tirto.id - “Majelis hakim menimbang bahwa Hizbut Tahrir Indonesia telah menyebarkan sistem kekhalifahan dan ingin mendirikan negara khilafah tanpa mau mengikuti pemilu di Indonesia… Memutuskan menolak gugatan penggugat seluruhnya.”
Demikian Ketua majelis hakim Tri Cahya Indra Purnama memutus perkara gugatan yang dilayangkan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap pembubaran yang dilakukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur, Senin (7/5/2018).
Putusan ini membuat HTI kembali menjadi ormas terlarang. Putusan ini juga menguatkan keputusan pemerintah yang sebelumnya telah membubarkan HTI dengan menggunakan Peraturan Pengganti Undang-undang Ormas yang diteken medio Juli 2017.
Putusan PTUN terhadap HTI ini memicu ragam komentar dari jejaring aktivis dan simpatisan organisasi yang didirikan Taqiyuddin An-Nabnani di Palestina pada 1953 itu. Sebelum vonis diketok, jagad sosial media bahkan sudah riuh dengan komentar bertanda pagar #HTILayakMenang.
Salah satunya sebuah foto berlatar merah dengan tulisan “HTI bukanlah ancaman bagi pemerintah, ancaman sesungguhnya adalah bercokolnya sistem sekuler yang telah terbukti di mana-mana menimbulkan kesengsaraan, kerusakan, dan kesenjangan luar biasa. Untuk itu, pencabutan BHP HTI tanpa melalui prosedural hukum adalah tindakan yang sewenang-wenang.”
Di foto itu terpampang sesosok wajah disertai nama dengan inisial LN, bekerja pada salah satu lembaga di ITS. Setelah teks foto dari LN, muncul foto serupa dari AR, sama-sama bekerja di ITS. AR berkomentar, “Secara substansi, pemerintah tidak mampu menunjukkan ide HTI bertentangan dengan Pancasila. Jika kemudian ajaran yang dituduh adalah ajaran Islam, maka bukankah ini sama saja menuding agama Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu majelis wajib mengabulkan gugatan HTI.”
Terakhir muncul teks foto dengan inisial DR, juga dosen ITS. Ia berkomentar: “Pencabutan BHP HTI oleh pemerintah jelas mengada-ada dan sebuah upaya untuk menekan kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat, sambil mengaburkan ancaman yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi atas NKRI, yaitu neokolonialisme. Jadi tindakan sewenang-wenang pemerintah atas HTU itu adalah intentionally crafted hoax sambil menyembunyikan kebenaran dari kesadaran publik.”
Diproses Rektorat ITS
Kemunculan tiga foto yang ramai di media sosial itu membuat Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bersikap. Saat dihubungi Tirto, Rektor ITS Joni Hermana mengonfirmasi bahwa tiga orang yang foto dan komentarnya merupakan dosen yang bekerja di ITS.
Joni mengatakan tiga dosen yang berstatus pegawai negeri sipil sudah dimintai keterangan. Menurut Joni, pernyataan tersebut bukan pendapat ITS sebagai perguruan tinggi negeri yang mempunyai kewajiban untuk menaati peraturan perundang-undangan.
“Mereka sudah dimintai keterangan,” kata Joni, Selasa (8/5/2018).
Joni yang juga merupakan Guru Besar Teknik Lingkungan di ITS itu mengatakan institusi yang dipimpinnya sedang memproses ketiga dosen tersebut sesuai peraturan yang berlaku.
Peraih gelar doktor dari University of Newcastle Upon Tyne ini tak merinci apa UU yang dipakai dan bagaimana proses itu dilakukan. Ia hanya mengatakan proses tersebut dilakukan melalui penilaian dan pengawasan dari tim terpadu yang melibatkan ahli hukum “yang akan mengkaji adanya pelanggaran atau tidak dari aspek Undang-undang.”
Langkah ini, kata Joni, dilakukan untuk merumuskan apa keputusan yang nantinya diambil ITS. Joni menerangkan, dirinya tak ingin gegabah dalam memberikan sanksi lantaran harus berdasarkan pada bukti dan aturan hukum yang berlaku.
“Karena itu sesuai peraturan, tim yang bertugas akan mengkaji apakah memang telah terjadi pelanggaran atau tidak, serta kemudian mengusulkan jenis sanksi yang harus dijatuhkan serta kalau tidak bersalah juga mengusulkan langkah apa saja yang harus dilakukan saya sebagai rektor,” ucap Joni.
Saat disinggung kapan putusan terhadap tiga dosen berstatus PNS itu akan diterbitkan, Joni menjawab lugas. “As soon as possible tentunya.”
Tirto mencoba mengklarifikasi masalah ini kepada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, namun Kepala Biro Humas Kemenristekdikti Nada Marsudi belum membalas pesan singkat yang dilayangkan Tirto. Nada hanya membaca pesan tersebut yang dikirim melalui aplikasi pesan WhatsApp.
Tidak Ada dalam Dokumen Pendukung
Soal tiga dosen dalam jajaran pendukung Hizbut Tahrir (dalam bahasa Indonesia berarti Partai/Organisasi Pembebasan) bukan perkara baru. Pada Juli 2017, beredar dokumen 73 halaman yang memuat tuduhan daftar pengurus, anggota, dan simpatisan organisasi politik tersebut. Nama-nama yang tertera dalam dokumen ini dituding berprofesi sebagai pegawai pemerintah alias aparatur sipil negara, dari TNI dan Polri, akademisi (PTS dan PTN), serta "unsur lainnya."
Dokumen dengan tulis tik font Arial tersebut menyebar secara acak, tak diketahui siapa pembuat dan pembocornya. Ia juga tanpa kop institusi. Isinya adalah 1.300-an orang yang dituduh dalam kategori tersebut, yang menjangkau 34 provinsi. Ia mencantumkan alamat, pekerjaan, hubungan dengan HTI, dan nomor ponsel.
Dalam dokumen itu tidak terdapat nama ketiga dosen tersebut. Hanya ada satu nama dosen dari Universitas Airlangga, yakni AF. Ia memberi komentar seperti tiga dosen dari ITS dalam sebuah foto teks.
Isi komentarnya adalah: “Jalannya persidangan PTUN, terbukti pemerintah sangat lemah. Bahkan memperkuat gambaran abuse of power pemerintah terhadap HTI secara de facto dan de jure. Demi keadilan hukum, tiada ada putusan hakim yang lebih layak selain mengembalikan status awal dan memulihkan nama baik BHP HTI.”
Kepada Tirto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Unair Suko Widodo mengakui bahwa AF merupakan salah seorang dosen mereka. Suko bilang, Rektorat Unair bahkan sudah meminta yang bersangkutan untuk membuat surat pernyataan tidak terlibat HTI sejak tiga bulan lalu.
“Tapi enggak tahu, tiba-tiba muncul. Dia berarti enggak konsisten” kata Suko.
Kemunculan pernyataan di media sosial ini membuat Rektorat Unair, kata Suko bersikap. “Karena mengatasnamakan dosen, dan secara regulasi enggak boleh. Karena dia juga membawa nama institusi makan akan diberikan tindakan tegas. Barusan rapat belum diputuskan, mungkin besok akan dipanggil. Ini mengagetkan wong sudah bikin surat pernyataan tidak kok,” kata Suko menegaskan.
Kemunculan dokumen ini sebelumnya juga sudah Tirto klarifikasi kepada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, ia berkata jika dirinya juga mendapatkan dokumen serupa. Namun. menurutnya, masih perlu diperiksa kembali akurasinya.
“Di Kemendagri sedang pengecekan detail dulu, ada atau tidak. Yang ASN, kan, perlu dicek dengan benar, jangan sampai jadi fitnah,” ujar Tjahjo tanpa menjelaskan dokumen itu ia dapatkan dari siapa, Juli 2017.
Pemerintah sebelumnya juga sudah meminta pegawai negeri sipil (PNS) yang terlibat organisasi kemasyarakatan (ormas) tak berideologi Pancasila untuk mengundurkan diri. Sebab bagi pemerintah, memberikan pemahaman tentang Pancasila kepada masyarakat juga menjadi tugas PNS.
“Kalau ada PNS yang baik langsung atau tidak terlibat dengan elemen-elemen yang melawan, berseberangan, mengembangkan ajaran ideologi selain Pancasila ya silahkan mengundurkan diri saja dari PNS,” kata Tjahjo.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Maulida Sri Handayani