tirto.id - Penulis buku Indonesia Etc. (2015) Elizabeth Pisani menyatakan keheranannya saat pertama kali menyaksikan kalimat kedua naskah Proklamasi Kemerdekaan RI: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Sejak itu Indonesia, tulis Pisani, “sibuk mengurusi ‘d.l.l.’-nya itu.”
Dalam pembicaraan sehari-hari, kata “d.l.l.” (dan lain-lain) digunakan untuk merangkum hal-hal sejenis dari kata benda yang telah disebut sebelumnya. Kadang pula tidak bermakna apa-apa, mirip-mirip “whatever”, “what have you” atau “or something” dalam obrolan keminggris kekinian.
Namun dalam sejarah Revolusi Indonesia, "d.l.l." menandakan jejak dari suasana ketidakpastian yang menyelimuti penulisan naskah proklamasi hingga pembacaannya yang khidmat tanpa gebyar. Ketika itu Jepang sudah kalah tapi pasukannya masih bercokol menanti kedatangan sekutu untuk mengoper kekuasaan ke Belanda.
Di luar uraian jenaka Pisani tentang "d.l.l." itu, bagaimanapun proklamasi dibuka dengan sebaris kalimat yang mengingkatkan dokumen lain yang dipisahkan jarak dan waktu yang jauh: mukadimah konstitusi AS (1787) yang menyatakan “Kami Rakyat Amerika Serikat, demi membentuk membentuk suatu Perserikatan yang lebih sempurna, menegakkan keadilan, menjaga kedamaian domestik, mengadakan pertahanan bersama, memajukan kesejahteraan umum, dan menjamin Rahmat Kemerdekaan untuk kami dan anak cucu kami, mengesahkan dan mengukuhkan Konstitusi Amerika Serikat.”
Versi Indonesianya lebih pendek: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”
Dari Vietnam ke Aceh
Kemiripan tidak saja terjadi di situ, namun juga dalam ancangan naskah proklamasi yang disetujui dalam sidang BPUPKI. Draft naskah disiapkan dan dibacakan oleh Sukarno dan kemudian dibahas, direvisi dan akhirnya disepakati oleh anggota BPUPKI pada 14 Juli 1945 (bertepatan dengan perayaan Revolusi Prancis). Naskah didiskusikan antara pukul 13.30 hingga 14.46.
Naskah asli BPUPKI terdiri dari dua ribuan kata (naskah 17 Agustus puluhan kata), dan ditutup dengan “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, berdasar atas segala alasan yang tersebut di atas itu, dan didorong oleh keinginan luhur supaya bertangung-jawab atas nasib sendiri, berkehidupan kebangsaan yang bebas, mulia, terhormat, maka rakyat Indonesia dengan ini: MENYATAKAN KEMERDEKAAN.”
Baca juga:
Paragraf kedua Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (DKAS) yang ditandatangani pada Juli 1776 di Philadelphia menyatakan: “Kami meyakini kebenaran ini sebagai sesuatu yang tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dikaruniai oleh Pencipta dengan hak-hak yang tak bisa dicabut, di antaranya adalah hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan, dan hak mengejar kebahagiaan.”
Afirmasi keberadaan dan hak sekumpulan orang untuk mendirikan negara juga memperoleh pembenarannya melalui pemaparan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pihak penjajah. Inggris di 13 koloni AS, Belanda di Indonesia.
Dalam dua paragraf yang berdekatan, naskah proklamasi yang disiapkan BPUPKI menyatakan: “Lebih dari tiga abad meringkuklah bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Belanda dengan haluan politik jahat: memecah-mecah persatuan kita, mengina, menginjak-injak rasa kehormatan kita, menghina, menghisap-memeras kekayaan kita untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri. ... Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesa adalah sejarah berpuluh-puluh pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda itu.”
Bandingkan dengan paragraf kedua DKAS: “Sejarah raja Britania Raya yang kini berkuasa adalah sejarah luka dan pengisapan yang berulang…”.
Kalimat-kalimat kunci DKAS disebut-sebut sebagai salah satu teks yang paling diingat dalam bahasa Inggris. Selain menjadi bagian dari memori kolektif bangsa AS, naskah yang sejatinya merupakan dokumen pendirian negara modern ini banyak menginspirasi dan dijiplak sebagian oleh deklarasi-deklarasi kemerdekaan serupa di seluruh dunia, mulai dari Perancis (dalam Revolusi 1789), Haiti (menyatakan merdeka dari Perancis, 1804) Argentina (dari Spanyol, 1816), Hungaria (dari Monarki Habsburg, 1848), Vietnam (dari Perancis, 1945), hingga deklarasi kemerdekaan Aceh dari Indonesia oleh Gerakan Aceh Merdeka pada 1976.
Formulanya nyaris serupa: didahului dengan subjek “kami” kemudian “rakyat/perwakilan/bangsa” yang memiliki hak-hak setara dengan seluruh manusia di belahan dunia manapun, lalu disusul oleh pernyataan merdeka dan/atau hak mendirikan pemerintahan yang berdaulat, bebas dari pemerintahan asing atau pemerintahan absolut, yang dosa-dosanya disebut—kadang rinci, kadang abstrak—dalam tubuh teks.
Kecuali dalam beberapa proklamasi, nama “Tuhan” dikutip untuk menjamin bahwa kemerdekaan dan hak pemerintahan berdaulat berasal dari sumber yang lebih tinggi dari kekuasaan penjajah/penguasa tiran. Di samping “Tuhan”, diksi “alamiah” dan “hukum alam” juga dipakai untuk memperkokoh kedaulatan di atas kertas, yang secara otomatis menampik kekuasaan penjajah/tirani sebagai “ikatan-ikatan yang tidak alamiah” (deklarasi Argentina). Walhasil, dalam artian itu, hukum Tuhan dan hukum alam bersifat permanen, sementara kekuasaan tidak.
Siasat Diplomasi di Vietnam
Keputusan Ho Chi Minh untuk mengutip DKAS dalam Deklarasi Kemerdekaan Republik Demokratik Vietnam tidak saja filosofis namun juga taktis. Setelah bebas dari pendudukan Jepang, Vietnam harus menghadapi ancaman rekolonisasi Perancis. Untuk itu Ho Chi Minh mengharapkan bantuan AS guna mencegah Perancis kembali ke negerinya.
Pada 1941, Presiden AS Franklin D. Roosevelt telah menandatangani Piagam Atlantik (1941) yang salah satu pokoknya mengatur hak penentuan nasib, restorasi pemerintahan mandiri yang berdaulat, serta menegaskan “hak seluruh bangsa untuk memilih bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki.”
Suatu hari pasukan AS diturunkan di Vietnam dan menemukan Ho Chi Minh yang nyaris mati karena malaria. Ia mengatakan: “Para negarawan negerimu berpidato tentang penentuan nasib. Kami menentukan nasib kami sendiri. Kenapa tidak tolong kami? Apa bedaku dengan George Washington-mu?”
Pada waktu itu AS sedang bersiap jadi pemain global. Simpati terhadap dunia terjajah mulai ditunjukkan selama Perang Dunia II, termasuk di Vietnam—jauh sebelum Presiden Lyndon Johnson mulai Perang Vietnam pada 196oan.
Baca juga:
Peran baru Amerika ini yang diantisipasi oleh para pemimpin Republik. Beberapa kali mereka sukses mengambil hati para diplomat AS untuk membela Indonesia di forum-forum dunia.
Ketika Republik berpindah ibukota ke Yogyakarta pada 1948, pemerintah mengirim Sudarpo Sastrosatomo ke New York sebagai utusan biro penerangan. Seperti yang ditulis Frances Gouda dan Thijs Zaalberg dalam American Visions of the Netherlands East Indies/Indonesia: US Foreign Policy and Indonesian Nationalism, 1920-1949 (2002), “Sudarpo paham bahwa George Washington, yang sukses membawa Amerika menuju kemerdekaan, adalah sosok yang nyaris mitologis.”
Di New York, Sudarpo menulis position paper berjudul “It’s 1776 in Indonesia” yang menganalogikan posisi Belanda dengan Raja Inggris George III dan Indonesia dengan Amerika Serikat pada 1776. Taktik diplomasi ini dikerahkan untuk melobi para diplomat AS agar mendukung perjuangan RI melawan upaya rekolonisasi Belanda.
Gouda dan Zaalberg juga mencatat keberadaan grafiti di dinding-dinding kota yang berisi baris-baris slogan-slogan revolusioner berbahasa Inggris. Grafiti-gratifi itu, tulis Gouda dan Zaalberg, menunjukkan “racikan bahasa yang dipakai [Thomas] Jefferson dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada 1776 dan Pidato Gettysburg Abraham Lincoln pada 1863…”.
Ketika melawat ke Amerika Serikat pada Mei-Juni 1956, Sukarno berpidato di Kongres memuji-muji Thomas Jefferson dan Abraham Lincoln, dua presiden AS yang dikaguminya. Di tengah terjepitnya negeri-negeri Asia dan Afrika di tengah pertarungan Blok Barat dan Timur pada masa awal Perang Dingin, pidato Sukarno menyampaikan kesan yang bersahabat kepada Presiden AS Eisenhower, yang awalnya memandang skeptis arah diplomasi Indonesia.
Sebagaimana dicatat George McTurnan Kahin dalam Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (1995), setelah pidato tersebut, Duta Besar AS untuk Indonesia Hugh Cumming yakin bahwa Sukarno bisa membawa Indonesia lebih dekat dengan AS.
Namun tiga bulan kemudian, keyakinan Cumming runtuh. Sukarno mengunjungi Moskow dan Beijing, memuji-muji Lenin dan Mao dan menunjukkan antusiasmenya terhadap pembangunan di negeri tirai bambu itu.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS