tirto.id - Satu versi menyebutkan nama Tanah Abang diberikan oleh tentara Mataram—yang berkubu di kawasan itu ketika hendak menyerbu Batavia pada 1628-1629. Versi lain menyebut nama itu pemberian orang-orang Banten yang bekerja kepada Phoa Bing Ham, pengusaha yang membuka kawasan tersebut pada 1648.
Dua versi muasal nama Tanah Abang ini setidaknya tercatat dalam buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta (2011) yang disusun Rachmat Ruchiat, serta Ensiklopedia Jakarta: Jakarta Tempo Doeloe, Kini dan Esok (2009). Tanah Abang dalam bahasa Jawa berarti Tanah Merah, merujuk warna tanah di kawasan itu.
Asal mula Pasar Tanah Abang adalah pembangunan Waltevreden, alias Jakarta Pusat, oleh pejabat tajir Justinus Vinck pada 1733. Di atas kawasan yang dibeli seharga 39 ribu ringgit itu, Vinck mendirikan dua pasar sekaligus pada 1735: Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Menurut budayawan Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), dua pasar yang ibarat saudara kembar itu diresmikan pada 31 Agustus 1735.
Untuk menghubungkan dua pasar itu, Vinck membangun jalan. Menurut catatan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016), jalan itu menghubungkan yang kini dinamakan Jalan Prapatan-Jalan Arif Rahman Hakim-Jalan Wahid Hasyim, antara kawasan barat dan timur Jakarta Pusat.
Dua pasar ini akrab bagi orang-orang Jakarta maupun orang dari luar Jakarta. Pasar Senen, dengan stasiun dan terminal, dikenal lokasi aneka barang. Begitupun Tanah Abang sebagai tempat pakaian murah.
Baca juga:Perdagangan Revolusi dan Kebakaran di Pasar Senen
“Pada awalnya, pasar yang dibangun Justinus Vinck sangat sederhana, hanya beratap rumbia dan berdinding gedek (anyaman bambu). Sampai awal 1970-an, kesederhanaannya masih tampak,” tulis Shahab. Di dekat pasar ada toko-toko pedagang Tionghoa.
Soal orang Tionghoa, Tanah Abang menjadi lokasi kerusuhan antara orang Tionghoa dan serdadu VOC suruhan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier pada 1740.
Di dekat Pasar Tanah Abang ada banyak makam dan penjual bunga untuk para peziarah. Makam di Tanah Abang, menurut Heuken, mulai difungsikan sejak 1795. Salah satu makam terkenal orang Eropa di Tanah Abang adalah Lady Raffles—istri Letnan Gubernur Jenderal Thomas Raffles.
Baca juga:
- Adriaan Valckenier, Gubernur Pembantai Cina di Batavia
- Rasisme terhadap Etnis Tionghoa dari Masa ke Masa
Menurut catatan Restu Gunawan, setelah Vinck meninggal dunia, wilayah Waltevreden akhirnya dibeli Gubernur Jenderal Jacob Mossel seharga 28 ribu ringgit. Berikutnya, pada 1767, Waltevreden dan kedua pasarnya jadi milik Gubernur Jenderal van der Parra.
Dalam Pasar Tanah Abang 250 tahun (1982), bentuk pasar bersalin rupa. Pemerintah kolonial pada 1926 membangun tiga los panjang dari tembok dan papan serta beratap genteng, dengan satu kantor di atasnya. Di bagian depan pasar adalah lahan parkir kuda-kuda penarik delman dan gerobak. Di dekatnya ada Gang Madat tempat orang boleh isap opium.
Di era singkat pendudukan Jepang, pasar ini sepi dan jadi lokasi gelandangan. Namun, kembali ramai di masa tenang. Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011) menulis bahwa tiap hektar kawasan ini pada 1957 dihuni oleh 250 penduduk.
“Rumah-rumah di sana hanya berlantai dua sehingga dapat dibayangkan bagaimana padat kondisinya,” tulis Susan.
Para Jawara
Sebagai pasar yang ramai, sudah tentu ia menjadi lahan basah. “Dalam sejarahnya, Tanah Abang memiliki segudang jagoan,” tulis Alwi Shahab.
Sebelum Perang Dunia II, ada jagoan bernama Sabeni, mengacu pada aliran silat yang dikembangkannya. Sabeni dikenal dalam satu lagu berjudul 'Sabeni Jago Tanah Abang', yang ditulis putra Sabeni yang seniman, M. Ali Sabeni, bersama Suhaeri Mufti. Lagu berirama gambang kromong yang diiringi Naga Mustika ini populer pada 1970-an.
“Kalu ade Sayuti Jago Cengkareng. Eh... ade lagi Sabeni Jago Tenabang. Muridnya banyak, die dikenal orang. Nggak Perne die bikin sale duluan,” tulis Sabeni.
Inti dari lirik itu: Kalau ada Sayuti jagoan Cengkareng, maka ada Sabeni di Tanah Abang. Muridnya banyak dan dikenal orang tak pernah bikin perkara.
“Syairnya melukiskan sosok Sabeni bin Canam, tokoh yang harum namanya, bukan karena kehebatan ilmu maen pukul tetapi sifat dan watak kesatria,” tulis GJ Nawi dalam Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi (2016).
Selain Sabeni, jago lain adalah Derahman Djeni, yang menurut Shahab, sering terlihat di Masjid Jami Tanah Abang.
Di era sebelum mereka, ada nama Pitung, jagoan legendaris Betawi yang dianggap penjahat di mata pemerintah kolonial. Pitung rupanya pernah mangkal jual kambing di Tanah Abang. Tetapi Pitung agaknya tak cuma berkutat di satu daerah; wilayahnya sampai Marunda.
Baca juga:Revolver Pitung dan Tuak Manis Terakhirnya
Selain Senen, Jatinegara, Glodok dan Harmoni, berdasarkan penelusuran Muhammad Fauzi pada koran Warta Bhakti (6/4/1965), Tanah Abang juga menjadi tempat berkumpul para jagoan Jakarta.
Di Senen, menurut tesis Fauzi dalam "Jagoan Jakarta dan Penguasa di Perkotaan 1950-1966" (2010), uang jago yang diperoleh dari pasar, toko, warung, bioskop, pelacuran, pedagang lokasi ini, menjadi sumber pemasukan bagi mereka. Dan Tanah Abang kurang lebih sama dengan Senen.
Selain jagoan, orang-orang berdarah panas dan siap mati demi revolusi juga bisa ditemukan di pasar. Suhartono W. Pranoto dalam Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi (2007) menguraikan soal cerita Sidik Kertapati soal kelompok pemuda komunis merekrut massa revolusioner dari Pasar Senen, Pasar Minggu, Pulau Puter, Klender, Bekasi, Tangerang dan Tanah Abang.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam