikala peristiwa 21-22 Mei lalu adalah Masjid Al-Makmur, Tanah Abang. Masjid ini sempat dipakai oleh mantan Pangdam Jaya, Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin untuk menenangkan massa.

“Umat agar tenang dan jangan terprovokasi. Insya Allah, Allah SWT bersama kita dan mendapat pertolongan serta perlindungan-Nya,” cuitnya di Twitter.

Tak hanya Sjafrie, di masjid yang sama pada 22 Mei pagi, Amien Rais menyampaikan kesedihannya terhadap korban tewas yang jatuh pada peristiwa tersebut. Ia juga marah kepada polisi.

“Saya menangis. Saya betul-betul sedih, tapi juga marah bahwa polisi-polisi, saya kira yang berbau PKI, telah menembaki umat Islam secara ugal-ugalan,” ucapnya.

Kehadiran dua tokoh pendukung Prabowo-Sandiaga di masjid yang sama, di salah satu tempat para pendemo berkumpul saat situasi kian memanas, tentu menjadi teka-teki. Narasi tentang dalang alias otak di balik kerusuhan bisa bergulir liar.

Tapi bagaimana kisah masjid ini bermula?

Jejak Pasukan Mataram dan Wakaf Para Sayid

Dari keterangan pelbagai narasumber yang digali oleh Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe (2017), Masjid Al-Makmur mulanya hanya musala berukuran 8x12 meter. Musala ini didirikan oleh pasukan Mataram saat menyerbu VOC di Batavia.

Kekalahan Mataram dari VOC yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pietersen Coen tak membuat semua pasukan Mataram kembali kampung halaman. Sebagian yang tercecer justru menetap di Batavia dan mulai membangun tempat ibadah.

“Meski kocar-kacir kalah hingga dua kali, banyak dari eks-tentara Mataram memilih untuk menetap di Batavia membuka daerah-daerah baru di sekitar pusat kota,” tulis Muhammad Sholikhin dalam Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa (2010).

Sholikhin menambahkan, salah satu bangsawan keturunan Mataram yang menetap di Batavia adalah Raden Kartobuso yang mempunyai anak bernama Muhammad Asyuro. Selepas menunaikan ibadah haji, Muhammad Asyuro menetap di Tanah Abang dan mulai membangun langgar pada 1704.

Keberadaan langgar atau musala ini diteruskan oleh anak-anak Muhammad Asyuro, yakni Abdul Murod Asyuro dan Abdul Somad Asyuro. Bersama para keturunannya, mereka meneruskan dakwah sang ayah sampai awal abad ke-20.

Pertumbuhan kampung yang semakin padat membuat langgar tersebut kian tak representatif untuk menampung jemaah. Pada 1915, musala diperluas menjadi masjid atas inisiatif tokoh masyarakat Tanah Abang keturunan Arab yang mewakafkan tanahnya, yakni Abu Bakar bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Habsyi.

Masjid ini diberi nama Al-Makmur dan luasnya menjadi 1.142 meter persegi. Kemudian pada 1932 masjid diperluas lagi ke arah utara seluas 508 meter persegi, dengan tambahan lahan yang diwakafkan oleh Salim bin Muhammad bin Thalib. Lalu pada 1953, bagian belakang masjid ditambah lagi seluas 525 meter persegi, sehingga totalnya menjadi 2.175 meter persegi.

Silang Pendapat Jumlah Rakaat

Sampai awal 1950-an, Masjid Al-Makmur menjadi tempat salat Jumat warga Kebon Jati, Kebon Kacang, Kampung Bali, Kebon Pala, dan Duku Pinggir. Sebagian warga Karet Kubur juga menunaikan salat Jumat di masjid ini, meskipun sebagian lagi salat Jumat di Masjid Nurul Islam di daerah Karet Tengsin, dan Masjid Hidayatullah di Karet Depan.

Karena sejak dulu berdekatan dengan pasar, Masjid Al-Makmur juga digunakan oleh mereka yang datang dari jauh untuk urusan perniagaan. Salah satu keperluan mereka adalah belanja pelbagai kitab di toko kitab milik Sayid Ustman yang letaknya tidak jauh dari masjid tersebut.

Menurut Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe (2017), kitab yang biasa mereka beli selain Alquran dan surat Yasin adalah kitab-kitab yang biasa dipelajari di pengajian seperti Sifat Dua Puluh, Adabul Insan, dan Safinatun Najah. Kitab-kitab tersebut berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab. Selain itu, mereka juga biasa membeli kitab-kitab seperti Barzanji dan Sarofal Anam untuk merayakan Maulid Nabi.

Infografik Sejarah Masjid Al Makmur Tanah Abang

Infografik Sejarah Masjid Al Makmur Tanah Abang. tirto.id/Nadia

“Sayangnya toko kitab Sayid Ustman tersebut sekarang sudah tidak ada, akibat terkena pembongkaran dan pembangunan kembali pasar Tenabang dengan bangunan mewah dan modern,” tulisnya.

Masih pada periode 1950-an, Masjid Al-Makmur kerap dipenuhi jemaah dari pelbagai daerah sekitar Tanah Abang untuk melaksanakan salat tarawih. Jemaah merasa nyaman karena areal masjid luas. Selain itu, masjid sering kedatangan penceramah tamu dari Timur Tengah, terutama dari Mesir, selama bulan Ramadan.

Barangkali karena para penceramah itulah di Masjid Al-Makmur kemudian timbul paham salat tarawih sebanyak delapan rakaat, di luar kebiasaan yang berjumlah 23 rakaat termasuk salat witir. Hal ini menyebabkan sedikit kericuhan.

Sebagian jemaah yang melaksanakan tarawih delapan rakaat berjajar di saf belakang. Setelah rakaat kedelapan, mereka secara demonstratif mengundurkan diri ke belakang dekat serambi masjid, dan melaksanakan salat witir sebanyak tiga rakaat.

“Setelah selesai mereka dengan suara bising seperti mengejek yang salat 23 rakaat, keluar lalu pulang,” tulis Abdul Chaer.

Dikepung Pusat Perniagaan

Letak Masjid Al-Makmur yang berdekatan dengan pasar Tanah Abang, dari waktu ke waktu semakin membuatnya tersisih, tenggelam oleh hiruk-pikuk perniagaan. Bahkan halaman masjid ini, seperti dituturkan Abdul Chaer, sempat hampir tergusur proyek pelebaran jalan. Namun, warga sekitar memperjuangkannya sehingga tak terkena pelebaran.

“Atas permintaan masyarakat, masjid dan halamannya tidak diusik-usik. Pelebaran jalan dilakukan ke halaman ke rumah-rumah yang berada di seberang masjid. Masjid Al-Makmur, Tenabang, selamat dari penggusuran dan pembongkaran yang banyak terjadi di tempat lain,” tulisnya.

Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi (2004) menyebutkan, karena pasar terus diperluas dan lahan di sekitar masjid banyak yang menjadi gudang, kantor ekspedisi, dan pelbagai kegiatan bisnis lainnya, membuat Masjid Al-Makmur seolah terpencil karena dikelilingi tempat jual beli.

Sementara menurut Muhammad Sholikhin dalam Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa (2010), pada tahun-tahun berikutnya, masjid itu akhirnya terkena proyek pelebaran jalan sehingga hampir hanya menyisakan beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak melati.

Kini, di balik pagar masjid kerap terdapat para pedagang kaki lima dan sejumlah kendaraan yang diparkir. Kadang-kadang para pedagang bahkan menjajakan barangnya di muka masjid.

“[Kini] sosoknya terlihat tidak begitu istimewa. Tergeser oleh hiruk-pikuk pasar yang ruwet, dengan pemandangan kaki lima yang tumpah ke jalan, masjid ini seperti kehilangan karisma sebagai masjid tua,” tulisnya.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Windu Jusuf