tirto.id - Di tengah lalu lalang pengunjung, Farah masih terlihat sibuk dengan buku kecil dan kalkulatornya. Sudah hampir 30 menit sejak saya temui, belum ada pengunjung Pasar Tanah Abang yang mampir ke rukonya. Padahal harga produk fashion yang ia jual seperti gamis dan kemeja cukup terjangkau.
Rerata harga jual baju lebaran yang dijual Farah di kisaran Rp100 ribu. Harga termurah untuk kemeja Rp75 ribu dan gamis Rp80 ribu. Sementara paling mahal untuk produk gamis keluaran terbaru dijual Rp230 ribu dari harga normal Rp250 ribu.
"Kalau dulu nih mohon maaf, setengah hari saja kita bingung untuk mengatur duit. Sekarang enggak, biasa aja kayak gini," ujar wanita berusia 36 tahun itu saat ditemui Tirto, di rukonya di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (1/4/2024).
Ramadhan dan Lebaran tahun ini, diakui Farah, pendapatannya turun dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu, Farah masih ingat, pengunjung justru membeludak.
"Tahun kemarin membeludak lebih kayak lautan manusia, kalau sekarang tidak terlalu," imbuh dia.
Belakangan Farah menyadari, perubahan perilaku pasar dari offline ke online membuat pergeseran tren belanja di masyarakat. Kondisi ini membuat pendapatannya secara tidak langsung khususnya pada Ramadhan dan Lebaran tahun ini agak sedikit berkurang.
"Karena orang sekarang beralih ke online. Meskipun di pasaran orang kadang membandingkan. Kadang orang mending [belanja] di online," imbuh dia.
Farah sendiri mengaku punya siasat agar toko offline-nya tetap bertahan dan tidak tergerus dengan pasar online. Salah satunya, ia aktif mengedukasi kepada langganan dan pembeli di tokonya bahwa belanja online itu kebanyakan barang dikirim berbeda dengan foto ditampilkan di e-commerce.
Hal ini tentunya berbeda dibandingkan beli secara langsung ke toko. Masyarakat dalam hal ini bisa secara langsung melihat kondisi fisik barang tersebut dan kualitas bahan yang dipakai oleh penjual.
"Kalau gitu kita siasati aja kalau di online ibu tidak bisa sentuh. Online kan banyak yang kena tipu juga. Kalau tekstil gini kan barang yang tidak kelihatan. Kalau di sini bisa lihat bisa tahu banyaknya. Kalau online kebanyakan gagal," kata dia.
Tidak hanya itu, ia juga berencana untuk masuk ke pasar online untuk sebagian produk-produknya. Langkah ini setidaknya bisa mengimbangi agar tidak tergerus perubahan perilaku pasar. Meskipun dirinya juga tidak terlalu ingin fokus di pasar online.
"Sebagian ada [masuk ke online]. Tapi tidak fokus ke situ. Kita tetap pertahankan offline. Karena masih cukup banyak yang mengunjungi," ujar dia.
Pedagang baju lainnya, Marlina, lebih dulu menyiasati untuk masuk ke pasar online dan bergabung di salah satu e-commerce seperti Shopee. Penjual baju anak-anak dan kaos polos dewasa ini sudah bergabung sejak satu tahun terakhir semenjak ramai produk-produk ditawarkan di TikTok.
"Kebanyakan dari toko kita juga kan buka online juga tidak hanya offline di sini. Salah satu siasat," imbuh wanita berusia 23 tahun tersebut saat ditemui reporter Tirto.
Menurutnya, perdagangan online sedikit banyaknya bisa mengimbangi penjualan secara offline. Meskipun, hingga saat ini peningkatannya masih lebih banyak masyarakat yang beli secara langsung ketimbang online.
"Justru offline sih kalau saya lebih banyak. Masyarakat masih lebih banyak beli langsung. Kalau di online. Justru kadang tidak ke handle. Jadi lebih ke offline karena lebih banyak baju anak kan," ujar wanita yang sudah berdagang selama lima tahun tersebut.
Lain dengan Farah dan Marlina, Salwa Aprilia justru optimistis perdagangan secara langsung masih akan tumbuh meskipun sedikit banyaknya terpengaruh dengan perdagangan online. Ia sendiri bahkan belum berencana untuk mengalihkan produk fashion di tokonya ke online.
