tirto.id - Pemerintah meminta para pegawai negeri sipil (PNS) yang terlibat organisasi kemasyarakatan (ormas) tak berideologi Pancasila untuk mengundurkan diri. Sebab bagi pemerintah, memberikan pemahaman tentang Pancasila kepada masyarakat juga menjadi tugas PNS. “Kalau ada PNS yang baik langsung atau tidak terlibat dengan elemen-elemen yang melawan, berseberangan, mengembangkan ajaran ideologi selain Pancasila ya silahkan mengundurkan diri saja dari PNS,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo kepada wartawan, Minggu (23/7/2017) malam.
Tjahjo mengatakan PNS harus berani menentukan sikap terhadap kelompok yang coba mengganti ideologi negara. Para kepala daerah misalnya, harus ikut bisa mencegah perkembangan paham-paham yang berbenturan dengan Pancasila. “PNS harus berani menentukan sikap siapa kawan dan siapa lawan,” ujar mantan Sekretaris Jendral DPP PDI Perjuangan ini.
Bukan hanya tentang Pancasila, Tjahjo juga meminta para PNS ikut memberikan pemahaman tentang UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kepada masyarakat. Ia mengatakan semua itu harus menjadi landasan pengambilan keputusan pembangunan baik di tingkat pusat hingga RT dan RW. “Kesemuanya demi kemaslahatan masyarakat bangsa dan negara Indonesia,” katanya.
Pada Rabu (19/7) lalu, pemerintah resmi mencabut badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai ormas. Salah satu alasannya adalah HTI dituding sebagai organisasi yang menyebarkan ideologi anti Pancasila. Sayangnya Tjahjo enggan menjawab saat ditanya Tirto apakah pernyataannya di atas mengarah kepada pengurus, anggota, maupun simpatisan HTI yang menjadi PNS.
Pertanyaan Tirto sebenarnya berangkat dari sebuah dokumen berjudul: "Matriks daftar nama pengurus/anggota/ simpatisan HTI merupakan pegawai pemerintah (ASN, TNI, dan Polri) akademisi (PTS dan PTN), serta unsur lainnya" yang diterima redaksi. Dalam dokumen tersebut tercamtum nama-nama pengurus, anggota, dan simpatisan HTI yang bekerja sebagai PNS di seluruh provinsi di Indonesia.
Peredaran dokumen ini sempat menuai kritik Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Menurutnya peredaran dokumen tersebut adalah sebuah kekeliruan. “Ini bisa menjadi dosa Presiden Jokowi kalau dia (aparatur pemerintahannya) melakukan itu,” kata Fahri kepada Tirto.
Bagi Fahri peredaran dokumen yang memuat daftar pengurus, anggota, dan simpatisan HTI bukan sekadar masalah etis, tapi sudah termasuk pelanggaran hukum. Ia mengatakan dokumen tersebut bisa memicu diskriminasi dan persekusi.
Pimpinan DPR bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini percaya dokumen itu tidak dibuat oleh masyarakat sipil. Ia berharap pemerintah, terutama Presiden, menghentikan peredaran dokumen tersebut. Sebab menurutnya dokumen itu juga bisa menjadi alasan penggulingan presiden. “Itu bukan saja tidak etis. Itu melanggar. Saya bisa saja mengatakan: presiden bisa saja di-impeach, loh, gara-gara begitu,” kata Fahri.
Baca: Beredar Dokumen HTI Bisa Memicu Gelombang Persekusi
Sejumlah pihak yang dikonfirmasi Tirto membantah terlibat dalam proses pendataan maupun penyebaran orang-orang HTI. Tjahjo mengatakan ia sempat mendapatkan dokumen serupa. Namun, menurutnya, masih perlu diperiksa kembali akurasinya. “Di Kemendagri sedang pengecekan detail dulu, ada atau tidak. Yang ASN, kan, perlu dicek dengan benar, jangan sampai jadi fitnah,” ujar Tjahjo tanpa menjelaskan dokumen itu ia dapatkan dari siapa, pada hari Minggu lalu.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membantah pihaknya mengumpulkan data identitas yang tercantum dalam dokumen tersebut. Gatot malah menganggap dokumen yang sudah beredar itu sebagai hoax.
“Enggak ada itu. Percuma kalau hoax, saya enggak mau menanggapi hoax,” katanya, Kamis kemarin.
“Mana ada saya yang mengusulkan. Ngawur,” imbuhnya.
Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan kepolisian biasa melakukan pendataan terhadap organisasi. Langkah pendataan macam ini, kata Tito, akan menjadi bagian dari "mendalami permasalahan untuk menegakkan hukum" terhadap HTI.
Meski begitu, Tito enggan menjelaskan apa pihaknya sudah melakukan pendataan tersebut.
“Itu pasti harus kami lakukan. Karena ini ormas yang sudah dibubarkan, dilarang. Pasti kami lakukan, kerjaannya polisi memang itu. Itu tugas polisi, ada bagian namanya badan intelijen,” ujar Tito, Kamis kemarin.
Tito mengatakan bahwa pola pendataan profil dan identitas yang dilakukan oleh Polri selalu secara rahasia. Tugas macam ini diserahkan kepada intelijen atau Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.
“Mereka bisa bergerak tanpa mengundang reaksi berlebihan dari publik,” ujar Tito.
Baca lima laporan terkait: Pengikut HTI dalam Bayang-Bayang Pengawasan
Sedangkan juru bicara HTI, Ismail Yusanto mengatakan sudah membaca daftar tersebut dan sebagian nama yang ditulis dalam daftar tersebut benar adanya. Dalam daftar tersebut, sebagian besar adalah merupakan pengurus HTI. Ismail sendiri menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan pendataan seperti itu, apalagi mempublikasikannya.
“Kalau ini, kan, kerja intel," tuduh Ismail, Selasa (18/7) lalu. "Dandim (Komandan Kodim) mungkin [yang] akan [melakukan] begini," imbuhnya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti