tirto.id - Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi etnis Tionghoa di Indonesia, salah satunya menimpa taipan Liem Sioe Liong alias Sudono Salim. Pendiri Salim Group dan salah satu orang terkaya di Indonesia kala itu, menjadi sasaran amuk warga lokal.
Etnis Tionghoa saat itu hanya berjumlah 5 persen dari total populasi, namun hampir tiga perempat dari kekayaan negara adalah milik orang Cina. Bahkan, pengusaha Cina menguasai 80 persen dari 163 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta—kini Bursa Efek Indonesia (BEI).
Mengutip New York Times (1998), Sudono Salim dikenal sebagai orang yang memperluas kerajaan bisnisnya dengan memenangkan kontrak Pemerintah dalam pembangunan pabrik semen dan baja, serta melalui monopoli impor beras dan gula.
Lahir di Provinsi Fujian, Tiongkok, Liem juga merupakan salah satu teman terdekat Presiden ke-2 RI Soeharto. Karena kedekatan yang terjalin di antara keduanya, membuat Salim Group menjadi salah satu pilar bisnis di era pemerintahan Soeharto.
"Hubungan itu tidak baik baginya pada hari Kamis, namun, ketika sekelompok perusuh datang ke rumah Liem di Jakarta pusat, menghancurkan dan membakarnya. Di pagar depan para perusuh telah menyemprotkan cat bertuliskan 'Anjing Suharto'," tulis New York Times dalam laporannya, dikutip Selasa (2/9/2025).
Meski Liem dan keluarganya berhasil meloloskan karena saat itu ia, istri dan beberapa anaknya tengah berada di Amerika Serikat, namun rumah pribadinya yang terletak di Jalan Gunung Sahari, Jakarta habis dibakar sekelompok pria yang diduga massa unjuk rasa yang menuntut reformasi serta revolusi dari pemerintahan Soeharto pada 14 Mei 1998.
Bahkan, kerajaan bisnis di tiga sektor - perbankan lewat PT Bank Central Asia (BCA), bangunan lewat pabrik semen Indocement dan makanan lewat Bogasari serta Indofood - yang telah dibangunnya selama tiga dekade sebelumnya hampir runtuh dalam krisis ekonomi dan politik 1998.
Kesaksian Anthony Salim
Dalam penceritaan Richard Borsuk dan Nancy Chng melalui buku Liem Sioe Liong dan Salim Grup: Pilar Bisnis Soeharto, hanya ada Anthony Salim, putra ketiga Liem yang berada di Jakarta, tepatnya di Wisma Indocement saat kerusuhan terjadi. Penjarahan dan perusakan besar-besaran yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa membuatnya tak berani pulang ke rumah bapaknya yang berada di kawasan Roxy itu.Tidak ingin ada korban jiwa, Anthony lantas memberikan instruksi kepada para satpam yang berjaga di kediaman bapaknya untuk mengizinkan sekelompok pria bermuka garang dan bersenjatakan berjerigen-jerigen bahan bakar serta perkakas tajam untuk merusak dan menghabisi rumahnya. Sekelompok pria itu lantas masuk dengan izin Sutoyo, kerabat istri Liem yang mengawasi komplek kediaman Liem dengan beberapa penjaga.
Namun sebelum itu, dikisahkan dalam memori itu, Sutoyo yang juga merupakan laki-laki Tionghoa dan berkacamata, mengumpulkan keberaniannya. Ia mundur ke belakang tembok yang memisahkan rumah megah baru dari bungalo lama dan mencoba menghalangi massa agar tak masuk ke dalam kediaman iparnya. Gelombang itu pada awalnya tidak keberatan dan baru melangkah masuk melewati pintu rumah ketika Sutoyo mengizinkan.
Pembakaran rumah terjadi dengan sistematis, mulai dari mobil di garasi rumah, kemudian dilanjutkan dengan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding.
"Dalam sekejap, seluruh mobil di garasi terbakar, termasuk juga seisi rumah. Mereka membakar furnitur, mencopot lukisan, dan mengobrak-abrik kamar di dalam rumah. Bahkan, mereka mencoret-coret dinding rumah dengan kata-kata tidak pantas," tutur Anthony kepada Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Namun, menurut Anthony pada dasarnya tidak ada yang layak dijarah dari kediaman keluarganya. Setelah rumah terbakar, gerombolan laki-laki itu lantas menyeret foto besar Liem dan istrinya ke jalan, mencabik-cabiknya dan berkeliling memamerkan bingkai foto rusak keluarga Liem.
"Orang-orang itu lalu kembali naik truk dan berlalu," tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Takut kantornya akan bernasib sama dengan rumah bapaknya, Anthony bergegas menuju Bandara Halim, untuk menuju ke Singapura. Dalam ketegangan yang masih berlangsung, ia memantau bisnis keluarganya dari Negeri Singa.
Ada pertanyaan besar di balik peristiwa traumatis di rumah Liem itu. Siapa yang memerintahkan penyerbuan rumah Liem dan akankan gerombolan laki-laki itu akan menyerang Liem dan keluarganya apabila mereka berada di tempat?
"Indonesia di masa Soeharto punya sejarah mengupah gerombolan perusuh dan anggota kelompok bergaya paramiliter aktif semasa Orde Baru, kadang-kadang untuk penagihan utang atau pengamanan pribadi. Kemungkinan besar para preman yang mengobrak-abrik rumah Liem dibayar oleh pihak ketiga," kata Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam bukunya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