"Belum berencana ke online," kata dia kepada reporter Tirto.
Salwa tidak menampik bahwa terjadi penurunan penjualan selama Ramadhan dan Lebaran tahun ini. Penurunannya bahkan bisa mencapai 10-20 persen dibandingkan dengan penjualan Ramadhan dan Lebaran tahun lalu.
"Iya turun. Kadang suka ada yang bilang. Di TikTok lebih murah. Tapi kan beda bahan. Kalau di sini bisa langsung pegang dan lihat," imbuh dia.
Wanita berusia 19 tahun itu pun berharap pemerintah bisa mengatur perdagangan online. Ini mempertimbangkan kondisi pedagang-pedagang kaki lima yang pada hari ini terdampak akibat perdagangan online.
"Kasihan juga kalau sepi karena pendapatannya juga dari situ belum di kios kios untuk bayar kiosnya," kata dia.
Tantangan Berat Pedagang Pasar Tanah Abang
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenkopUKM), Teten Masduki, memahami para pedagang baju di Pasar Tanah Abang telah mengalami tantangan berat dalam hal perubahan perilaku pasar dari offline ke online dan serbuan produk impor. Era digital seperti saat ini memang tidak terhindarkan, sehingga para pedagang dan pelaku UMKM harus go digital dan terus berinovasi.
“Jadi isunya bukan pedagang offline kalah dengan mereka yang online, namun bagaimana UMKM yang sudah go online harus memiliki daya saing dan mendorong produk lokal untuk tumbuh dan berkembang,” ucap Teten saat mengunjungi Pasar Tanah Abang beberapa waktu lalu.
Teten menyebut, transformasi digital yang berkembang harus dinavigasi sehingga disrupsi dapat terjadi dengan lebih moderat dan tidak tumbuh secara liar.
Digitalisasi telah mendatangkan dampak yang besar, baik negatif maupun positif. Jika tidak ditopang dengan regulasi yang baik, maka digitalisasi akan menjadi ancaman bagi pelaku ekonomi domestik.
Menurut pantauannya di Pasar Tanah Abang, banyak para pedagang yang mengalami penurunan omzet hingga lebih dari 50 persen. Meski demikian, mereka juga sudah melakukan transformasi dalam berjualan dengan memasarkan produknya secara online tetapi tetap saja sulit bagi sebagian besar mereka untuk bisa meningkatkan kembali omzet usahanya.
“Kami sudah melakukan diskusi pasar, mereka mengalami penurunan penjualan. Meskipun pada waktu tertentu ada peningkatan tetapi bisa dipastikan ini dampaknya bisa permanen,” bebernya.
Teten mengatakan, ada hal yang perlu diatur mengenai arus barang masuk dan memastikan barang-barang yang masuk ke Indonesia ini ilegal atau tidak.
“Lalu mencari jawaban, apakah kita yang terlalu rendah menetapkan tarif biaya masuk, atau apa terlalu longgar aturannya yang berlaku untuk setiap produk yang masuk,” ungkapnya.
Teten menegaskan, pihaknya akan melihat kembali perlunya pengaturan untuk platform digital baik yang di tingkat domestik atau yang berasal dari luar negeri.
“Perlu diatur apakah barang yang dijual sudah disertai dokumen yang legal atau tidak. Seperti SNI, izin halalnya, atau izin lainnya. Sehingga kita bisa mencegah penjualan produk online yang berpotensi memukul produk dalam negeri,” jelasnya.
Menurutnya, sampai saat ini pedagang UMKM yang berjualan secara online sebagian besar merupakan seller produk impor atau mereka tidak memiliki produk sendiri.
“Hari ini 56 persen dikuasai e-commerce asing secara total revenue untuk akumulasi produk lokal dan impor. Bukan hanya UMKM, produsen lokal yang harus semakin kuat, namun juga dari sisi masyarakat sebagai konsumen juga harus menjadi perhatian, sesuai arahan Presiden terkait kebijakan Ekonomi Digital Indonesia," katanya.
Oleh karena itu, Teten menekankan pentingnya untuk memproteksi atau melindungi ekonomi domestik agar pasar digital Indonesia yang potensinya sangat besar tidak dikuasai oleh asing.
Lebih lanjut, menurut Teten, salah satu langkah yang mendesak saat ini yakni merealisasikan kebijakan transformasi digital dari sisi investasi, perdagangan, maupun persaingan usaha. Data menunjukkan, pertumbuhan pasar perdagangan elekronik cukup pesat.
Menurut data Bank Indonesia nilai transaksi perdagangan elektronik di Indonesia pada 2022 mencapai Rp476 triliun. Volume transaksi tercatat 3,49 miliar kali. Nilai transaksi perdagangan elektronik pada 2022 lebih tinggi 18,8 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp401 triliun.
Dengan data pertumbuhan perdagangan elektronik yang demikian, Teten memastikan digitalisasi harus memberikan manfaat bagi masyarakat terutama pelaku UMKM.
Pasar belanja online Indonesia harus memberikan kesejahteraan bagi para pelaku usaha lokal, bukan produsen dari negara lain. Belum lagi, program pemerintah untuk mendorong pertumbuhan UMKM di Indonesia akan terganggu bila barang-barang dari luar masuk begitu mudahnya.
Adaptasi jadi Kunci Bertahan
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan pelaku UMKM yang bisa bertahan adalah mereka yang bisa bertransformasi ke digital. Artinya di masa perpindahan konsumsi dari offline ke online, adaptasi menjadi kunci untuk bisa bertahan.
"Mereka yang tidak mampu adaptif bisa tergerus oleh teknologi, penjualan berkurang hingga tutup usaha," kata dia kepada Tirto, Senin (1/4/2024).
Menurutnya para pedagang di Tanah Abang tidak perlu langsung masuk ke e-commerce langsung. Melainkan step by step melalui pesan instan WhatsApp, kemudian melalui media sosial, hingga akhirnya masuk ke ekosistem e-commerce.
Di samping, lanjut Huda, perlu ada pengaturan yang setara antara pedagang offline dan online yang harus dilakukan oleh pemerintah. Perlakuan yang setara mulai dari pemenuhan syarat administratif hingga pajak.
"Langkah ini penting untuk menyamakan level of playing field. Setelah sama, pemerintah juga harus menuntun secara perlahan agar bisa adaptif dengan teknologi," pungkas dia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal, melihat bahwa digitalisasi saat ini memang menjadi keniscayaan ke depan. Oleh karenanya, para UMKM suka atau tidak suka harus mempertimbangkan untuk masuk ke digitalisasi jika tidak ingin tergerus pasar online.
"Dari sisi pelaku usaha pedagang mau tidak mau harus beradaptasi untuk melek terhadap platform digital bukan berarti beralih secara keseluruhan ke online," ujar dia kepada Tirto, Senin (1/4/2024).
Para pedagang khususnya di Pasar Tanah Abang, lanjut Faisal, memang tidak bisa langsung masuk secara online. Karena sebagian masyarakat masih banyak yang beli secara langsung atau offline.
"Pedagang di Tanah Abang sudah penuh banget [pengunjung]. Jadi sebetulnya tidak semua pengen masuk online karena masih banyak pengen beli langsung," ujar dia.
Menurutnya, di tengah gempuran pasar online, Ramadhan dan Lebaran tahun ini tren penjualan di pasar Tanah Abang sebenarnya meningkat. Ini lebih baik dibandingkan penjualan tahun lalu yang kebanyakan mengeluh anjlok.
"Nah tahun ini saya lihat di Tanah Abang sudah penuh luar biasa. Jadi saya berpikiran tadinya sih lebih baik dibandingkan tahun lalu," kata dia.
Pun, kata Faisal, jika ada pendapatan turun harus dilihat betul-betul berapa persisnya. Apakah sifatnya itu hanya sekedar persepsi atau terukur penurunannya.
"Tapi kalau anggaplah bahwa ada penurunan kita lihat dari sisi pedagang yang mana dulu? Tapi ada kemungkinan kalau pedagang yang kaitannya dengan produk murah dan pasar utama kelas menengah ke bawah memang daya beli masyarakat kelas menengah menurut saya lagi mengalami tekanan pada saat sekarang," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri