tirto.id - Selepas Perang Dunia II, model kolonialisme Barat yang dipraktikkan sejak awal abad 19 tiba-tiba ketinggalan zaman. Uni Soviet dan Amerika Serikat muncul sebagai pemain baru, Inggris meninjau ulang hubungan negara induk dengan koloni-koloninya, dan Perancis jadi negara kolonialis yang paling tidak siap menghadapi perubahan.
Lantaran merosotnya popularitas Raja Charles X, Perancis memutuskan untuk mencaplok Aljazair pada 1830. Provinsi Ottoman itu jauh dari Istanbul, yang sedang lemah-lemahnya. Tak lama setelah kota Aljiers direbut dan administrasi sipil dijalankan, orang-orang dari Perancis berbondong-bondong masuk ke Aljazair. Kemudian terjadilah apa yang dinamakan kolonialisme pendatang (settlers colonialism) selama 132 tahun.
Setelah perlawanan-perlawanan lokal, pencaplokan tanah-tanah adat pada 1870an, keterlibatan masyarakat Aljazair sebagai war effort dalam Perang Dunia II, pembantaian massal di provinsi Setif pada 1946 dan gerilya kemerdekaan sejak 1954, mayoritas penduduk Aljazair memilih merdeka dari Prancis dalam sebuah referendum pada 1 Juli 1962. Empat hari kemudian, Presiden de Gaulle mengumumkan Aljazair merdeka.
Kemerdekaan Aljazair merupakan kehilangan pahit bagi Perancis. Namun, berbeda dengan wilayah jajahan Perancis lainnya, Aljazair tidak hanya diperlakukan sebagai jajahan, tapi juga provinsi. Selain itu, Aljazair secara signifikan menopang produksi pertanian Perancis, khususnya untuk produk gandum, zaitun, sitrus, dan tembakau. Sumber daya lain yang dieksploitasi adalah fosfat, minyak, dan bijih besi. Sejumlah wine terbaik Perancis saat itu juga diimpor dari di sana. Namun, Aljazair tetap kerdil. Industri tidak tumbuh, diskriminasi dan kemiskinan adalah pengalaman keseharian warga Arab.
Aljazair Merdeka di Mata Blok Barat
Sejarah dunia mencatat pencaplokan Afrika oleh negeri-negeri Eropa yang dikenal sebagai Scramble of Africa (“Perebutan Afrika”) yang secara resmi disahkan dalam Konferensi Berlin (1884). Setelah itu, Perancis, Inggris, Portugis, dan Jerman mematok batas-batas koloni di benua hitam tersebut. Hanya Liberia dan Ethiopia yang tidak dijajah. Namun, hanya dalam enam puluh lima tahun, konsensus tersebut ambruk menyusul gerakan dekolonisasi yang meledak di mana-mana, serta perubahan tatanan politik global dengan kemunculan Amerika Serikat sebagai hegemon baru.
Pada pertengahan 1950an, Perancis mengalihkan perhatian dari Vietnam ke Afrika. Pada 1957, tiga tahun setelah pasukan Perancis ditarik dari Vietnam, Paris sempat berang kepada Washington. Pasalnya, Senator John F. Kennedy berpidato mengecam Presiden Eisenhower yang dipandang tak berani mengambil sikap dalam perang Perancis-Aljazair. “Situasi Aljazair adalah bom waktu dahsyat yang terus berdetak dan mengancam Dunia Bebas—dampaknya lebih buruk dari Indochina [Vietnam],” demikian Kennedy. Bagi sang senator, apa yang terjadi di Aljazair semestinya menjadi momen bagi AS untuk meredefinisi politik luar negerinya di negeri-negeri bekas jajahan.
“Blok Barat akan kalah melawan komunisme di Dunia Ketiga, kecuali jika mengakui bahwa perjuangan global melawan imperialisme dan arus nasionalisme sebagai dorongan yang paling kuat dalam urusan-urusan luar negeri saat ini.”
Sebelum pidato di Senat, Kennedy dikabarkan telah berkomunikasi dengan agen-agen FLN (Front de Libération Nationale), organisasi sipil dan militer yang menjadi ujung tombak kemerdekaan Aljazair. Namun, catat Jeffrey A. Lefebvre dalam “Kennedy's Algerian Dilemma: Containment, Alliance Politics and the 'Rebel Dialogue” (1999), Kennedy terpaksa memoderasi sikapnya ketika menjadi presiden karena Prancis merupakan sekutu AS dan secara ideologis FLN condong ke sosialisme Dunia Ketiga. Bahkan sejak kampanye mengincar kursi no. 1 AS, tulis Lefebvrve, Kennedy sering membicarakan Afrika seraya menghindari topik Aljazair. Tatkala resmi jadi presiden, dia meneruskan kebijakan-kebijakan lama Eisenhower, termasuk memasok amunisi perang ke kubu Perancis.
Bagi Perancis sendiri, mempertahankan Aljazair bukan isu domestik yang populer. Namun demikian, militer Perancis ngotot mempertahankan koloni dan sejumlah anggota paramiliternya bahkan melakukan percobaan pembunuhan atas Presiden de Gaulle yang memberikan opsi referendum. Pada 1972, sebagian veteran Aljazair membentuk Front National, partai ultra-kanan yang nyaris memenangkan pemilu pada 2002 dan 2017.
Pesan Untuk Dunia Ketiga
Efek Perang Kemerdekaan ini bergema ke seluruh negara-negara Dunia Ketiga, serta gerakan-gerakan antikolonial di Asia dan Afrika. Bagi dua negara Blok Timur Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok, pilihan merdeka dalam referendum tersebut merupakan salah satu kemenangan Blok Timur di Perang Dingin, setelah Kuba.
Aljazair menjadi mitra strategis Soviet sekaligus mercusuar sosialisme di Afrika dan Timur Tengah (kedua setelah Nasser di Mesir dan partai-partai Baath di Irak dan Suriah). Adapun relasi Tiongkok dan Afrika menemukan pintu masuknya melalui dukungan untuk Aljazair pada perang kemerdekaan ( 1954-1962). Sejak itu, Tiongkok menyokong gerakan-gerakan antikolonial bersenjata di Ghana, Kongo, Angola, serta menjadi donor untuk Libya dan Zimbabwe.
Donovan Chau, dalam “The French-Algerian War 1964-1962: Communist China's support for Algerian independence” (2008), menyebutkan bahwa masuknya dukungan komunis dimulai sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, di mana perwakilan dari Aljazair datang sebagai undangan. Selanjutnya, keterlibatan Tiongkok di Aljazair difasilitasi oleh Republik Arab Bersatu, sebuah republik seumur jagung gabungan antara Mesir dan Suriah yang dipimpin Gamal Abdul Nasser.
Musim semi intelektual dunia dari negeri-negeri jajahan Perancis atau yang berada dalam pengaruh kultur Perancis juga mengemuka selama periode ini. Frantz Fanon, penulis kulut hitam asal Mauritania yang karya-karyanya dibaca oleh kaum revolusioner di Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin, menulis The Wretced of the Earth berdasarkan pengalamannya sebagai anggota FLN. Pada periode perang kemerdekaan, Ali Shariati, Bapak Revolusi Iran, tengah kuliah di Sorbonne, Paris, dan memperkenalkan karya-karya Fanon ke para eksil politik Iran. Ali Rahnema, dalam An Islamic Utopian: A Political Biography of Ali Shariati (1998), menyebutkan, Shariati sempat bergabung dengan FLN dan menulis untuk Al-Moujahid, suratkabar FLN.
Indonesia sendiri sudah jauh-jauh hari aktif menggalang solidaritas untuk Aljazair, sejak membentuk kepanitiaan untuk mendukung kemerdekaan negeri-negeri Afrika Utara yang dikepalai Perdana Menteri Mohammad Natsir pada tahun 1951. Apa yang terjadi di Aljazair setelah 1962 juga tak luput dari pantauan kaum kiri di Indonesia. Dalam dalih Pembunuhan Massal (2008), sejarawan John Roosa menyebutkan Gerakan 30 September terinspirasi oleh penggulingan Presiden Ben Bella oleh Kolonel Boumedienne pada Juni 1965, yang dipuji oleh Aidit.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti