Menuju konten utama

Sandiaga Uno yang Asal Omong soal Tanah Abang

Gara-gara insiden "dibentak" tukang ojek di depan Stasiun Tanah Abang, Sandiaga menciptakan keramaian. Bagaimana kronologinya?

Ilustrasi Tanah Abang. Tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Sangat sedikit orang di Jakarta mau lari pagi di tengah kepadatan lalu lintas ibukota, apalagi salah satu rute yang dilewatinya adalah kawasan Tanah Abang, sentra grosir terbesar se-Asia Tenggara. Orang akan melihatnya sebagai pencitraan. Dan dalam politik, pencitraan menjadi barang penting ketika orang yang melakukan lari pagi itu adalah orang terpenting kedua di Balai Kota.

Sandiaga Salahuddin Uno, pengusaha sukses dari bisnis investasi pasca-krisis moneter 1997, ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, salah satu orang yang pernah masuk daftar terkaya versi Forbes, moncer dalam karier politik pada 2015 dan akan melihat dirinya sebagai wakil gubernur dua tahun kemudian, menjadikan "jalan sehat" sebagai kampanye yang acap ia gembar-gemborkan kepada pendukungnya dan warga Jakarta lain. Hal ini terus dilakoninya bahkan setelah ia menduduki kursi di Balai Kota sesudah dilantik pada pertengahan Oktober lalu.

Pada Jumat pukul 7 pagi, 3 November lalu, ketika nyaris semua orang yang terhubung pada Tanah Abang telah menjalani aktivitas rutin sejak dini hari sekali, langkah kaki Sandiaga terhenti persis di depan Stasiun Tanah Abang, salah satu stasiun komuter terpadat se-Jabodetabek dengan 50 ribu penggunanya lalu-lalang saban hari kerja.

Langkah lari penyumbang terbesar dana kampanye Pilkada Jakarta itu terhenti ketika melihat tukang ojek melawan arus dalam kondisi jalanan macet dengan cara pintas menaiki badan trotoar dan mendekatinya. Ini bukan hal aneh di Jakarta, bagaimanapun, dan bahkan ada gerakan yang disebut #trotoarkita sebagai upaya balik para pejalan kaki merebut haknya pada ruang kota.

Dengan melihat dirinya sebagai otoritas ibu kota, Sandi lantas menegur si tukang ojek. Namun, bukan permintaan maaf yang ia terima, alih-alih ia dibentak.

Semua itu akan jadi peristiwa sambil lalu bagi Anda yang terbiasa melintasi jalanan Jakarta, yang tidak membedakan mana kaya mana miskin, yang semuanya sama-sama mengumpat dan menyimpan kesal jika menghadapi pengendara yang ugal-ugalan. Namun, agaknya, hal macam itu ditempatkan oleh Sandiaga sebagai persoalan yang penting. Setiba di Balai Kota, di tengah para wartawan, ia segera melaporkan apa yang terjadi di Tanah Abang.

“Ada beberapa ojek yang lawan arah, diingetin malah membentak saya karena dia enggak tahu siapa (saya), ya. Mengeluarkan kata-kata penghinaan,” kata Sandiaga.

Omongan itu disambarlah oleh wartawan: Seorang wakil gubernur dibentak oleh pengendara ojek, di sebuah pasar yang menyimpan sejarah kekerasan dan bandel dikendalikan—sebuah berita besar. Media-media daring melansir. Maka, sisanya adalah sejarah. Pada awal pekan bulan ini, omongan Sandiaga dan keramaian yang diciptakan olehnya mengenai Tanah Abang menjadi bahan berita (dan bahan omongan warganet) di sebuah kota yang masyarakatnya (masih) terbelah akibat Pilkada lalu, yang paling brutal dalam sejarah negeri ini.

Saksi Mata: Razia Selepas Insiden Sandiaga "Dibentak"

Salah satu yang melihat ekses dari peristiwa itu adalah seorang pedagang kaki lima bernama Amir. Ia mendengar selentingan di antara sesama PKL bahwa "gara-gara Wagub Sandi dibentak," terjadilah razia.

Sandiaga tak cuma omong ke wartawan yang ngepos di Balai Kota, sorenya di hari itu juga ada razia terhadap belasan kendaraan bermotor oleh Dinas Perhubungan di lokasi Pasar Tanah Abang.

Suasana Jumat itu seperti biasa selepas insiden Sandiaga "dibentak". Satuan Polisi Pamong Praja, yang posnya di dekat tempat Amir membuka lapak, cuma duduk-duduk, tepat di depan Stasiun Tanah Abang.

Para petugas kamtib ini biasanya alergi terhadap para PKL. Namun, alih-alih bersikap sangar dan kasar, mereka justru berlagak ramah. Kata Amir, sesekali mereka menegur pengendara bajaj yang ngetem di bahu jalan.

“Enggak ada yang aneh,” kata Amir.

Namun, menjelang pukul tiga sore, gerombolan petugas berpakaian Dinas Perhubungan mendadak datang ke areal PKL di depan Stasiun Tanah Abang, persis di lokasi Sandiaga "dibentak" pada pagi hari. Amir sempat ketar-ketir. Ia membatin, Wah pertanda buruk, razia nih. “Khawatir kalau kena garuk,” ia bilang.

Namun, prediksi Amir keliru. Para pegawai Dishub itu menyasar deretan sepeda motor dari pengendara ojek dan pengunjung pasar, yang diparkir di bahu jalan dan trotoar, persis di seberang jalan Amir berjualan. Motor-motor itu seketika diangkut ke truk. Beberapa pengendara ojek kabur dengan sigap.

Setelah razia itu, barulah Amir tahu soal selentingan dari para PKL lain. Razia itu dilakukan karena satu kejadian yang menggelikan di pagi hari sebelum ia membuka lapak.

“Kayaknya (si tukang ojek) enggak tahu kalau itu Wagub (Sandi),” kata Amir, menebak-nebak.

"Tanah Abang Semrawut karena Pejalan Kaki"

Usai kejadian lari pagi yang ditegur itu, mulailah Sandiaga Uno bicara mengenai salah satu topik paling sensitif di Jakarta: penataan Tanah Abang.

Saat ditanya soal penyebab kemacetan di Tanah Abang, misalnya, dengan enteng saja Sandiaga menyebut pejalan kakilah pelakunya. Beberapa hari berikutnya, ia berkata bahwa penataan Pasar Tanah Abang bakal "merangkul para preman."

Tiga hari berikutnya, omongan itu ia koreksi; bahwa kawasan Tanah Abang semrawut lantaran pembangunan jalan; bahwa kekacauan di sana karena pejalan kaki yang keluar dari pintu Stasiun Tanah Abang; bahwa banyak angkot yang ngetem di bahu dan pinggir jalan menambah dua kemungkinan di atas.

Teranglah, lantaran ia menyebut pejalan kaki sebagai biang kemacetan, Sandiaga kena kritik.

Salah satunya yang mengkritik itu adalah Komunitas Jalan Kaki. Laili Fitri, penggiat Koalisi Pejalan Kaki Jakarta, mengatakan bahwa omongan Sandiaga tanpa dasar sama sekali. Sumber utama kemacetan di kawasan itu, katanya, karena kehadiran lapak-lapak PKL yang memakai trotoar.

“Kalau seandainya trotoar itu untuk pejalan kaki, (maka) amanin PKL biar nyaman pejalan kakinya,” kata Fitria via telepon kepada Tirto.

Sambutan atas ucapan kontroversial Sandiaga, akhirnya, bikin Anies Baswedan angkat bicara. Menurut Anies, musabab pernyataan kompanyonnya benar belaka karena berdasarkan pantauan drone di kawasan Tanah Abang. Hasil tangkapan capung perekam gambar itu menunjukkan bahwa pejalan kaki memang tumpah ke jalanan pada saat jam-jam sibuk.

Amanda Gita Dinanjar, juru bicara PD Pasar Jaya yang mengelola sebagian blok di kawasan Pasar Tanah Abang, berkata bahwa gambar drone yang dilihat oleh Sandiaga adalah kerja timnya.

Lanskap pasar yang semrawut, demikian katanya, diambil oleh tim PD Pasar Jaya sebelum mereka memaparkan kepada Sandiaga di Balai Kota. “Sebelum rapat, jam 10, kita ambil gambar dulu menggunakan drone.”

Dari pemaparan oleh tim PD Pasar Jaya itulah kemudian omongan Sandiaga berasal.

“Memang tidak sekarut-marut pada 2013, tapi, kan, tetap saja. Apalagi yang di Bongkaran, Pasar Tasik, itu mobil berjejer,” kata Amanda.

Topik soal kawasan Pasar Tanah Abang yang semrawut semakin ramai di media sosial setelah menyebar foto yang membandingkan kondisi Tanah Abang pada 2015 dan Oktober 2017. Salah satunya diunggah oleh akun Facebook Haryanta Haryanta: foto tahun 2015 terlihat lengang, foto Oktober 2017 terlihat semrawut.

Postingan itu dibagikan 471 kali per 15 November. Tak hanya disebarkan via Facebook, tapi juga ditangkap-layar lalu diunggah di Twitter; postingan itu terus diamplifikasi dan punya kekuatan viral dari orang-orang yang masih terbelah usai pertarungan Pilkada paling brutal dalam sejarah negeri ini.

Tetapi, apakah benar ucapan Sandiaga dan postingan di media sosial tersebut?

Penelusuran Kami: Realitas Sosial > Media Sosial

Ada satu pesan yang makin relevan di tengah paparan badai hoaks: gambaran di media sosial tak selalu sesuai dengan realitas sosial.

Saya mendatangi kawasan Pasar Tanah Abang selama dua hari, Rabu dan Kamis pekan lalu, untuk menyusuri 7 blok di areal itu, dari Blok A sampai Blok G, serta lapak-lapak PKL di depan pintu keluar Stasiun Tanah Abang.

Sejak pagi hingga sore, saya tak menemukan realitas "semrawut", tumpah-ruah, impitan antara tenda-tenda PKL di bahu jalan, dari ujung ke ujung, bersama parkir motor dan mobil dan lalu-lalang orang-orang—apa pun itu—seperti tergambar dalam postingan foto yang jadi bahan gunjingan warganet.

Begitu pula tak ada realitas yang disebut "semrawut" di sebatang jalan yang memicu macet lantaran pejalan kaki seperti tuduhan Sandiaga.

Di Blok A, misalnya, kemacetan hanya di sekitar Jalan KH Mas Mansyur. Penyebabnya: laju kendaraan yang lamban saat berputar arah sebelum memasuki kawasan pasar Tanah Abang. Di sana memang terlihat ada pedagang kaki lima pada pagi dan siang hari, tetapi jumlahnya tak seperti sebelum tahun 2013 ketika Jokowi dan Ahok melakukan penataan. Para pedagang ini tertib. Menjelang pukul tiga sore, mereka sudah menutup lapak sebelum jam-jam sibuk pulang kantor. Tak ada kemacetan akibat lapak-lapak PKL.

Kemacetan lain terjadi di Jalan Fachrudin, tepat di depan Blok G dan Blok F. Penyebabnya dua: pembangunan gorong-gorong dan bus-bus besar yang ngetem di pinggir jalan. Semua lapak PKL mangkal di trotoar jalan, tetapi masih ada ruang yang lengang buat pejalan kaki. Memang ada beberapa parkir liar di trotoar dan badan jalan, tetapi sedikit.

Sementara di depan stasiun Tanah Abang, keramaian hanya terjadi pada jam-jam sibuk: berangkat dan pulang kerja. Lalu lintas lengang pada siang hari. Para PKL memang masih berjualan di atas trotoar, tetapi lapak mereka tidak menutupi seluruh bagian dan masih ada ruang untuk pejalan kaki.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/11/15/Jalan-Kaki-Bikin-Macet-Tanah-Abang---INDEPTH--Mojo.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Tanah Abang" /

Istilah 'Preman' Bikin Kisruh

Gampang mengabaikan omelan warganet, tetapi tidak kalau menyebut para pemain di kawasan Tanah Abang. Lebih-lebih jika ia menyinggung dengan sebutan yang merendahkan. Sandiaga Uno melakukan keduanya. Yang terakhir, ia sulit berkelit.

Saat Sandiaga bicara "preman" di Tanah Abang, Abraham Lunggana alias Haji Lulung—yang notabene pendukungnya dalam Pilkada Jakarta lalu—merasa tersinggung. Haji Lulung menyatakan: Tak ada preman di Tanah Abang.

“Saya jamin enggak ada preman. Kalau ada preman, kita tangkap, kok,” kata Lulung di Balai Kota, Jumat pekan lalu.

Sandiaga segera meralat omongannya. Selasa pekan lalu, setelah mengundang "tokoh" Tanah Abang, ia tak lagi menyebut istilah "preman". Meski begitu, tetap saja ada yang masih kecewa dengan ucapan Sandiaga.

Anang, misalnya, tokoh Tanah Abang sekaligus koordinator keamanan Masjid Al Ma'mur (terletak di Jl. K.H. Mas Mansyur, Kebon Kacang), berkata bahwa sejak Kelompok Hercules tidak menguasai lagi beberapa wilayah termasuk pasar di Tanah Abang, istilah preman telah terkikis.

Bahkan, kata Anang, sejak 2004 saat ia dipercaya mengelola keamanan di Pasar Tanah Abang, preman mulai dibersihkan oleh warga Tanah Abang. Posko-posko preman termasuk lapak minuman keras juga turut dibersihkan.

“Apa sih yang disebut preman itu? Yang gondrong? Mukanya sangar? Tatoan? Biar ane gondrong, muka sangar, tapi kalau azan langsung ke masjid, salat,” ujar Anang kepada saya di Masjid Al Ma'mur, pekan lalu.

Anang menyayangkan ucapan Sandi "tanpa melihat fakta di lapangan." Selama Anang memegang keamanan di Blok G sejak 2006, ia tak pernah melihat ada preman berkeliaran dan memalak. Anang bilang, bahkan warga Tanah Abang ikut andil membantu Pemprov Jakarta saat "menertibkan" PKL di masa kepemimpinan Joko Widodo hingga Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

“Zamannya Ahok, PKL dipindah ke Blok G. Ane tahu itu. Ane yang kawal Ahok waktu peresmian di sana. Tapi, faktanya, yang masuk ke Blok G itu bukan PKL. Ada banyak warga sini, ane kenal lah semua. Nah, kalau sekarang ada PKL lagi, yang itu mungkin yang lama-lama, tapi semua sudah tertib,” kata Anang.

Roni Adi, Ketua Umum Perkumpulan Budaya Betawi Sikumbang Tenabang, mengatakan bahwa omongan Sandi soal "preman" bukan cuma bisa bikin warga takut datang ke pasar tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu, tapi bisa juga bikin "perpecahan" warga Tanah Abang.

“Seharusnya tidak begitulah," kata Roni. "Warga yang kena imbasnya."

“Tidak mungkin ada preman kami biarkan. Coba lihat waktu kerusuhan 1998, hampir semua pasar itu terbakar, kecuali Tanah Abang. Kami jagain bener.”

Soal usulan "penataan" pasar dari Sandiaga, Roni berpendapat bahwa Pemprov Jakarta perlu "melibatkan warga". Wargalah yang tahu seluk-beluk Tanah Abang karena mereka saban hari tinggal di wilayah itu, apalagi jika penataan ini terkait para PKL.

“Kalau sama Satpol PP mereka itu takut, tapi kalau sama warga mereka itu segan. Pasti lebih mau diatur. Kita juga nggak akan usir mereka, kita tahu mereka juga cari makan,” tutur Roni.

Baca juga artikel terkait PENATAAN TANAH ABANG atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam
-->