tirto.id - Nama Letnan Jenderal Andika Perkasa telah tercatat dalam sejarah sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) ke-32. Presiden Jokowi resmi melantik lelaki kelahiran Bandung itu pada Kamis (22/11/2018). Seiring dengan pengangkatan ini, pangkat Andika Perkasa dinaikkan jadi jenderal.
Seminggu kemudian, Jenderal Mulyono resmi menyerahkan tongkat komando Angkatan Darat kepada Jenderal Andika Perkasa. Acara serah terima jabatan dipimpin langsung oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Jabatan Kasad saat ini terhitung prestisius dan pemilihannya memiliki bobot politik tinggi. Bahkan, sejak era Orde Baru, Kasad menjadi semacam persiapan untuk naik ke posisi puncak dalam ketentaraan: Panglima ABRI.
Tapi sebenarnya, ketika Republik baru lahir posisi Kasad belum seprestisius sekarang. Sebelum Nasution jadi Kasad (waktu itu disebut KSAD) pada 27 Desember 1949, pengaruh dan pamor Panglima Besar Jenderal Sudirman benar-benar besar. Jabatan Kasad saat itu seakan-akan tertutupi oleh karisma Sudirman.
Orang yang pertama kali mengisi jabatan KSAD adalah Djatikusumo, anak Pakubuwana X (Raja Solo). Nama lahirnya adalah Subandono. Meski anak raja, laki-laki kelahiran 1 Juli 1917 ini mengaku keturunan rakyat desa juga.
Tapi sendeso-ndesonya Djatikusumo, dia tetap laki-laki beruntung. Djatikusumo merasakan privilese yang hanya bisa dinikmati segelintir orang di zaman kolonial. Dia bisa bersekolah di ELS dan HBS. Setelahnya dia belajar di Institut Teknologi Delf, dari 1936 hingga 1939. Pada 1940 dia pulang ke Indonesia dan melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool (kini ITB).
Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, dia memutuskan jadi serdadu. “[...] atas anjuran Ayah, saya masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung, tahun 1941-1942. Lembaga pendidikan militer bagi para milisi ini bertugas mencetak perwira cadangan untuk KNIL. Saya memperoleh pangkat kopral,” aku Djatikusumo dalam memoar singkatnya yang dimuat di majalah Tempo (18/7/1992) berjudul "Prajurit dari Kraton".
Di zaman Jepang, Djatikusumo masuk Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Sebagai orang terpandang dan berpendidikan tinggi di masa itu, Djatikusumo sudah ikut latihan calon komandan kompi. Dia melihat PETA jauh lebih baik daripada CORO KNIL.
Setelah Indonesia merdeka, Djatikusumo ikut Republik. Mulanya jadi komandan batalyon, lalu jadi panglima divisi di sekitar Pati, Jawa Tengah. Usianya nyaris kepala tiga kala itu.
KSAD yang Tak Prestisius
Pada awal 1948, Hatta menjadi perdana menteri merangkap wakil presiden. Hatta segera melakukan reorganisasi dan restrukturisasi tentara. Semua tentara darat, yang berada di divisi-divisi, ditempatkan langsung di bawah Sudirman selaku Panglima Besar. Saat itu pula posisi Angkatan Darat sebagai matra diperjelas.
“Pemerintah Republik memanggil saya ke Yogya [...] Di situ ternyata saya cukup diperlukan. Terus terang saja, di antara kawan-kawan militer yang lancar berbahasa Inggris dan Belanda kan saya,” tutur Djatikusumo.
Sudirman memang tak sebaik Djatikusumo untuk urusan bahasa asing. Djatikusumo mengaku dia dikenal Presiden Sukarno dan jajarannya karena sering diajak Sudirman. Menurutnya, "Mungkin karena beliau [Sudirman] merasa sebagai orang desa, guru sekolah Muhammadiyah, yang agak sulit memahami cara berpikir tokoh-tokoh brilyan di kabinet.”
Di masa Hatta itu matra-matra dalam ketentaraan diperjelas. Pasukan tempur di darat, yang jumlahnya banyak, kemudian disebut Angkatan Darat. “Nah, Bung Karno mengusulkan agar kepala staf angkatan adalah orang yang mengenal lawan dan kawan. Kebetulan saya dianggap memenuhi syarat menduduki jabatan kepala staf angkatan darat yang pertama (1 Maret 1948 -1 Mei 1950),” aku Djatikusumo.
KSAD kala itu di berkantor di Kementerian Pengairan, di selatan Maguwo.
Djatikusumo hidup di zaman yang berbeda dengan Ahmad Yani dan KSAD sesudahnya. Pengaruh komandan resimen jauh lebih kuat di tiap-tiap pasukan. Posisi KSAD kurang dianggap sebelum Sudirman meninggal dunia pada awal 1950. Ditambah lagi gangguan besar yang dibuat tentara Belanda dengan Agresi Militer pada 19 Desember 1948. TNI tidak bisa berbuat banyak dan dalam hitungan jam kota Yogyakarta diduduki tentara Belanda pada minggu pagi yang memalukan itu.
“Selain sebagai KSAD waktu itu saya juga bertanggung jawab atas keselamatan para taruna. Jumlahnya tak banyak, kira-kira 150 orang. Mereka ini adalah calon perwira pengganti,” aku Djatikusumo. Seperti kebanyakan TNI lain, Djatikusumo juga ikut bergerilya. Setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 dan diplomasi menguntungkan Indonesia, barulah tentara bisa kembali ke Yogyakarta.
Menemukan Try Sutrisno
Posisi KSAD kemudian diisi Nasution. Setelah Sudirman meninggal, tak ada jabatan panglima. Hanya ada jabatan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), yang diampu Kolonel Tahi Bonar Simatupang. Seperti Nasution, Simatupang juga mantan perwira KNIL. Ketika Nasution kena kasus dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, dia tersingkir. Nasution digantikan Bambang Sugeng, seorang perwira senior dari Jawa Tengah.
Di masa-masa ini Djatikusumo pernah hendak dikirim sekolah di Amerika. “Saya sendiri disuruh ke Amerika, ke Port Levenberg. Saya bilang, saya tidak mau. Sebab, Levenberg itu jatah untuk Panglima Divisi. Saya ini bekas Kasad,” kata Djatikusumo.
Dia lalu dikirim ke Bandung dan menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang Seskoad), menggantikan Ahmad Yunus Mokoginta—yang disuruh berangkat ke Amerika. Tapi kemelut terkait kepemimpinan di Angkatan Darat tak cepat hilang.
“Saya disebut-sebut sebagai calon pengganti Nasution sebagai Kasad. Kalau itu benar, saya nggak akan mau,” aku Djatikuusmo.
Dia menganut prinsip "Wong Jowo iku ora ilok mbaleni sego wadang" (Tidak pantas bagi orang Jawa memakan kembali nasi basi). Untunglah Djatikusumo tak makan nasi basi. Justru Nasution yang belakangan makan nasi basi. Pada 1955 Nasution jadi KSAD lagi.
Setelah Nasution makan nasi basi itu, Djatikusumo dijadikan Direktur Zeni Angkatan Darat (29 Februari 1955-24 Juni 1958). Dia ikut membantu penumpasan PRRI/Permesta di Sumatera. Beberapa taruna Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad), di antaranya Pahlawan Revolusi Pierre Tendean, ikut di sana.
"Di dalam pasukan zeni itu ada Try Soetrisno (Pangab sekarang) dan 51 orang yang memiliki kemampuan rata-rata sama. Misalnya, Dirjen Imigrasi sekarang, Rony Sikap Sinuraya. Beberapa di antara mereka ada yang menjadi gubernur. Semasa menjadi Direktur Zeni saya pernah membantu Panglima Jamin Ginting menyelesaikan PRRI/Permesta. Pierre bukan satu-satunya yang istimewa di zeni, kakak kelas Pierre, Try Sutrisno adalah satunya," ungkap Djatikusumo kepada Tempo.
Djatikusumo adalah petinggi militer pertama yang punya firasat bahwa Try Sutrisno akan jadi perwira yang cemerlang. Tak heran, ketika Try tak lolos tes, Djatikusumo memanggilnya kembali untuk masuk Atekad. Belakangan, Try berhasil meraih posisi KSAD, Panglima ABRI, bahkan wakil presiden Republik Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan