tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia kembali disorot. Hal ini berawal dari pernyataan Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, yang menilai Polri cawe-cawe berpolitik dan mengkhianati semangat reformasi lembaga yang kini dipimpin Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu.
"Ada masalah yang mendalam dalam institusi kepolisian. Masih sempat-sempat cawe-cawe," kata Deddy saat jumpa pers di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).
Deddy mengeklaim, upaya menghentikan cawe-cawe politik Polri sekaligus permasalahan kepolisian saat ini, salah satunya aksi penembakan, adalah dengan memecat Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia menyebut PDIP akan mendukung pemerintahan Prabowo Subianto apabila Sigit dipecat.
Dugaan keterlibatan politik praktis Polri pun disinggung secara gamblang oleh peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil, mengatakan, hasil pemantauan Perludem menemukan dugaan keterlibatan aparat dalam Pilkada Sumatra Utara, Pilkada Jawa Tengah dan Pilkada DKI Jakarta.
"Di Sumut, menantu mantan presiden [Jokowi]. Di Jateng karena perang bintang ada mantan panglima dan kapolda bertarung kemudian DKI Jakarta kita melakukan pemantauan penyalahgunaan sumber daya negara di tiga wilayah ini. Hasilnya, menemukan mobilisasi aparat keamanan, ASN, dan praktik bansos," kata Fadli dikutip Tirto dari akun Mahfud MD Official di YouTube, Senin.
Fadli lantas menyebut aparat tersebut dikerahkan untuk memenangkan calon tertentu. Salah satunya adalah mobilisasi untuk memenangkan Calon Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution. Alhasil, Bobby-Surya unggul dengan perolehan suara 62,7 persen. Sementara Edy-Hasan mendapatkan 37,2 persen per 29 November 2024 dengan suara masuk 100 persen.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Djarot Saiful Hidayat, membeberkan sejumlah kecurangan Bobby Nasution dalam perhelatan Pilkada Sumatra Utara (Sumut) 2024.
Djarot menuding Bobby mengerahkan “partai coklat” alias “parcok”, para penjabat kepala daerah, hingga kepala desa demi mendulang suara. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei memang menunjukkan bahwa perolehan suara Bobby-Surya unggul dari pasangan Eddy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala yang diusung PDIP.
"Berbagai macam cara dilakukan untuk bisa memenangkan Bobby Nasution. Melalui kecurangan-kecurangan yang menggunakan ‘partai coklat’, bansos, pj kepala daerah dan desa," kata Djarot di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).
Kehadiran parcok ini disebut mengintimidasi pemerintah desa di Sumut sehingga para pemimpin desa diklaim jadi timses Bobby-Surya, bahkan sampai ada polisi yang mengamankan suara Bobby. Oleh karena itu, PDIP mendorong Polri berada di bawah naungan Kemendagri atau TNI.
Pro-Kontra Polri di Bawah Lembaga, tapi Sepakat Jangan di Bawah TNI
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, keberatan jika Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mantan Kapolri ini beralasan, Polri sudah dipisah dan berada di bawah presiden.
"Saya keberatan. Ya karena dari dulu memang sudah dipisahkan di bawah Presiden. Itu kehendak reformasi. Sudah itu saja," kata Tito Karnavian di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (2/12/2024).
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, mengatakan bahwa perubahan Polri di bawah Kemendagri akan mempengaruhi keuangan negara. Namun, hal terpenting adalah perlu ada perubahan undang-undang jika ingin merealisasikannya.
"Iya, undang-undangnya kan mengatur bahwa kepolisian itu ada langsung di bawah Bapak Presiden. Artinya, kalaupun ada perubahan, pasti akan ada proses politik dulu di DPR," kata Bima Arya, Senin (2/12/2024).
Anggota DPR juga ada yang menolak permintaan tersebut. Anggota DPR Komisi III dari Fraksi PAN, Sarifudin Sudding, menyebut penempatan Polri di bawah Kemendagri adalah pengkhianatan semangat reformasi.
"Saya kira itu adalah pengkhianatan atas semangat reformasi," kata Sudding, Senin (2/12/2024) dikutip Antara.
Sudding mengingatkan menjadikan Polri tidak independen akan mengganggu semangat reformasi yang ingin korps Tribrata bekerja mandiri. Ia pun menilai, keterlibatan Pilkada tidak bisa menjadi alasan pembenar untuk menggabungkan Polri ke kementerian. Solusi yang tepat bukan menggabungkan ke kementerian, melainkan pembenahan internal.
Senada, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Aboe Bakar Al-Habsy, juga megingatkan bahwa upaya menempatkan Polri ke Kemendagri sebagai kemunduran besar dan tidak sejalan dengan reformasi Polri. Ia pun meningatkan Polri dipisah dari ABRI pada tahun 2000 dan dari Kemendagri pada 1946 demi membentuk kepolisian yang profesional dan mandiri.
"Sudah pernah di bawah Kemendagri, pernah juga bareng TNI. Jadi, tak perlu mengulang masa lalu yang kurang baik," kata Aboe.
Menurut legislator PKS itu, pembenahan dan evaluasi perlu dilakukan apabila ada anggota Polri yang tidak menjaga netralitas dalam pilkada. Ia menolak menempatkan Polri di bawah kementerian. Aboe lebih mendorong memperkuat akuntabilitas, pengawasan, dan kapasitas internal Polri.
"Jika ada oknum yang berpolitik, memosisikan Polri di bawah Kemendagri bukanlah solusi. Wacana ini berisiko menempatkan Polri dalam potensi intervensi politik yang lebih besar," tukas Aboe.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, beranggapan niatan untuk menempatkan Polri ke Kemendagri tentu menimbulkan resistensi di tubuh korps Tribrata. Namun, penempatan Polri di bawah kementerian kerap mendorong lembaga kepolisian menjadi profesional di negara maju. Tentu saja, penempatan lembaga berada di entitas tertentu perlu ada pembahasan spesifik.
"Persoalan kementerian mana yang akan membawahi kepolisian itu memang masih perlu didiskusikan. Ada beberapa opsi, masuk Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum, atau di bawah Kementerian Keamanan sendiri," tutur Bambang kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Akan tetapi, Bambang menekankan bahwa Polri tidak boleh ditempatkan di bawah TNI. Ia menilai hal itu sebagai kemunduran demokrasi karena Polri bukan lah militer. Polri harus tunduk pada aturan sipil, bahkan dalam sejarah menyatakan Kapolri Jenderal (purnawirawan) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, mundur dari jabatannya ketika Polri dimasukkan dalam ABRI pada tahun 1959. RS Soekanto, saat itu, lanjut dia, sangat menyadari potensi besar kepolisian untuk dijadikan alat politik kekuasaan.
Ia menekankan, Polri sudah berpisah dengan TNI seiring dengan penghapusan Dwifungsi ABRI. Hal itu dilakukan agar Polri profesional dan tidak terlibat politik seperti ABRI di era orde baru. Sayangnya, Polri saat ini justru semakin terlibat politik praktis, bahkan Bambang mengatakan bukan saat Pemilu 2024, melainkan sudah sejak pemilu 2004.
"Semakin signifikan pada 2019 dengan dibentuknya Satgas Merah Putih yang ternyata sangat efektif. Dan kemudian dilanjutkan lebih terstruktur dan masif lagi di 2024," tukas Bambang.
Ia menduga, peran politik Polri saat ini terjadi karena ada perselingkuhan politisi dengan lembaga yang dinakhodai Jenderal Listyo itu. Bambang menegaskan, menarik-narik polisi dalam politik praktis kekuasaan adalah dampak dari lemahnya negara membuat sistem kontrol bagi kepolisian.
"Ada hegemoni kekuasaan untuk membuat Polri secara tidak langsung harus tunduk pada kekuasaan," kata Bambang.
Bambang memahami gagasan Polri di bawah institusi kementerian adalah gagasan mantan Gubernur Lemhanas, Agus Widjojo, pada 2 tahun silam. Ia beranggapan, Polri yang profesional perlu ditempatkan di bawah lembaga setingkat kementerian. Polri tidak boleh menjadi lembaga pelaksana teknis sebagai perumus kebijakan dan anggaran. Ia menekankan Polri perlu lembaga strategis yang menentukan arah kebijakan, termasuk perumusan anggaran keamanan.
Bagi Bambang, banyak problem keamanan yang belum bisa dijawab Polri saat ini seperti kasus Kanjuruhan. Ia menilai, gagasan Kementerian Keamanan sebagaimana TAP VI/MPR/2000 bisa ditindaklanjuti, apalagi sudah ada contoh di mana kehadiran Kementerian Pertahanan tidak mengurangi peran Panglima TNI. Selain itu, kehadiran Kementerian Keamanan bisa mengoordinasikan lembaga keamanan di tempat lain seperti BNN, BNPT, BPOM, Imigrasi, Bea Cukai dan semacamnya.
"Terlepas dari itu, kementerian mana yang layak untuk membawahi kepolisian memang harus dikaji lebih matang, tetapi bukan menempatkan kepolisian di bawah Panglima TNI," tegas Bambang.
Sementara itu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mengatakan, Polri di bawah naungan langsung presiden merupakan perintah konstitusi. Upaya menempatkan Polri di bawah TNI justru membawa ke masa Orde Baru dan bertentangan dengan konstitusi, yakni Pasal 30 Ayat 2 dan 4 UUD 1945.
"Hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden, sehingga tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden," kata Hendardi dalam keterangannya kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Hendardi mengatakan, pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR Nomor VI/MPR/2000, amanat reformasi yang harus dijaga. Oleh karena itu, kata dia, gagasan pengembalian posisi Polri sebagaimana di masa lalu, mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata kelembagaan negara dalam bidang keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum.
Hendardi lantas mengutip riset desain mereka tentang transformasi Polri. Mereka merekomendasikan perubahan kinerja dan bukan posisi kelembagaan. Ia menekankan bahwa upaya menjaga independensi Polri adalah amanat konstitusi.
Sementara itu, perbaikan pemilu dan Pilkada dilakukan lewat Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri sebagai tindak pidana, sehingga kualitas demokrasi terus meningkat.
Ia memandang, evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh PDIP ihwal dugaan keterlibatan Polri dalam pemenangan kontestan tertentu di beberapa daerah dimaklumi sebagai aspirasi politik perihal netralitas dalam pilkada.
"Diakui atau tidak, dugaan itu tidak perlu dibuktikan kecuali menjadi dalil dalam sengketa pilkada, baik melalui Bawaslu maupun nanti di Mahkamah Konstitusi," tutur Hendardi.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), sebagai lembaga pengawas kinerja kepolisian, juga menilai penempatan Polri di bawah TNI akan mengembalikan semangat Orde Baru sekaligus merusak tata kelola keamanan yang dibangun usai reformasi. Pun penempatan Polri di bawah kementerian juga akan serupa.
"Hal ini perlu dikaji secara serius," kata Komisioner Kompolnas, Gufron saat dihubungi Tirto, Senin (2/12/2024).
Ia mengatakan, apabila persoalannya menyangkut kemandirian atau independensi Polri, yang urgen diperkuat saat ini sebenarnya aspek pengawasan terhadap kinerja kepolisian, misalnya dengan penguatan kemampuan Kompolnas. Menurut Gufron, penempatan Polri di bawah kementerian tidak lantas membuat Polri bebas dari intervensi, apalagi jika jabatan menterinya diduduki oleh orang dari unsur partai politik.
Gufron mengatakan, ketimbang berpolemik soal kedudukan Polri, lebih baik semua pihak fokus mendorong agar berjalan pengawasan yang berlapis terhadap kepolisian. Dengan kata lain, semua fungsi pengawasan baik internal maupun eksternal dioptimalkan dalam mendorong kontrol dan pengawasan untuk terwujudnya Polri yang profesional, mandiri, dan akuntabel.
Serupa, Komisioner Kompolnas lainnya, M. Choirul Anam, juga menekankan upaya penempatan Polri di bawah TNI sebagai pengkhianatan demokrasi.
"Kalau sekarang ada yang menggagas kembali polisi di bawah TNI, saya kira itu mengkhianati agenda reformasi," kata Anam kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Anam berkata, penting memastikan TNI dan Polri profesional saat ini. Pasalnya, kata dia, kedewasaan sebuah negara ditentukan oleh profesionalitas masing-masing institusi Namun, lanjut dia, memastikan TNI dan Polri profesional butuh kerja sama semua pihak demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Oleh karena itu bagi Anam, ide untuk mengembalikan Polri di bawah TNI adalah bertentangan dengan ide reformasi. "Kita masih banyak pekerjaan rumah untuk memastikan polisi profesional, untuk memastikan TNI profesional, masih banyak pekerjaan rumah," tutur Anam.
Sementara itu, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Sandi Nugroho, maupun Karopenmas Divhumas Mabes Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, enggan merespons pertanyaan Tirto tentang narasi PDIP yang ingin Polri di bawah TNI maupun kementerian.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher