Menuju konten utama

Sejarah dan Pasang Surut Tradisi Buka Puasa Bersama di Gedung Putih

Jamuan iftar di Gedung Putih pertama dilakukan pada 1805 oleh Presiden Thomas Jefferson. Ibu negara Hillary Clinton menghidupkannya kembali pada 1996.

Sejarah dan Pasang Surut Tradisi Buka Puasa Bersama di Gedung Putih
Donald Trump berbuka puasa bersama para tamu di Ruang Makan Negara Gedung Putih di Washington, Senin, 13 Mei 2019. AP / Manuel Balce Ceneta

tirto.id - Di bulan suci Ramadan kali ini, Gedung Putih kembali membuka pintu untuk jamuan iftar atau buka bersama yang dihadiri langsung oleh kepala negara. Pada 13 Mei 2019 Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyambut para duta besar dan diplomat dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim serta para undangan lainnya.

Dengan muka berseri-seri saat menyampaikan pidato pembukaan, Trump mengatakan menjadi tuan rumah yang bisa menjamu tamu-tamu Muslim dalam iftar bersama adalah kehormatan besar baginya.

Ramadan, dalam pidato sambutan Trump seperti dilansir VOA Indonesia, adalah "waktu untuk beramal, memberi dan melayani sesama warga, dan merupakan bulan ketika kita menjadi lebih dekat sebagai keluarga dan komunitas."

Trump menyinggung beberapa kejadian serangan mematikan di sejumlah rumah ibadah Islam, Kristen maupun serangan terhadap kaum Yahudi di AS. Ia lantas mengajak agar semuanya mampu mengalahkan kejahatan terorisme dan penganiayaan lainnya yang bermotif agama sembari mengajak untuk berdoa demi masa depan yang harmonis dan damai di seluruh dunia

Di akhir sambutan Trump mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa kepada setiap Muslim di Amerika dan di seluruh dunia.

“Ramadan Karim! Ini sangat penting, dan saya ingin mengucapkan terima kasih untuk semua yang hadir di tempat ini, orang-orang yang sangat spesial. Kehadiran Anda merupakan kehormatan besar. Mari, kita akan makan yang enak, dan jika tidak enak, salahkan saya,” sambil diiringi tawa para hadirin.

Menurut data dari Pew Research Center, jumlah umat Muslim di AS per 2017 mencapai 3,45 juta jiwa. Itu membentuk sekitar 1,1 persen dari total populasi penduduk. Tetapi ada yang berbeda dari tradisi iftar kali ini. Tak tampak perwakilan organisasi Muslim Amerika maupun anggota parlemen Muslim seperti Rashida Tlaib dan Ilhan Omar.

Sebabnya, mereka memandang Trump sebagai pemimpin yang mengafirmasi sentimen anti-Islam. Selama kampanye Pilpres 2016, Trump menyerukan larangan total pada semua Muslim yang memasuki Amerika Serikat dan telah menandatangani beberapa perintah eksekutif yang membatasi imigrasi dari negara-negara mayoritas Muslim.

“Akan sangat sangat canggung bagi kita untuk berada di sana, di hadapan seorang presiden yang anti-Muslim, anti-imigran, yang mendukung supremasi kulit putih, dan kebijakan rasis terhadap kelompok kulit berwarna dan minoritas,” kata Nihad Awad, Direktur Eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), sebuah organisasi advokasi kebebasan sipil Muslim terbesar di Amerika.

Senada dengan Awad, manajer program Kebijakan Dewan Urusan Publik Muslim, Engie Mohsen, mengatakan bahwa tidak adanya kelompok dan anggota parlemen Muslim menunjukkan bagaimana presiden tidak melihat Muslim Amerika sebagai bagian dari Amerika. Ia menuduh pemerintah sengaja menggambarkan Muslim Amerika sebagai "orang lain".

Tahun lalu, tokoh komunitas Muslim Amerika juga tidak diundang. Yang hadir hanya para diplomat dari negara-negara mayoritas Muslim termasuk Indonesia dan para pejabat tinggi lainnya. Sedangkan pada 2017, tahun pertama Trump menjabat presiden, ia melanggar tradisi penyelenggaraan jamuan iftar di Gedung Putih yang telah menjadi agenda tahunan sejak 1996.

Pasang Surut Tradisi Iftar di Gedung Putih

Jejak Iftar pertama di Gedung Putih dapat dilacak sejak era Presiden AS ketiga, Thomas Jefferson. Kisahnya datang dari seorang diplomat asal Tunisia bernama Sidi Suleyman Mellimelli yang berkunjung ke Amerika Serikat selama enam bulan.

Denise Spellberg dalam Thomas Jefferson's Qur'an: Islam and the Founders (2013) mencatat, Mellimelli tiba di Washington pada November 1805 untuk keperluan menegosiasikan kembalinya kapal perang Tunisia dan dua kapal lainnya yang disita angkatan laut Amerika dalam Perang Barbary Pertama (10 Mei 1801-10 Juni 1805).

Kedatangan dan maksud Mellimelli itu disambut hangat oleh Jefferson. Mellimelli datang pada 9 Desember 1805, bertepatan dengan Ramadan. Dia bilang kepada Jefferson bahwa di bulan ini dirinya baru bisa makan setelah matahari terbenam.

Menyadari pentingnya puasa bagi pemeluk Islam seperti Mellimelli, Jefferson mengubah jam makan kenegaraan di Gedung Putih yang bakal dihadiri Mellimelli dari yang biasanya setengah empat sore menjadi tepat saat matahari terbenam.

Acara tersebut dihadiri pula oleh John Quincy Adams yang kelak menjadi Presiden AS ke-6. Adams dengan rinci menuliskan pengalamannya ikut dalam jamuan iftar bersama Mellimelli dalam bukunya, Memoirs of John Quincy Adams, comprising portions of his diary from 1795 to 1848 (1876).

Adams mencatat, malam itu Mellimelli datang terlambat setengah jam setelah mata hari terbenam lantas segera menyapa menyapa Jefferson. Keduanya berbuka puasa bersama, merokok, dan berbagi aneka hidangan makanan yang tersedia.

Itulah catatan iftar pertama yang pernah terselenggara di Gedung Putih dalam sejarah berdirinya Amerika Serikat.

Apa yang dilakukan Jefferson ketika itu jelas bukan suatu tindakan yang populer. Ini karena Mellimelli adalah orang Tunisia yang kalah dalam perang. Jason Zeledon dalam makalah bertajuk "'As Proud as Lucifer': A Tunisian Diplomat in Thomas Jefferson’s America" (2015) menyebut, sebagian besar publik Amerika memandang Mellimelli rendah, barbar, gila seks, serta hal-hal negatif lainnya. Meski tak semuanya memandang Mellimelli buruk.

Infografik Iftar di Gedung Putih

Infografik Iftar di Gedung Putih. tirto.id/Rangga

Ada pula masyarakat yang justru terpesona melihat Mellimelli karena pakaiannya yang glamor dan mencolok serta dipandang bukan orang kulit hitam dan dinilai setara dengan para diplomat Eropa.

Lagipula, Jefferson tak asing dengan Islam. Saat berusia 22 dan masih menjadi mahasiswa hukum, ia membeli sebuah Alquran. Kelak hal ini berguna untuk memperkaya pandangannya dalam merumuskan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 1776. Maka, tak berat rasanya memanjakan Mellimelli dalam sebuah jamuan iftar.

Selain melambangkan hubungan historis Islam di Amerika Serikat, jamuan itu menjadi salah satu petunjuk bahwa Jefferson, sebagai salah satu bapak pendiri negara, punya pandangan yang lebih inklusif tentang pluralisme agama.

Lebih dari seabad berlalu sejak Jefferson mengundang Mellimelli untuk berbuka bersama, ibu negara Hillary Clinton menghidupkan kembali tradisi tersebut pada 1996. Kala itu, ada 150 tamu undangan yang diundang masuk Gedung Putih untuk jamuan iftar. Mereka terdiri dari para legislator, diplomat, dan pemimpin komunitas Muslim AS.

"Perayaan ini adalah acara orang Amerika. Kita adalah bangsa para imigran yang telah lama memiliki keragaman tradisi dan agama untuk kekuatan dan keberanian yang membuat Amerika hebat," ujar Hillary dalam sambutannya.

Sejak itu iftar menjadi tradisi tahunan berturut-turut di era pemerintahan Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama. Bahkan setelah serangan 11 September 2001, Bush tetap menyelenggarakan iftar yang dianggapnya penting untuk mencitrakan bahwa Gedung Putih tetap melindungi semua agama.

Di hadapan para duta besar dan diplomat undangan, Bush mengatakan "kejahatan tidak memiliki hari suci" dan menekankan bahwa AS sedang berperang melawan terorisme, bukan agamanya. Meski begitu, pernyataan Bush tak bisa menutupi fakta bahwa peningkatan kebencian terhadap para Muslim AS terjadi setelah peristiwa 9/11.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2019 atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Ivan Aulia Ahsan