tirto.id - Dekade 1940-an adalah era yang tidak menyenangkan bagi dunia bisnis. Perang Dunia II—yang di Asia dikenal sebagai Perang Pasifik—datang menerpa dan disusul Perang Kemerdekaan. Liem Sioe Liong muda mengalami masa-masa sulit itu.
Di masa revolusi, Liem Sioe Liong menjadi pemasok logistik tentara. “Pada masa itu tidak ada sistem tender, yang pertama datang dialah yang pertama mendapat order. Pasokan Liem biasanya datang yang paling dulu sampai,” aku Sudwikatmono, seperti ditulis Richard Borsuk dan Nancy Zhng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016:3).
Saat itu, Liem mengenal seorang perwira logistik bernama Sulardi, kakak dari pengusaha Sudwikatmono. Sulardi jelas jadi orang penting dalam hidup Liem. Ia adalah “orang yang memperkenalkan Liem pada orang yang nantinya menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia.” Ya, Sulardi dan Sudwikatmono adalah sepupu Soeharto.
Selesai perang, Liem mulai hijrah bisnis ke Jakarta. Ia juga sering berkunjung ke Jawa Tengah, baik ke Kudus, tempatnya semula menjalankan bisnis, maupun ke Semarang, yang menjadi pusat Jawa Tengah.
Semarang adalah pusat dari komando tentara dan teritorial Jawa Tengah. Sejak 1956, Kolonel Soeharto, orang yang diperkenalkan oleh Sulardi kepada Liem, sudah menjadi panglima di Jawa Tengah.
Bisa dibilang Liem tidak hanya kawan Soeharto di masa senang saja, tetapi sejak Soeharto belum kaya. Setelah 1962, Mayor Jenderal Soeharto mulai berkibar lagi. Mulanya sebagai panglima Kostrad, kemudian ia memegang Surat Perintah 11 Maret 1966. Perlahan tapi pasti, akhirnya ia menjadi pejabat presiden, lalu presiden. Liem pun kecipratan proyek yang membesarkan bisnis-bisnisnya.
Liem yang terasah bakat bisnisnya sejak zaman di Kudus akhirnya menjadi orang penting dalam lingkaran bisnis kolega Soeharto. Sejak 1960-an, Liem sudah bermitra dengan beberapa kerabat Soeharto, mulai dari Ibnu Widjojo dari garis keluarga Tien Soeharto, sampai akhirnya dengan Sudwikatmono.
Sudwikatmono dan Liem pernah bermitra dengan Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad—mereka dikenal sebagai Geng Empat Serangkai. Hal itu terjadi sebelum Liem membangun kerajaan bisnisnya, Salim Group. Liem adalah orang yang dipercaya Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam impor beras 35 ribu ton pada 1967, ketika Soeharto mulai berkuasa dan Sukarno terlengserkan secara perlahan.
Setelah untung di beras, Liem kemudian jaya di tepung gandum lewat perusahaan legendarisnya, Bogasari. “Lima hari setelah berdiri dengan modal hanya Rp 100 juta, Bogasari menerima kredit Rp 2,8 milyar dan izin dari Bulog untuk membangun pabrik tepung terigu di Indonesia bagian Barat,” tulis Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009:232). Bisnis tepung Liem membuatnya makin tajir dan terus tajir lagi.
Setelah tepung, Liem melebarkan sayap bisnisnya, di antaranya dengan memakai nama Indo di depan produk yang dibuatnya, seperti Indomilk (susu), Indofood Sukses Makmur (mi instan), Indomobil (penjualan mobil), Indocement (semen), dan Indomaret (swalayan). Bersama bisnis lainnya, seperti juga Bank Central Asia, usaha-usaha itu kemudian termasuk bagian Salim Group, yang kini diwarisi Anthony Salim, anak ketiga Liem.
Di saat Liem semakin tajir, ada masa di mana orang-orang Tionghoa harus memakai nama-nama Indonesia, pada awal masa kepresidenan Soeharto. Maka, dipakailah nama Soedono Salim atau Sudono Salim. Salim adalah nama belakang yang dipakai Liem bersama saudaranya yang merantau ke Indonesia.
“Nama Soedono dipilihkan untuknya oleh Presiden (Soeharto). Pilihan yang cocok: awalan “Soe” artinya “baik” dalam bahasa Jawa […] sedangkan “dono” adalah bahasa Jawa untuk “dana,” yang bisa juga bermakna uang,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Zhang (2016:4). Soal uang, Liem memang ahli dalam memutar dan menghasilkan banyak uang di Indonesia.
Di mata Soeharto, Liem adalah sosok yang bisa dipercaya untuk diajak bekerja sama. Seperti ditulis Richard Borsuk dan Nancy Zhang (2016:525), Liem cukup percaya diri dalam membantu Soeharto menghimpun uang.
“Sudah barang tentu Soeharto membantu memastikan agar berbagai usaha tersebut, entah itu berupa monopoli impor awal seperti cengkeh atau penggilingan tepung, menguntungkan,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Zhang.
Jusuf Wanandi dalam memoarnya Menyibak tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia, 1965-1998 (2014), menyebut bahwa Soeharto mendapatkan uang dari pengusaha macam Liem. Lewat Liem pula, uang dari pengusaha-pengusaha Tionghoa lain disalurkan kepada Soeharto demi kemenangan Golongan Karya (Golkar). Dan berkat Golkar, Soeharto pun bisa berkuasa tiga dekade di Indonesia.
Masa transisi adalah masa-masa mengerikan bagi keluarga Liem Sioe Liong. Sekitar Juni 1966, di kala Presiden Sukarno terbenam, rumahnya di Jakarta pernah disatroni laki-laki bersenjata berseragam marinir. Ujungnya, perut Lee Las Nio alias Lilani Salim, istrinya, tertembak, meski tidak terbunuh. Dalam kerusuhan 1998, saat Soeharto lengser, rumah Liem Sioe Liong—yang bersejarah baginya—di Gunung Sahari diserbu dan dibakar. Sentimen anti-Tionghoa menggila pada 1998.
Setelah jatuhnya rezim Soeharto, Liem tinggal di Singapura. Jika sedang sehat, dia bisa melakukan perjalanan ke Tiongkok atau ke Jakarta menemui Soeharto.
“Ketika Soeharto wafat pada usia 86, di sore hari 27 Januari 2008, Liem tidak diberi tahu. Keluarga Liem sengaja menyembunyikan kabar itu darinya,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Zhang (2016:507). Liem yang lebih tua hampir lima tahunan dari Soeharto baru tutup usia 4 tahun setelahnya, pada 10 Juni 2012 di Singapura.
Editor: Maulida Sri Handayani